UNAIR NEWS – Wujud keberagaman dan budaya toleransi di Indonesia saat ini tidak terlepas dari banyaknya pengaruh bangsa dari luar Nusantara. Dosen Filologi Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga Mochtar Lutfi SS M Hum menyebut ada empat kebudayaan yang memengaruhi toleransi antar-agama di Indonesia.
Empat Budaya
Pertama adalah pengaruh dari masa megalitikum atau pra-aksara (budaya asli Nusantara). Kedua, pengaruh bangsa Arab atau agama Islam. Ketiga, pengaruh dari India. Dan, keempat adalah pengaruh dari eropa.
“Sebelum kedatangan pengaruh India, Indonesia sudah mempunyai kebudayaan sendiri, yakni pada masa megalitikum,” ujarnya pada Jum’at (1/4/2022) dalam Ngobrol Seputar Fenomena Terkini (Ngepet).
Mochtar menyatakan, pada masa itu, masa pra-aksara (sebelum mengenal tulisan), banyak bentuk kebudayaan batu besar sebagai bahan bangunan, rumah, bahkan tempat pemujaan. Kemampuan megalitikum itulah yang kemudian menarik bangsa India datang ke Indonesia.
“Kemudian, ketika India datang, kita bisa membangun Candi Borobudur. Kita bisa membangun Candi Prambanan. Dan, kita bisa membangun candi-candi di seluruh Nusantara,” katanya.
Pada masa itu pula, tidak ada peninggalan naskah maupun prasasti. Padahal, banyak aktivitas yang tetap dilakukan hingga saat ini.

Akulturasi
Ketika pengaruh budaya dari luar masuk, ajaran-ajaran tersebut berbaur sehingga berakulturasi, melebur. Salah satunya adalah kepercayaan dan keyakinan yang menghormati para leluhur.
“Di India, sendiri tidak ada kepercayaan kaya gitu. Karena, agama di sana mempercayai reinkarnasi. Karena konteksnya reinkarnasi adalah kelahiran kembali,” tegasnya.

Mochtar menambahkan, ada banyak aktivitas pada masa lampau, zaman pra-aksara, yang masih eksis dan dikenal hingga saat ini. Misalnya poso ngidang, pati geni, atau selametan 7 harian.
“Dan, ketika India datang, dungane (doa, Red) berganti dunga hindu. Nanti, ketika Islam datang, doanya berganti dengan doa Islam. Tetapi, aktivitas pati geni atau aktivitas ngidang sudah ada jauh sebelum India dan Islam datang,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Mochtar menjelaskan bahwa pengaruh tradisi penulisan naskah yang dibawa budaya Islam memicu munculnya kesadaran memahami budaya sebelumnya. Hal itu dibuktikan dengan munculnya manuskrip Islam yang membahas kebudayaan India. Seperti Hikayat Sri Rama. Lalu, datang eropa beserta kebudayaanya.
“Ini terbukti dari manuskrip Serat Damarwulan yang memperlihatkan ilustrasi tentang dua gambar wayang yang bertarung dengan adanya meriam. Meriam adalah pertanda bahwa eropa telah datang di Indonesia,” ucapnya.
Jaga Toleransi
Mochtar juga mengimbau seluruh elemen bangsa untuk bersikukuh merawat kebudayaan toleransi. Agar, tetap terus terjaga dan terjalin. Serta, membuktikan bahwa banyaknya budaya dapat meningkatkan toleransi. Mengingat, Indonesia adalah bangsa yang sangat beragam.
“Dari semua budaya besar yang masuk tidak saling mematikan. Jadi, kalau ada yang membandingkan dengan negara lain, Indonesia adalah negara yang paling toleran. Paling menghargai kebudayaan, suku, agama, dan sebagainya,” ungkapnya.
Diketahui, Mochtar memberikan paparan itu dalam webinar bertema “Jejak Toleransi Beragama dalam Catatan Manuskrip”. Digelar oleh Divisi Riset dan Keilmuan Himpunan Mahasiswa Departemen (HMD) Bahasa dan Sastra Indonesia (Sasindo) Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR). Mochtar mengajak mahasiswa mengenal toleransi di lingkungan sivitas akademika UNAIR dalam perspektif manuskrip.
Penulis: Affan Fauzan
Editor: Feri Fenoria
Baca juga: