Universitas Airlangga Official Website

Mengenal Priawan, Salah Satu Ragam Identitas Gender di Indonesia

Mengenal Priawan, Salah Satu Ragam Identitas Gender di Indonesia
Ilustrasi Transpuan (sumber: The Conversation)

Priawan memiliki asal usul etimologis yang unik. Istilah ”priawan” merupakan gabungan dan singkatan dari dua kata, yakni “pria” dan “wanita”. Istilah ini muncul sebagai respons atas keragaman identitas transgender laki-laki di Indonesia, sedangkan istilah “trans men (trans pria)” terdengar relatif asing dan dianggap kurang mengakomodasi budaya Indonesia.

Priawan dapat didefinisikan sebagai individu yang mengidentifikasikan dirinya sebagai transmaskulin wanita-ke-pria, atau pria yang sebenarnya jenis kelaminnya adalah wanita. Dalam kata lain, seorang priawan memiliki karakterisik jenis kelamin perempuan yang kerap diasosiasikan dengan femininitas, tetapi mengidentifikasi dan mengekspresikan dirinya secara maskulin. Studi yang dilakukan oleh Prasetyo et al. (2019) menyimpulkan setidaknya tiga hal, yaitu: (1) seorang priawan dapat mengidentifikasi dirinya sebagai laki-laki, trans pria, nonbiner, atau identitas gender lainnya; (2) seorang priawan dapat mengekspresikan dirinya secara maskulin, feminin, androgini, dan “cair”; (3) seorang priawan dapat melabeli orientasi seksualnya sebagai gay, lesbian, heteroseksual, biseksual, aseksual, atau label lainnya. Maka, dapat disimpulkan bahwa sebagai bagian dari spektrum SOGIESC, priawan memiliki identitas gender, ekspresi gender, orientasi seksual, dan jenis kelamin yang beragam dan “cair”.

Mengalami Diskriminasi

Komunitas transgender seringkali mengalami diskriminasi struktural, dipersekusi, dicap sebagai pendosa, dan dianggap tidak normal. Ini berdampak buruk terhadap kesehatan jasmani maupun rohani mereka. Isu trans-pria dan transmaskulinitas seringkai diabaikan, bahkan dalam komunitas LGBT itu sendiri. Jansen (2023) menyebutkan bahwa fenomena ini terkait dengan budaya heteropatriarki yang cenderung memarginalisasi orang-orang yang berjenis kelamin perempuan, termasuk trans-pria dan perempuan queer.

Di Indonesia, istilah “transgender” seringkali diasosiasikan dengan trans-puan. Riset mengenai individu trans-pria juga sangat jarang. Hal ini dapat dimaknai secara positif maupun negatif. Di satu sisi, komunitas trans-pria dan transmaskulin dapat memperoleh anonimitas, sehingga mereka dapat lebih bebas mengekspresikan diri, membentuk koneksi yang lebih dalam, dan merasa lebih nyaman di ruang publik. Namun, di sisi lain, marginalisasi ini menyebabkan hilang atau tidak dianggapnya suara-suara yang berasal dari komunitas trans-pria dan transmaskulin.

Melalui wawancara dengan 11 orang priawan, penelitian Artaria et al. (2024) mengungkap dan memperdalam tiga tema besar dalam studi tentang priawan, yaitu: (1) identitas priawan; (2) disforia gender dan proses afirmasi gender pada priawan; dan (3) diskriminasi terhadap priawan.

Hasil wawancara tersebut mengkonfirmasi studi Prasetyo et al. (2019) mengenai kecairan dan keragaman identitas priawan. Walaupun mereka mengidentifikasi dirinya sebagai priawan, beberapa informan menggunakan istilah lain juga untuk mengidentifikasi diri mereka, seperti trans-pria, tomboy, dan transmaskulin. Secara ekspresi gender, sembilan informan menyatakan dirinya sebagai maskulin, sedangkan dua lainnya menyatakan bahwa ekspresinya cenderung “cair” dan androgini. Terkait dengan orientasi seksual, kebanyakan dari informan mengidentifikasikan dirinya sebagai lesbian dan hanya satu informan yang mengidentifikasikan dirinya sebagai heteroseksual. Perbedaan ini disebabkan oleh bedanya pandangan antar informan, dimana mayoritas informan mengasosiasikan orientasi seksual dengan jenis kelamin (perempuan), sedangkan satu informan mengasosiasikan orientasi seksual dengan identitas gendernya (priawan).

Melela (coming out)

Dalam proses melela (coming out), para informan memiliki perasaan yang berbeda-beda. Tidak jarang dari mereka yang merasa marah, kecewa, hingga menyalahkan diri sendiri. Mereka yang merasa kecewa dan marah mempersepsikan diri mereka sebagai orang-orang yang “tidak normal” dan “tidak diharapkan” oleh keluarga dan masyarakat. Namun, para informan lama kelamaan menerima dirinya sendiri. Bahkan, salah satu informan menyatakan bahwa dirinya dan identitasnya merupakan suatu anugerah yang utuh dari Tuhan. Kendati demikian, mereka sadar bahwa masyarakat Indonesia, termasuk keluarga dan lingkungan mereka sendiri, masih perlu banyak berproses untuk menerima mereka.

Sebelum memutuskan untuk melela, seluruh informan kami mengalami disforia gender. Disforia gender adalah perasaan tidak nyaman yang muncul saat seseorang merasa tidak cocok dengan ekspresi dan jenis kelaminnya. Ketidaknyamanan ini dapat diperparah dengan adanya diskriminasi dari masyarakat terkait transisi gender. Untuk menanggulangi ketidaknyamanan ini, metode yang paling populer di kalangan priawan adalah mengganti nama mereka menjadi nama yang lebih maskulin atau netral. Beberapa di antara mereka memilih untuk membebat payudara mereka. Sementara itu, satu informan melakukan terapi hormon. Nampaknya, operasi afirmasi gender bukan opsi yang populer di kalangan priawan, walaupun hal itu dalam rangka menghilangkan disforia gender mereka.

Diskriminasi bukan menjadi sesuatu yang asing bagi para priawan. Beberapa tipe diskriminasi yang dialami para priawan antara lain stigmatisasi, invalidasi, kekerasan verbal, dan kekerasan fisik. Untungnya, beberapa orang terdekat mereka, seperti keluarga dan teman sejawat, dapat diandalkan untuk menjadi “support system” bagi mereka. Para priawan juga menemukan kenyamanan berekspresi pada pasangan dan komunitas mereka. Komunitas priawan menjadi penting karena para priawan dapat berbagi cerita dan saling melindungi untuk mencapai kenyamanan bersama. Adanya komunitas ini menjadi penting bagi proses penerimaan dan aktualisasi diri mereka. Eksistensi priawan menggarisbawahi luas dan tak terbatasnya keragaman gender di Indonesia.

Penulis: Prof. Myrtati Dyah Artaria, Dra., M.A., Ph.D.