Pada tahun 1830 di kota Paris, Prancis, untuk pertama kali, sebuah bus dapat mengangkut barang dan orang secara bersamaan ke tempat yang sama tujuan. Saat itu belum ada bus yang bisa digunakan untuk mengangkut orang dan barang secara bersamaan. Dengan kata lain, barang dan orang dibawa secara terpisah. Kemudian, bus itu dikenal sebagai omnibus. Negara-negara Amerika Latin menggunakan nama omnibus sebagai istilah hukum untuk mengatur banyak hal melalui sebuah undang-undang. Oleh karena itu, istilah omnibus law juga dikenal sebagai hukum yang digunakan untuk memuat banyak hal tetapi lebih efisien
Di Indonesia, Omnibus Law merupakan kebijakan yang dipilih oleh Presiden Joko Widodo untuk mengatasi kesemrawutan hukum dan peraturan yang dianggap terlalu kompleks dan banyak tumpeng tindih. Penerapan omnibus law menimbulkan beberapa implikasi. Pertama, putuskan konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif, dan efisien. Kedua, harmonisasi kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, mendukung iklim investasi. Ketiga, pengelolaan perizinan lebih terintegrasi, efisien, dan efektif. Keempat, mampu memutus rantai birokrasi yang terlalu panjang. Kelima, meningkatkan hubungan koordinasi antar instansi terkait karena telah diatur dalam kebijakan yang terintegrasi. Keenam, terciptanya kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pembuat kebijakan (Busroh, 2017).
Rencana pengesahan RUU Omnibus memantik reaksi keras di masyarakat, khususnya bagi kelompok sipil yang menolak. Tawaran demi masuknya investasi ditampik karena dibalik agenda pengesahan terdapat upaya untuk mengekspolitasi sumber daya alam dan tenaga kerja. Penelitian ini memberikan gambaran tentang analisis jejaring sosial yang muncul dalam wacana Omnibus Law. Penelitian ini menggunakan dua metode, yaitu Social Network Analysis dan Metode Kualitatif deskriptif. Software Netflic dimanfaatkan untuk mendapatkan data di Twitter dan mengolahnya dengan aplikasi Wordji dan Gephi. Selama masa pengumpulan data (26 September – 3 Oktober) diperoleh 1510 cuitan. Jejaring sosial yang terbentuk selama interaksi terkait wacana Omnibus di Twitter menunjukkan dominasi aktor-aktor sipil yang menolak pengesahan RUU Omnibus Law. Aktor-aktor sipil ini terdiri dari aliansi masyarakat yang secara terus-menerus mengawal isu-isu publik dan memiliki pengaruh dalam meningkatkan kesadaran sehingga menjadi rujukan atau aktor berpengaruh. Mobilisasi opini ini tidak hanya dominasi organisasi sipil, melawan aktor individual juga memiliki kemampuan dalam membentuk opini publik.
Dalam kerangka narasi agensi, interaksi dalam wacana Omnibus Law di twitter merupakan usaha komunal dan sosial sebagai bagian dari partisipasi dalam aktivisme digital. Artikulasi juga nampak dengan beragam hashtag yang tercipta sebagai bagian dari upaya menegaskan posisi politik agen. Beragam konten yang diproduksi serta platform digital sebagai media diseminasi informasi dan pengetahuan tak luput dimaksimalkan dengan kemasan yang menarik. Namun agensi ini bisa berbalik menjadi hal yang buruk ketika muncul buzzer yang berupaya mendelegitimasi agensi pihak-pihak yang resisten terhadap kebijakan Negara.
Jejaring sosial yang terbentuk merupakan hasil dari interaksi antara para pengguna Twitter dan dominasi oleh akun yang menunjukkan ekspresi penolakan terkait pengesahan RUU Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja. Hal ini juga terbukti dengan berbagai hashtag yang dikreasi sebagai pengindexan interaksi antar pengguna twitter. Wacana Omnibus Law di Twitter ini juga didominasi oleh aktor sipil, khususnya oleh organisasi nirlaba atau aliansi masyarakat sipil, diantaranya Fraksi Rakyat Indonesia, Bersihkan Indonesia, Aksi Langsung, Jatamnas dan lain-lain. Aliansi masyarakat ini merupakan aktor yang memiliki pengaruh dalam memobilisasi massa untuk menolak pengesahan RUU Omnibus Law. Kemampuan dan pengaruh ini didapat karena unggahannya mendapatkan respon yang beragam dari pengguna twitter lainnya. Selain itu, partisipasi dalam wacana Omnibus Law di twitter ini juga berasal dari aktivis yang giat mempersuasi dampak buruk dari penerapan Omnibus Law di Indonesia. Beberapa diantaranya adalah akun Lini_ZQ (aktivis perempuan dan kesetaraan gender), mitatweets dan Margianta.
Narasi agensi atau Agency Narrative Campbell menunjukkan bahwa wacana Omnibus Law Twitter bersifat komunal dan sosial, membuktikan bahwa partisipasi para pengguna twitter, salah satunya dalam memproduksi hashtag demi meningkatkan kesadaran terkait dampak buruk implementasi RUU Omnibus Law. Interaksi yang terjadi dalam konteks wacana RUU Omnibus Law juga berujuan untuk mempersuasi atau mempengaruhi pengguna twitter, beberapa akun tidak hanya menlontarkan pernyataan namun juga mendukung gagasannya dengan sejumlah informasi, sehingga pengguna twitter lainnya mendapatkan informasi alternatif dan meyakinkan mereka bahwa keberadaan RUU Cipta Kerja membawa dampak buruk bagi masyarakat luas. “Seni” juga menjadi landasan para penguna twitter dalam mengutarakan gagasannya, terbukti dengan produksi berbagai macam konten (e-poster, infografis, video, dan lain-lain) mampu mendorong partisipasi para pengguna twitter dalam merespon wacana Omnibus Law. Konflik politik antara pendukung dan penolak pengesahan RUU Omnibus Law ini secara nyata terjadi di platform digital, terbukti dengan beragam hashtag atau tagar yang ada. Terakhir, bahwa agensi bisa dibalik menjadi hal yang merendahkan atau meremehkan. Keberadaan buzzer atau pihak-pihak yang mencoba menandingi narasi penolakan dengan cara yang anti demokrasi sungguh nampak jelas dengan menyerang pribadi maupun membongkar data pribadi pihak-pihak yang mengganggu kepentingan Negara. Tujuannya jelas, hal ini untuk meredam aktivitas penggalan wacana untuk menolak pengesahan Omnibus Law.
Penulis: Hari Fitrianto dan Fahrul Muzaqqi
Link Jurnal: https://ejournal.unitomo.ac.id/index.php/jsk/article/view/5720