Universitas Airlangga Official Website

Mengkritisi Etika Saduran “Courtesy of influencer”

Ilustrasi eventige
Ilustrasi eventige

Industri kreatif Indonesia, dengan hasil budayanya yang dinamis dan beragam, telah diakui sebagai sektor penting bagi pembangunan ekonomi dan inovasi. Penelitian telah menunjukkan bahwa faktor seperti keberadaan industri kreatif dan penyebaran kreativitas berperan penting dalam perkembangan sektor ini. Namun, perjalanan menuju pemanfaatan potensi sektor kreatif Indonesia penuh dengan tantangan. Mulai dari kebutuhan akan model kerjasama yang lebih terpadu hingga pentingnya mengatasi kendala ekonomi dan infrastruktur.

Saat ini, budaya konsumen di Indonesia, khususnya di ranah digital, sedang mengalami perubahan yang transformatif. Faktor-faktor seperti pandemi COVID-19 yang terjadi beberapa waktu yang lalu, telah mengubah perilaku konsumen secara signifikan, mendorong peningkatan ketergantungan pada teknologi digital dan konten online.

Mengacu pada survei Reuters Institute for the Study of Journalism, ditemukan bahwa influencer telah melampaui jurnalis sebagai sumber berita. Hasil survei tersebut menyatakan bahwa 55% pengguna Tiktok dan 52% pengguna Instagram mendapatkan kebutuhan berita mereka dari influencer dan hanya 33-42% yang mendapatkan berita dari media-media mainstream (DW, 2023). Tak mengherankan bila di Indonesia sendiri, media mainstream menggunakan influencer menjadi sumber berita.

Salah satu yang paling legendaris misalnya, di medio 2010-an On The Spot Trans 7 menjadi salah satu program televisi yang melakukannya. Mengudara di spot primetime, konten On The Spot justru banyak melakukan ranking terhadap berbagai isu yang sumber videonya bersumber dari Youtube dengan hanya membubuhkan Courtesy of Youtube di pojok bawah. Di era yang lebih modern, tayangan infotainment di televisi juga kerap kali memberitakan konten-konten dari influencer. Pertanyaannya, apakah ini etis? Ataukah terdapat pelanggaran di dalamnya?

Terdapat dua hal yang dapat dikritisi dari fenomena ini, yakni pelanggaran hak cipta dan pelanggaran privasi. Di Indonesia sendiri, hak cipta diatur melalui UU No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta yang mengatur mengenai perlindungan karya intelektual dalam bidang seni, ilmu pengetahuan dan sastra. Termasuk di dalamnya hak-hak ekonomi dan moral bagi pemilik hak cipta.

Konten-konten influencer di media sosial juga termasuk dalam perlindungan UU tersebut dikarenakan pada pasal 1 angka 2 dan 3 dijabarkan bahwa pencipta adalah seseorang yang menghasilkan suatu ciptaan yang sifatnya khas dan pribadi. Sedangkan ciptaannya merupakan setiap hasil karya yang diekspresikan dalam bentuk nyata. Sehingga yang dilakukan oleh stasiun-stasiun televisi dalam upaya menyadur konten influencer merupakan sesuatu yang telah melanggar hak cipta. Pada pasal 9 ayat 1-3, juga dijelaskan bahwa seorang pemegang hak cipta memiliki hak ekonomi atas ciptaannya. Sehingga tidak diperbolehkan ada pihak yang melakukan penggandaan atau penggunaan secara komersial tanpa izin penciptanya.

Pelanggaran ini kemudian dapat ditarik kepada diskusi yang lebih luas, seperti apakah influencer yang kontennya disadur oleh program televisi mendapatkan kompensasi ekonomi? Apakah program televisi meminta izin sebelum menaikkan berita? Belum ada jawaban pasti, namun jika tidak ada kompensasi dan tidak ada izin secara jelas. Maka hal ini mendatangkan kerugian bagi pemilik hak cipta dari segi hak ekonomi dan hak moral dan telah terjadi pelanggaran undang-undang hak cipta.

Unggah Ulang Konten Influencer

Tindakan unggah ulang konten influencer dari satu platform ke program televisi juga disinyalir dapat melanggar hak privasi influencer itu sendiri. Hal tersebut diatur dalam pasal 26 UU ITE tahun 2008 yang menyatakan bahwa setiap informasi menyangkut data pribadi seseorang yang diunggah ke media elektronik harus seizin orang yang bersangkutan.

Salah satu informasi menarik, Instagram sebagai salah satu platform media sosial terbesar yang marak digunakan influencer, telah melindungi hak cipta atas konten-konten yang diunggah penggunanya. Dengan demikian tidak diperbolehkan seseorang menggunakan konten dari instagram tanpa izin dari pemegang hak cipta. Kecuali telah mendapatkan izin dan penggunaannya sebatas penggunaan wajar sesuai dengan undang-undang hak cipta. Instagram sendiri memiliki fitur untuk melaporkan pelanggaran hak cipta jika ada pengguna instagram yang merasa kontennya digunakan orang lain tanpa izin dan akun orang tersebut dapat ditangguhkan.

Yang menjadi pertanyaan lagi, jika sekelas media sosial saja memperhatikan perlindungan hak cipta, bagaimana posisi media mainstream sekelas televisi memandang hak cipta sehingga dapat meluncurkan program-program dengan teknik saduran? Sampai saat ini pun belum ada sanksi yang turun kepada para stasiun televisi atas pelanggaran UU hak cipta dan ITE tersebut.

Kemajuan teknologi ternyata berperan atas kemudahan pelanggaran hak cipta. Sebab seseorang dapat dengan mudah menyalin, mendistribusikan dan menyebarkan karya seni yang dilindungi hak ciptanya. Seringkali dengan mudahnya akses internet, individu penikmat karya seni menjadi tidak menyadari bahwa konten yang mereka konsumsi dilindungi oleh hak cipta. Penikmat tersebut menganggap karya seni berupa konten tersebut merupakan konten bebas. Namun jika pelanggaran dilakukan oleh media besar yang memiliki fungsi pendidikan dan kontrol sosial? Sepertinya harus ada regulasi yang mengatur dengan lebih ketat terkait konsekuensi-konsekuensi yang dihadapi atas praktik penyaduran ini.

Untuk mengatasi potensi dan tantangan yang saling terkait ini, diperlukan kerangka kebijakan komprehensif yang selaras dengan ekosistem kreatif dan konsumen di Indonesia. Pengembangan kebijakan tersebut sangat penting untuk menumbuhkan lingkungan digital yang mendorong akses yang adil, mendorong inovasi. Serta memastikan inklusivitas dan keamanan ruang online bagi semua pengguna. Dalam konteks ini, perlindungan kebebasan digital dan perlindungan informasi pribadi muncul sebagai pilar dasar. Kebijakan tersebut harus bertujuan untuk meningkatkan literasi digital, mendukung transformasi digital di sektor tradisional. Seperti jurnalisme, dan menumbuhkan budaya kewarganegaraan digital yang bertanggung jawab.

Singkatnya, perjalanan untuk mewujudkan potensi yang maksimal dari industri kreatif dan budaya konsumen di Indonesia di era digital bergantung pada perumusan dan implementasi kerangka kebijakan yang kuat. Dengan menerapkan pendekatan menyeluruh yang menjawab peluang dan tantangan yang ditimbulkan oleh media dan konten online. Maka harapan besar akan muncul di mana Indonesia akan mampu membuka jalan menuju masa depan digital yang dinamis, inklusif, dan berkelanjutan.

Penulis: Nadia Safira dan Ria Rianggantara