Jejak Ekologis atau ecological footprint (ECF) merupakan salah satu indikator yang sering digunakan untuk mengukur dampak aktivitas manusia terhadap lingkungan. Dalam beberapa dekade terakhir terdapat peningkatan jumlah limbah dan sumber daya alam yang digunakan untuk mendukung aktivitas manusia. Apabila hal ini dilakukan secara berlebihan atau melewati ambang batas yang seharusnya digunakan akan mempengaruhi ekosistem lingkungan. Hal ini perlu perhatian khusus untuk mengendalikan dan mengembalikan kualitas hidup yang menurun akibat kerusakan ekosistem dan perubahan iklim. Sebuah penelitian terbaru yang berjudul “The impacts of income inequality, forest area, and technology innovations on ecological footprint in Indonesia: ARDL and ML approach” yang merupakan kolaborasi dari beberapa peneliti dari berbagai universitas di dunia termasuk Dr. Miguel Angel Esquivias Padilla, M.SE, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Studi Ekonomi Pembangunan, mengkaji bagaimana beberapa faktor utama seperti gross domestic bruto (GDP), ketimpangan pendapatan, energi terbarukan, area hutan, dan inovasi teknologi dapat mempengaruhi jejak ekologis (ECF) Indonesia. Penelitian ini menggunakan data dari tahun 1990 hingga 2020 dengan menggunakan metode ekonometrik yaitu autoregressive distributed lag (ARDL) dan machine learning.
Perkembangan ekonomi di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir menunjukkan tren positif yang signifikan. Pertumbuhan ekonomi yang pesat ini membawa dampak yang baik kepada masyarakat karena terdapat peningkatan kesejahteraan ekonomi. Namun dalam penelitian ini ditemukan bahwa pertumbuhan ekonomi ini merupakan salah satu faktor utama yang meningkatkan jejak ekologis (ECF). Menurut penelitian, peningkatan 1% dalam GDP Indonesia akan meningkatkan jejak ekologis sebesar 0,847%. Hal ini menunjukkan semakin kaya suatu negara maka akan semakin besar juga dampak yang dihasilkan terhadap lingkungan. Aktivitas seperti urbanisasi, industrialisasi, dan pembangunan infrastruktur menyumbang pada peningkatan emisi karbon dan degradasi lingkungan. Hal ini dapat diatasi dengan kebijakan ekonomi yang berkelanjutan.
Selain itu, negara-negara berkembang di Asia tidak terkecuali Indonesia juga banyak terjadi ketimpangan pendapatan yang mana akan berdampak juga pada kerusakan lingkungan. Ketimpangan pendapatan ini diukur melalui indeks Gini. Berdasarkan penelitian ini, dalam jangka pendek variabel indeks Gini berkorelasi negatif dengan jejak ekologis (ECF). Hal ini mengindikasikan bahwa penurunan ketimpangan pendapatan (indeks Gini yang lebih rendah) akan disertai dengan penurunan jejak ekologis (ECF). Dengan kata lain, semakin merata pendapatan masyarakat, semakin kecil tekanan terhadap lingkungan dalam jangka pendek.
Selain faktor-faktor diatas, penggunaan energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan bioenergi merupakan langkah penting menuju pengurangan jejak ekologis (ECF). Meskipun kontribusi energi terbarukan terhadap ECF belum signifikan dalam jangka pendek, penelitian ini menyoroti potensi besar energi bersih dalam jangka panjang. Pemerintah Indonesia perlu mendorong transisi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan untuk mencapai target net-zero emission pada 2050.
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki keanekaragaman hayati dan wilayah hutan yang luas di dunia. Penelitian ini menemukan bahwa peningkatan 1% dalam luas area hutan dapat mengurangi jejak ekologis (ECF) sebesar 0,908%. Oleh karena itu, Indonesia diharapkan dapat berkontribusi dengan mengurangi emisi global dengan meminimalkan deforestasi dan pelestarian hutan. Kedua solusi tersebut mendesak untuk segera dilakukan untuk meminimalisir kerusakan ekosistem dan perubahan iklim yang diakibatkan eksploitasi berlebihan oleh manusia.
Faktor yang tak kalah penting lainnya adalah inovasi teknologi. Teknologi modern dapat menjadi alat yang kuat untuk mengurangi jejak ekologis (ECF). Inovasi seperti energi terbarukan, teknologi efisiensi energi, dan pengelolaan limbah yang cerdas terbukti efektif dalam menekan dampak lingkungan. Studi ini menunjukkan bahwa peningkatan 1% dalam inovasi teknologi dapat mengurangi jejak ekologis sebesar 0,288%.
Dari penelitian ini telah menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi jejak ekologis (ECF) di Indonesia, sehingga penelitian ini menawarkan beberapa rekomendasi kebijakan penting. Yang pertama yaitu melalui konservasi hutan. Konservasi hutan ini memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekologi global. Upaya ini tentu saja harus melibatkan banyak pihak atau pemangku kepentingan untuk mengurangi kerusakan ekologi di Indonesia. Konservasi hutan ini memiliki dampak yang signifikan karena secara langsung mengurangi emisi karbon, melindungi keanekaragaman hayati dan mencegah berbagai bencana alam. Dengan meningkatkan praktik pengelolaan hutan dan menerapkan kerangka regulasi yang kuat, Indonesia dapat meraih manfaat lingkungan yang substansial.
Selain itu, untuk mengurangi jejak ekologis (ECF) juga dapat dilakukan dengan memperkuat regulasi lingkungan dan praktik industri. Penerapan regulasi lingkungan yang lebih ketat, insentif pajak hijau, dan praktik industri berkelanjutan sangat penting bagi ekonomi Indonesia yang terus berkembang. Kebijakan ketiga yang ditawarkan adalah mendorong inovasi dan transfer teknologi. Kebijakan ini berdampak besar dengan mendorong kemajuan ramah lingkungan di berbagai sektor, yang pada akhirnya dapat mengurangi jejak ekologis. Namun, kelayakan kebijakan ini mungkin sedang karena membutuhkan investasi besar dalam penelitian dan pengembangan serta program transfer teknologi yang efektif dari negara-negara maju. Selain kebijakan yang telah dijelaskan, pemantauan dan kebijakan adaptif sangat penting untuk merespons tantangan lingkungan yang dinamis di Indonesia.
Jurnal selengkapnya: https://doi.org/10.1007/s43621-024-00585-9