Universitas Airlangga Official Website

Menilik Potensi global Film Horor di Indonesia

Film merupakan salah satu media entertainment yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia, namun belum banyak masyarakat yang mengenal secara mendalam mengenai Industri Film terutama di Indonesia. Industri Film merupakan bagian dari industri kreatif yang memiliki potensi besar baik bagi penyerapan tenaga kerja maupun perkembangan secara ekonomi. Studi yang dilakukan oleh lembaga konsultan dan penelitian dari Oxford Economic di tahun 2010 terhadap kontribusi industri film dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,43% setara dengan 2,98 juta dolar AS dan menciptakan lapangan pekerjaan sebanyak 0,45% atau sebanyak 491.800 tenaga kerja (Hendriyani, 2021). Angka ini terus bertambah seiring berkembangnya industri film di Indonesia.

Tercatat pertumbuhan positif industri film Indonesia juga terus naik hingga di tahun 2019. Hal itu  ditunjukkan dengan perolehan total jumlah penonton sebesar 152 juta orang. Meski sempat terguncang oleh pandemi covid-19 yang menyebabkan pertumbuhan di industri film sempat melambat namun tetap stabil (Kurniawan, 2024). Di tahun 2022 jumlah penonton bioskop Indonesia mencapai 100 juta dan meningkat sebesar 14,5% di tahun 2023 dengan perolehan jumlah penonton mencapai 114,5 juta orang (Kurniawan, 2024). Angka ini pun dapat bertambah seiring waktu melihat antusiasme para penonton tanah air terhadap perfilman Indonesia. Industri film di Indonesia pun telah memiliki pembuktian atas potensi mereka untuk bersaing di pasar global, hal ini dapat dilihat melalui keberadaan film Indonesia yang hadir pada festival film Internasional seperti Prenjak, Turah, Marlina: Pembunuh dalam empat babak, Pengabdi Setan, dan masih banyak lagi (CNN Indonesia, 2022). Salah satu genre film yang banyak diminati di Indonesia adalah genre horor dan setiap tahunnya genre ini juga banyak diproduksi.

Antusiasme terhadap genre film Horor di Indonesia sendiri selalu identik dengan tema – tema cerita dan keyakinan lokal Indonesia. Maka, dapat dikatakan bahwa perkembangan film horor Indonesia selalu mengangkat lokalitas masyarakat tentang kepercayaan yang dianut mengikuti perkembangan situasi budaya setiap dekadenya (Setiawan & Halim, 2022). Film Horor di Indonesia mulai hadir dan berkembang sejak hadirnya film “Doea Siloeman Oeler Poetie en Item” di tahun 1934 dan “Tengkorak Idoep” di tahun 1941 (Setiawan & Halim, 2022). Setelah hadirnya kedua film itu, genre Horor semakin berkembang dengan munculnya beragam karya sutradara lokal yang mengadaptasi cerita masyarakat lokal Indonesia.

Beberapa Film Horor lama di Indonesia yang menarik banyak perhatian antara lain Sundel Bolong, Jelangkung, Kuntilanak, hingga Hantu Jeruk Purut. Namun setelah kesuksesan dari film-film tersebut, genre Horor Indonesia kemudian dianggap sebelah mata karena cerita yang dibawakan lebih menonjolkan unsur seksual. Hal ini disebabkan oleh tingginya permintaan terhadap film horor Indonesia dan juga untuk mendongkrak penjualan tiket dengan menghadirkan cerita dan pemain film yang menghadirkan unsur – unsur yang tidak tepat sehingga mempengaruhi nilai dan makna film horor (Setiawan & Halim, 2022). Meski film horor Indonesia sempat dianggap tidak berbobot karena selalu menjual seksualitas, film Horor Indonesia kembali hadir menjadi genre yang banyak diminati setelah dilakukannya perubahan cerita dengan menghilangkan unsur seksualnya seperti pada Film Rumah Dara, Pengabdi setan, maupun Perempuan Tanah Jahanam.

Selain ramai di Indonesia, genre horor juga banyak diminati di tingkat global. Saat berbicara tentang film Horor luar negeri, deretan negara-negara yang muncul di kepala kita adalah Thailand, Jepang, dan yang baru-baru ini adalah Korea Selatan. Negara-negara tersebut jelas telah memproduksi film Horror yang tidak hanya dengan kualitas bagus, namun juga mampu menembus pasar Internasional. Film Horor dari negara-negara tersebut yang mungkin kita ketahui adalah Phobia dan The Medium dari Thailand, The Ring dan The Grudge dari Jepang, dan yang paling baru adalah Exhuma dari Korea Selatan. Judul – judul film horor populer luar negeri yang banyak diketahui masyarakat Indonesia juga menjadi bukti dari bagaimana perkembangan teknologi berdampak terhadap distribusi sebuah film dan kebiasaan menonton film itu sendiri.

Perkembangan teknologi membuat praktek menonton film tidak lagi hanya pergi ke bioskop, kini kita bisa nikmati beragam film melalui platform digital seperti Netflix, Viu, Iflix, dan lain sebagainya. Tingginya antusiasme masyarakat Indonesia atas film sayangnya belum didukung penuh oleh negara. Padahal dukungan oleh negara dapat membantu industri film Indonesia semakin berkembang baik dalam hal produksi maupun dalam hal distribusi atau promosi film Indonesia. Pendapatan Box Office meningkat pada tahun 2010-2018 hampir dua kali lipat dari 8,5 Miliar Dollar menjadi 16,7 Miliar Dollar di kawasan Asia-Pasifik, pangsa pasar film global negara Asia-Pasifik pun meningkat secara signifikan dari 20,9% menjadi 40,6% dalam kurun waktu yang sama (Paksiutov, 2021). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat potensi yang besar bagi film Indonesia untuk bersaing pada pasar film Global. Selain itu, kerja sama dengan platform digital juga dapat mempercepat pendorongan film Indonesia untuk masuk ke pasar global. Hal ini dapat dilihat melalui kerjasama yang telah dilakukan oleh para profesional industri Korea dengan Netflix dimana kerja sama tersebut sejalan dengan strategi keseluruhan pengembangan industri budaya Korea dalam bentuk promosi  budaya populer Korea aktif yang dilakukan oleh platform media global dan media sosial (Parc dan Kawashima, 2018, hal. 29 dalam Paksiutov, 2021).

Promosi atas film Indonesia dapat semakin berkembang dengan bantuan dari pemerintah. Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) menggelontorkan dana sebesar Rp75 miliar untuk promosi dan produksi film dalam bentuk Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebagai komitmen untuk mendorong perkembangan industri film Indonesia (Kemenparekraf, 2021). Selain itu, pada tahun 2023 pemerintah juga memberikan pendanaan pembuatan empat buah film sebesar 50 Miliar Rupiah. Namun, pemerintah juga seharusnya dapat membantu perkembangan industri film Indonesia dalam bentuk promosi seperti yang telah dilakukan oleh negara-negara seperti Korea Selatan dan Jerman yang memanfaatkan kedutaan mereka untuk menayangkan film-film menarik yang dapat menarik perhatian masyarakat Global atas Industri Film negara tersebut. Terakhir, pemerintah juga perlu meningkatkan kerjasama bisnis film di tingkat global, khususnya dengan negara-negara di wilayah Asia yang memiliki kedekatan geografis dan budaya. Sebagai salah satu negara dengan penduduk sebesar 60%, masa depan film Indonesia memiliki peluang positif untuk bisa diterima di pasar film Asia. Intervensi pemerintah dalam membangun film nasional harus mulai berfokus pada tahap pra produksi, yaitu pendistribusian film di luar pasar nasional. Jika hanya memberikan insentif di tahap produksi, perfilman nasional akan tetap berada di titik stagnan, pemerintah harus paham betul bahwa pendistribusian film di ranah global dapat menjadi soft power Indonesia di kancah Asia maupun Internasional.

Penulis: Ruth Vidyadanu S dan Ramadhani Nur A