Universitas Airlangga Official Website

Menilik Tari Kecak Indonesia dan Khon Thailand

Tari tidak hanya berfungsi menghibur, namun juga merupakan medium budaya yang kerap digunakan untuk menghidupkan kembali cerita-cerita epik. Salah satu cerita epik yang umum masyarakat ketahui ialah Ramayana.

Ramayana, sebuah kisah kuno yang penuh petualangan dan keberanian, telah menginspirasi berbagai bentuk seni pertunjukan, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh Asia Tenggara. Dua tarian yang menonjol dalam menyajikan kisah Ramayana ialah Tari Kecak dari Bali, Indonesia dan Tari Khon dari Thailand. Meskipun keduanya menceritakan kisah yang sama, Ramayana, perbedaan signifikan dalam penampilan, gaya, dan ekspresi artistik keduanya memberikan perspektif yang unik dan kaya tentang budaya masing-masing.

Tari Kecak, dengan musik vokal “cak-cak-cak” yang mengiringi gerakan para penari, menonjolkan kolektifitas dalam penyajiannya. Tarian ini menampilkan adegan perang dan pencarian dengan gerakan dinamis dan energik, yang mana penari menggambarkan berbagai karakter dari Ramayana tanpa menggunakan dialog. Tari ini adalah cerminan dari budaya Bali yang menekankan pentingnya komunitas dan kerja sama. Dalam sebuah dunia yang semakin terfragmentasi, Tari Kecak menawarkan pengingat yang kuat tentang kekuatan kebersamaan dan solidaritas.

Namun, perlu dicatat bahwa absennya penari perempuan dalam Tari Kecak mencerminkan peran gender yang terbatas dalam konteks tradisional Bali, yang mungkin tidak lagi relevan dengan nilai-nilai modern tentang kesetaraan. Ini menjadi topik refleksi dan diskusi lebih lanjut mengenai bagaimana tradisi dapat beradaptasi dengan nilai-nilai kontemporer tanpa kehilangan esensinya. Dalam hal ini, Tari Kecak menghadapi tantangan untuk tetap relevan di era modern, sambil mempertahankan karakteristik tradisionalnya.

Sebaliknya, Tari Khon dari Thailand menonjolkan individualitas karakter dengan penggunaan topeng dan kostum yang rumit. Setiap karakter dalam Tari Khon diperankan oleh penari yang menggunakan gerakan tangan, tubuh, dan wajah untuk mengekspresikan kepribadian dan emosi karakter tersebut. Keindahan estetika dan

kemewahan kostum Tari Khon menunjukkan hubungan erat antara seni pertunjukan dan kekuasaan politik di Thailand.

Tari Khon sering dihubungkan dengan keluarga kerajaan dan acara-acara istana, memperkuat posisi elit sosial dan legitimasi politik. Tari Khon mencerminkan adaptasi budaya yang menghargai partisipasi perempuan, meskipun peran laki-laki tetap dominan dalam pementasan tradisionalnya. Ini menunjukkan bagaimana tradisi dapat berkembang menjadi lebih inklusif tanpa mengabaikan akar sejarahnya. Perubahan ini mencerminkan dinamika sosial di Thailand, yang mana ada upaya untuk menyeimbangkan antara konservasi budaya dan modernitas.

Modernisasi dan globalisasi telah membawa perubahan signifikan pada kedua tarian ini. Tari Kecak telah menjadi atraksi wisata populer di Bali, menarik pengunjung dari seluruh dunia. Adaptasi budaya Bali terhadap ekonomi global menunjukkan bagaimana seni pertunjukan tradisional dapat menjadi komoditas pariwisata. Namun, komersialisasi ini bisa mengikis nilai-nilai tradisional yang menjadi inti dari Tari Kecak, menciptakan tantangan untuk mempertahankan keaslian budaya sambil tetap menarik minat global.

Bagaimana kita bisa mempertahankan keaslian budaya sambil tetap menarik minat global merupakan tantangan besar yang dihadapi oleh pelaku seni tradisional di era modern. Pertanyaan ini menggarisbawahi kebutuhan untuk menemukan keseimbangan antara pelestarian warisan budaya dan adaptasi terhadap tuntutan zaman. Tanpa keseimbangan ini, ada risiko kehilangan esensi budaya yang menjadi daya tarik utama seni tradisional.

Tari Khon juga telah mengalami modernisasi, dengan elemen-elemen baru yang ditambahkan untuk menarik penonton yang lebih muda dan internasional. Penggunaan teknologi pencahayaan dan panggung modern dalam pementasan Tari Khon mencerminkan upaya untuk menjaga relevansi budaya tradisional di tengah perubahan zaman. Namun, ada kekhawatiran bahwa inovasi ini bisa mereduksi nilai-nilai tradisional dan keaslian budaya.

Apakah penambahan elemen modern ini benar-benar diperlukan untuk mempertahankan minat penonton, atau justru mengaburkan esensi dari Tari Khon itu sendiri? Pertanyaan ini juga penting untuk direnungkan, terutama dalam

konteks upaya mempertahankan warisan budaya sambil tetap mengikuti perkembangan zaman. Hal ini menunjukkan bahwa modernisasi harus dilakukan dengan hati-hati, mempertimbangkan dampak jangka panjang pada identitas budaya.

Melalui analisis kritis, kita dapat melihat bahwa Tari Kecak dan Tari Khon bukan hanya representasi estetika dari kisah Ramayana, tetapi juga cerminan dari nilai-nilai budaya, sosial, dan politik masyarakat mereka. Kedua tarian ini menunjukkan bagaimana budaya bisa menjadi dinamis dan adaptif, namun tetap menjaga identitas dan warisan tradisionalnya. Dengan memahami konteks budaya dan perubahan yang terjadi dalam Tari Kecak dan Tari Khon, kita dapat menghargai kompleksitas dan keindahan warisan budaya Asia Tenggara.

Sebagai simpulan, cara kita cukup menghargai dan mendukung seni pertunjukan tradisional dalam menghadapi tantangan modernisasi dan globalisasi serta bagaimana kita bisa menjaga keseimbangan antara pelestarian warisan budaya dan adaptasi terhadap perubahan zaman merupakan pertanyaan-pertanyaan penting yang harus kita renungkan saat kita menikmati keindahan dan keunikan Tari Kecak dan Tari Khon. Melalui apresiasi dan pemahaman yang mendalam, kita dapat berkontribusi pada pelestarian warisan budaya yang berharga ini.

Penulis: Amare Amodia (Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga)