Menurut World Health Organization (2022), stunting merupakan kondisi kekurangan gizi kronis yang terjadi pada anak di bawah usia lima tahun. Kondisi ini tentu penting untuk ditanggulangi mengingat stunting membawa dampak negatif terhadap tumbuh kembang anak baik secara fisik maupun mental. Lalu, bagaimana kita dapat mengetahui apabila anak kita mengalami stunting atau tidak? Ikatan Dokter Anak Indonesia memiliki acuan terkait hal tersebut, sebagai contoh, anak laki – laki dengan usia 2 tahun, rata – rata memiliki tinggi 87 cm. Apabila anak laki – laki kita memiliki tinggi 81 cm ke bawah, dapat dipastikan anak kita sedang mengalami stunting, karena tingginya beberapa tingkat di bawah rata – rata anak seumurannya.
Menurut Antara (2021), kebanyakan kasus stunting terjadi di negara – negara di benua Afrika dengan jumlah kasus sebnayak 22,1 juta pada tahun 2021. Permasalahan stunting di Indonesia berada pada urutan ke-115 dari 151 negara di dunia (Antara, 2022). Bahkan di tingkat Asia Tenggara, Indonesia menepati urutan tertinggi kedua setelah Timor Leste (Databoks, 2021).
Terdapat berbagai macam aspek yang akan terdampak ketika anak mengalami stunting, yaitu aspek fisik, perkembangan, ekonomi, dan mental. Secara fisik, anak yang mengalami stunting memiliki peningkatan resiko kematian dan penyakit, serta akan memiliki postur tubuh yang rendah dan kecil ketika ia dewasa dibanding orang dewasa pada umumnya. Pada aspek perkembangan, stunting dapat menyebabkan menurunnya perkembangan kognitif, motorik, dan bahasa, rendahnya performa akademik di sekolah, dan rendahnya kapasitas belajar. Secara ekonomi, permasalahan kesehatan pada anak stunting, dapat menjadi pengeluaran tambahan bagi keluarga, belum lagi, anak yang sedang sakit tersebut berpotensi memiliki keterbatasan dalam hal produktivitas kerja (WHO, 2017). Secara mental, dampak yang mungkin terjadi pada anak yang mengalami stunting adalah munculnya kecemasa, gejala depresi, dan kepercayaan diri yang lebih rendah dibanding anak yang tidak mengalami stunting (Walker, Chang, Powell, Simonoff, & Grantham-McGregor, 2007).
Melihat pentingnya penanganan stunting, tentu pemerintah telah melakukan upaya dalam bentuk program – program penanggulangan stunting, begitu juga dengan pemerintah Kota Surabaya. Meskipun berbagai macam program telah dilakukan, namun target zero stunting atau nol kasus stunting di Surabaya, yang dimiliki oleh Walikota Surabaya, belum tercapai (Hakim, 2022). Untuk menelusuri peluang yang ada di Surabaya, maka dilakukan penelitian untuk mengkaji potensi dan permasalahan yang ada di beberapa area yang memiliki angka stunting cukup tinggi. Penelitian yang dilaporkan di Media Gizi Indonesia SP (1) terbit bulan Desember 2022 ini menyajikan Peta Potensi Pengentasan Stunting di Kota Surabaya (https://doi.org/10.20473/mgi.v17i1SP.97–103). Artikel ini berusaha memaparkan berbagai faktor yang mendukung dan menghambat program penanganan stunting yang ada di kelurahan – kelurahan di Surabaya, yang salah satunya merupakan kelurahan dengan jumlah stunting terbanyak di Surabaya. Kami mengajukan pertanyaan pada perangkat kelurahan di 10 kelurahan di Surabaya, dan menemukan beberapa hal sebagai berikut.
Penelitian yang dilakukan di 10 kelurahan di Surabaya menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan program penanganan stunting. Ada faktor-faktor yang membantu program berjalan dengan baik, seperti adanya tim kelurahan yang kompeten dan komitmen, sarana dan prasarana yang cukup, dana yang tersedia, dan program tambahan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Selain itu, lingkungan sosial yang positif seperti solidaritas dan gotong royong di masyarakat juga membantu program. Lingkungan perkotaan juga memudahkan akses sumber makanan dan layanan pemerintah. Namun, masih ada faktor-faktor yang menghambat program seperti kesulitan dalam mengakses dana dan kurangnya sarana dan prasarana yang tersedia.
Dalam upaya menurunkan tingkat stunting di Surabaya, ada beberapa hal yang dapat membantu proses tersebut. Pemerintah kota memberikan dukungan finansial dan tim khusus untuk menjalankan program-program yang diperlukan. Namun, masih ada permasalahan yang perlu diperhatikan, yaitu kondisi sosial dan kesadaran masyarakat yang belum sepenuhnya memahami pentingnya perubahan pola hidup yang baik bagi kesehatan anak. Untuk mengatasi masalah ini, Pemerintah Kota Surabaya dapat meningkatkan layanan yang tersedia di PUSPAGA dengan cara memberikan edukasi kepada orangtua atau keluarga yang memiliki anak stunting. Edukasi ini dapat mencakup topik seperti tumbuh kembang anak, cara mengatasi masalah anak yang tidak suka makan makanan bergizi, dan cara mengatasi permasalahan emosional saat mengasuh anak. Dengan demikian, orangtua akan lebih siap secara mental sebelum mulai mengasuh anak.
Penulis: Retno Surjaningrum
Jurnal: https://e-journal.unair.ac.id/MGI/article/view/40675/23515