n

Universitas Airlangga Official Website

Menjemur ‘Bayi Kuning’, Efektifkah?

Ilustrasi bayi. (Foto: Istimewa)

UNAIR NEWS Aktivitas menjemur bayi di bawah sinar matahari pagi tampaknya sudah menjadi tradisi. Masyarakat percaya cara ini mampu mengatasi gejala kuning yang kerap dialami bayi baru lahir. Terlepas dari benar tidaknya hal tersebut, sebenarnya penanganan gejala kuning pada bayi harus tepat. Jika salah, maka bisa mengancam keselamatan bayi.

Bayi kuning atau dalam istilah medis disebut Hiperbilirubinemia adalah suatu gejala klinis yang sering dijumpai pada bayi baru lahir berusia 1-2 minggu. Dokter anak FK UNAIR-RSUD Dr. Soetomo Agus Haryanto,dr.,SpA(K) mengungkapkan Hiperbilirubinemia yang masih terbilang wajar sebenarnya dapat diatasi dengan terapi sinar matahari. Sementara jika Hiperbilirubinemia tergolong akut, maka perlu dilakukan foto terapi.

Menjemur bayi di bawah sinar matahari sebenarnya tidak direkomendasikan oleh kalangan dokter anak. Mengingat bilirubin diproduksi dari pemecahan sel darah merah dan sifatnya tidak mudah larut dalam air, maka diperlukan paparan cahaya yang cukup lama dan konstan agar dapat melarutkan kadar bilirubin yang berlebihan di dalam tubuh.

“Jarak matahari dengan kita kan jauh, sementara menjemur bayi paling lama 15 sampai satu jam saja. Beda dengan foto terapi yang memiliki panjang gelombang tertentu sehingga proses terapi menurunkan kadar bilirubin menjadi lebih efektif, efisien, dan optimal,” ungkapnya.

Aktivitas menjemur bayi baru lahir sebenarnya bertujuan untuk menghangatkan tubuh serta merangsang bayi supaya haus. Ketika haus, bayi akan cenderung minum susu lebih banyak.

Protein yang terkandung di dalam susu terlebih lagi ASI akan mengikat bilirubin, kemudian dibawa ke liver dan dibuang melalui tinja dan air seni. Selama proses tersebut berlangsung, maka dalam kurun waktu beberapa hari kadar bilirubin dalam tubuh akan kembali normal.

“Gejala Hiperbilirubinemia paling ringan ditandai dengan ciri malas minum dan terjadi penurunan berat badan lebih dari 10 persen,” ujarnya.

Walaupun masyarakat menganggap bayi kuning adalah hal wajar, namun tidak semua bayi kuning dianggap normal. Menurut Agus, jika kadar bilirubin terlalu tinggi sementara tidak mendapat penanganan yang tepat, maka dapat memicu terjadinya kernikterus atau komplikasi berat. Dampak dari komplikasi ini  dapat mengganggu sistem saraf otak secara permanen.

Dunia medis mengenal kernikterus sebagai suatu komplikasi berat dari Hiperbilirubinemia, dimana kadar bilirubin di dalam tubuh bayi (kadar bilirubin darah > 20 mg/dl) yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada saraf otak secara permanen.

Sebagai salah satu rumah sakit pusat rujukan nasional, RSUD Dr. Soetomo telah merawat lebih dari 450 bayi dengan Hiperbilirubinemia di tahun 2016, sementara 6-8 kasus di antaranya mengalami kemikterus.

“Jika sampai terjadi keracunan di otak, maka 5-10 persen kemungkinan bisa mengalami cacat otak permanen,” ujarnya.

Agus menjelaskan, jika diketahui bayi mengalami Hiperbilirubinemia stadium dua disertai demam dan kejang, maka 90 persen berpotensi meninggal. Sementara jika masih bisa diselamatkan, maka diupayakan tindakan transfusi tukar golongan darah.

“Cara ini dapat membantu bayi tetap survive, tapi 10 persen beresiko cacat,” ungkapnya.

Sayangnya, hingga kini belum ada data akurat mengenai besaran kasus Hiperbilirubinemia di Indonesia. Namun Agus meyakini, kasus Hiperbilirubinemia di Indonesia seperti fenomena gunung es. Karena dianggap sebagai hal wajar oleh masyaraktat, akibatnya gejala bayi dengan Hiperbilirubinemia akut seringkali terabaikan.

“Ketepatan diagnosis dan penanganan Hiperbilirubinemia akan sangat memengaruhi tumbuh kembang bayi di tahap selanjutnya,” ujarnya.  (*)

Penulis : Sefya Hayu Istighfaricha

Editor : Binti Q. Masruroh