Universitas Airlangga Official Website

Menuju ICAS, AIIOC Buka Pameran Seni Ritus Liyan Bersama Masyarakat Kampung Plampitan Surabaya

Spot lukisan karya Redi Murti dalam Kuratorial Tour Kampung Plampitan, bersama mahasiswa dan Anitha Silvia

UNAIR NEWS – Universitas Airlangga (UNAIR) membuka pameran seni rupa urban bersama masyarakat yang diinisiasi oleh Airlangga Institute of Indian Ocean Crossroads (AIIOC). Menjadi bagian dari kegiatan pra-International Convention of Asian Scholars (ICAS) ke-13, pameran pra-ICAS bertajuk Ritus Liyan ini berlangsung selama sepekan, pada 24-31 Mei 2024. Berlokasi di Kampung Plampitan, Peneleh, Surabaya, AIIOC turut melibatkan masyarakat setempat dalam pameran seni tersebut.

Unjuk warna yang berbeda dari pameran seni pada umumnya. Karya-karya para seniman tersebar di beberapa sudut kampung dan turut menghidupkan kembali bangunan terbengkalai yang ada. Cara yang tidak umum tersebut menjadi nyawa dalam keberlangsungan kegiatan Ritus Liyan. 

“Jadi memang ketidakumuman itu barang kali yang aja menjadi hal penting atau ruh dari rangkaian kegiatan Ritus Liyan ini,” ungkap Direktur AIIOC, Lina Puryanti SS MHum Phd, dalam jumpai pers, Jumat (24/5/2024).

 Lina Puryanti SS MHum PhD saat menghadiri jumpa pers Pameran Ritus Liyan di Kampung Plampitan Surabaya. (Foto: Panitia)

Para seniman yang telah berproses sejak Maret 2024 lalu menampilan beragam karya seni, mulai dari fotografi ataupun videografi, sketsa, lukisan, pertunjukan, instalasi, dan lainnya. Bahkan, terdapat komunitas batik peneleh yang turut berpartisipasi memamerkan batik dengan motif khas peneleh, yang menunjukkan aktivitas ataupun kebiasaan warga setempat. 

“Karya-karya yang dipamerkan berusaha merespon kehidupan sehari-hari serta pemahaman lokal warga Kampung Plampitan,” ujar sang kurator pameran, Bintang Putra. 

Jadi, yang ditampilkan pada setiap karya para seniman setidaknya mampu bercerita kepada para penikmatnya tentang kehidupan warga setempat, yakni Kampung Peneleh. Salah satunya cerita yang dibawakan oleh Kenny Hartato, dalam karyanya berupa sketsa monokromatik. Kenny menyuguhkan sketsa rombong sate, yang cukup terkenal di lingkungan Kampung Peneleh. 

“Saya terpikat dengan rombong sate, yang ternyata dibuat dari kayu-kayu bongkaran rumah peninggalan kolonial di Kampung Plampitan, dan ini menjadi contoh nyata praktik daur ulang yang kini sedang populer di kalangan desainer,” jelas Kenny. 

Dalam sketsa yang dibuatnya, Kenny tidak melewatkan satu hal kecil pun yang menarik dari rombong sate milik Mudaih, seorang pedagang sate keliling di Kampung Peneleh. Mulai dari peci yang dipakai sang pedagang sate, penyangga rombong sate yang berbeda dari penyangga rombong lainnya, besek nasi yang bertahan menggunakan rotan, hingga kipas sate, meski zaman menawarkan perkakas yang lebih canggih. 

Nilai kesederhanaan, konsistensi, dan keunikan rombong sate rupanya berusaha disampaikan oleh Kenny, sebagai seorang seniman yang berpartisipasi. Sama halnya dengan kesepuluh seniman lainnya yang berpartisipasi. Menyuguhkan karya-karya penuh maknanya, yang bercerita pada sudut-sudut kampung. 

Kenny Hartanto dalam rangkaian Artist Talk sketsa monokromatik Rombong Sate dalam pameran seni Ritus Liyan (Foto oleh Farros Kusuma Valentino)

AIIOC sebagai lembaga yang bersifat multidisiplin ilmu, berupaya membangun hubungan harmonis antar akademisi, praktisi, hingga masyarakat. Dengan akronim penyebutan aiyok, Lina selaku direktur menyebut bahwa akroni tersebut berasal dari kata ‘ayok’ yang berarti sebuah ajakan. Ajakan bagi setiap pihak untuk berpartisipasi, karena AIIOC akan selalu terbuka pada berbagai alternatif kreatif.

“Karena diinisiasikan oleh beberapa fakultas dengan latar belakang ilmu yang berbeda, kami berpikir bahwa knowledge production itu semestinya tidak hanya di kampus, tetapi juga bersama-sama dengan masyarakat,” jelas Lina. 

Hubungan antara UNAIR dengan masyarakat Kampung Plampitan yang telah terjalin sejak 2017 silam, rupanya membangun kesadaran para akademisi akan potensi kampung. Hal-hal yang kerap dianggap wajar dalam keseharian masyarakat kampung, rupanya dapat bernilai luar biasa dalam pandangan dunia. 

“Jadi kita melihat bagaimana, hal yang kita kira itu biasa-biasa saja, tetapi ternyata ketika hal yang biasa saja itu kita tawarkan sebagai sebuah living life, rambu-rambu yang hidup, itu ternyata menjadi sebuah alternatif yang berterima atau diterima secara luar biasa di mata internasional,” ungkap Lina. 

Aktivitas gotong royong, kehidupan masyarakat kampung yang saling berdampingan satu sama lain, menciptakan lingkungan yang tentram dan bersih. Meski tanpa teknologi yang mahal, hubungan sosial masyarakat kampung rupanya menjadi keberangkatan konsep Ritus Liyan. 

“Lanjutan dari sana kami berpikir, kira-kira mungkin nggak ya kita itu justru mencari ide kreatif dari kampung? Bukan di galeri atau di tempat-tempat terkesan mewah, tetapi di public space,” ungkapnya, 

“Jadi kegiatan ini juga kami berusaha membuat masyarakat itu bukan sebagai penonton, tetapi juga host, menjadi bagian dari kegiatan ini, mereka yang menerima tamu,” tutupnya. 

Penulis: Syifa Rahmadina

Editor: Feri Fenoria

Baca Juga:

UNAIR Tengah Bersiap Menyambut ICAS Ke-13

Sukseskan ICAS 13 2024: AIIOC Adakan Rapat KoordinasiICAS 13