COVID-19, penyakit menular disebabkan virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2), menyebar melalui droplet pernapasan dan kontaminasi permukaan. Virus memasuki tubuh dengan berinteraksi pada protein Angiotensin-Converting Enzyme 2 (ACE-2). Gejala umum termasuk demam, batuk, kelelahan, dan gangguan pernapasan. Pencegahan termasuk penggunaan masker, jaga jarak, cuci tangan, dan vaksinasi. Pemerintah Indonesia berupaya keras dengan riset, edukasi, dan strategi kesehatan efektif guna menekan kejadian penularan dan infeksi COVID-19.
Salah satu strategi yang dilakukan untuk mengendalikan penyebaran COVID-19 adalah dengan mendeteksi dan mengisolasi pasien yang dicurigai. Ini penting guna memberikan penanganan yang tepat. Metode deteksi utama meliputi nucleic acid amplification test (NAAT), reverse-transcription polymerase chain reaction (rt-PCR), dan antigen rapid diagnostic test (ag-RDT), menggunakan sampel darah dan swab nasofaring. Saat ini, deteksi COVID-19 dapat dilakukan menggunakan saliva sebagai sampel. Saliva, cairan produksi kelenjar saliva di mulut. Cairan itu berperan penting dalam pencernaan dan sistem kekebalan tubuh karena mengandung s-IgA, IgG, IgM, dan antibodi spesifik terhadap patogen yang juga terdapat di GCF.
Saliva
Saliva manusia merupakan sumber pertama di mana imunoglobulin A (IgA) polireaktif “alami” ditemukan. IgA sekretorik (s-IgA), bagian dari imunitas mukosa, diyakini berperan penting dalam pertahanan awal tubuh terhadap infeksi pernapasan, termasuk COVID-19. Penelitian menunjukkan bahwa IgA dalam saliva dapat mencerminkan respons imun individu, tingkat keparahan penyakit, dan risiko klinis. Hasil studi juga menunjukkan bahwa sampel saliva memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam mendeteksi COVID-19. Ini menunjukkan potensi sebagai metode alternatif yang efektif. Alasan penggunaan saliva sebagai sampel uji untuk mendeteksi COVID-19 dapat dilihat dari keunggulan teknisnya di lapangan.
Pertama, saliva adalah strategi diagnosis non-invasif, kemudian kemudahan pengambilan sampel yang murah, serta penggunaan saliva lebih aman daripada pengambilan sampel seperti usapan nasofaring dan darah, yang dapat berbahaya bagi para tenaga medis. Sampel saliva dapat dikumpulkan melalui beberapa metode seperti draining, spitting, suction, dan swabbing. Riset sebelumnya menunjukkan bahwa rt-PCR dapat mendeteksi RNA SARS-CoV-2 yang ada di dalam saliva. Hal tersebut linear dengan hasil riset lain yang menunjukkan bahwa deteksi SARS-CoV-2 menggunakan metode reverse transcription loop-mediates isothermal amplification (RT-LAMP) menunjukkan sensitivitas mencapai 72,7% dengan spesifitas 95,7%.
Hasil
Sampel saliva yang telah dikumpulkan juga dapat dilakukan deteksi melalui test antibodi dalam kit tes antibodi dengan menggunakan teknologi Lateral Flow Assay (LFA) atau menggunakan teknologi Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dan/atau Chemiluminescent Assay (CLIA). Penelitian terhadap COVID-19 menemukan bahwa kadar IgG dalam darah dan saliva tetap stabil hingga hari ke-105 setelah timbulnya gejala (PSO). IgA juga dapat dideteksi dalam serum COVID-19 dengan keunggulan spesifik bahwa antibodi IgA dapat dideteksi lebih awal daripada IgM atau IgG, setidaknya dua hari setelah gejala muncul. Meskipun saliva menunjukkan potensi untuk pengujian antibodi, validasi,Hasil dan penelitian lebih lanjut diperlukan, terutama mengenai tingkat persistensi antibodi dalam saliva dari waktu ke waktu, sehingga validasi pengujian antibodi saliva sangat disarankan untuk studi kedepannya.
Penulis: Prof. Dr. Ira Arundina, drg., M.Si., PBO
Tulisan lengkap kami dapat dilihat: