UNAIR NEWS – Pertengahan Maret kemarin, aktivis Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti telah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan kasus pencemaran nama baik terhadap Menko Marves RI Luhut Binsar Pandjaitan. Pakar HAM UNAIR Haidar Adam SH LLM turut buka suara mengenai hal ini dalam wawancara bersama tim redaksi pada Kamis pagi (7/4/2022).
Haidar menekankan bahwa kasus tersebut merupakan bentuk Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). SLAPP adalah tuntutan atau gugatan yang ditujukan untuk menghalangi partisipasi publik dalam penegakan HAM. Pelanggar HAM yang melakukan SLAPP ini bertujuan agar pelanggarannya menjadi terkaburkan, serta membuat orang menahan diri untuk melakukan partisipasi publik lagi (chilling effect).
“Untuk mengatakan bahwa kritik dari Haris-Fatia ke Luhut itu pencemaran nama baik, perlu dilihat terlebih dahulu beberapa hal. Objek dan sasaran kritiknya apa? Siapa yang mengkritik? Motifnya apa? Pencemaran nama baik itu kan ditujukan untuk merendahkan martabat seseorang di muka umum. Sementara kritik, adalah bentuk kebebasan berpendapat yang dilindungi konstitusi,” tutur Direktur UKBH FH UNAIR itu.
Objek kritik disini adalah Luhut, seorang individu yang memegang suatu jabatan publik. Haidar mengatakan bahwa dalam studi kebebasan berpendapat, pejabat publik by nature harus memiliki toleransi terhadap kritik yang lebih tinggi. Hal ini berarti bahwa kritik terkeras dapat diarahkan ke posisi jabatan publiknya, mengingat kinerjanya harus selaras dengan kebutuhan publik.
“Bertumpu pada objek kritik ini, maka tidak relevan untuk mengatakan bahwa kritik ini merupakan pencemaran nama baik. Langkah yang seharusnya dilakukan oleh Luhut dalam rangka merespons kritik adalah menyajikan data, bukan melapor,” ujar alumni Central European University itu.
Haidar juga menekankan bahwa subjek pengkritiknya adalah pembela HAM (human rights defender), yang karena kinerja mereka harus memiliki perlindungan lebih. Pernyataan yang dilontarkan oleh Haris-Fatia dalam siniar tersebut harus dilihat pula motifnya, apakah untuk kepentingan publik atau ada motif pribadi.
“Bila kritik tersebut dilontarkan untuk kepentingan publik dalam rangka kinerja mereka sebagai pembela HAM, tentu tidak bisa dikualifikasikan sebagai pencemaran nama baik,” tutur lektor FH UNAIR itu.
Haidar mengatakan bahwa ada dua hal yang patut menjadi refleksi atas kasus ini. Pertama, adalah nasib kebebasan berekspresi terkait apa yang sedang terjadi di Papua. Ia menjelaskan bahwa akses mendapatkan dan menyebarkan informasi disana sangatlah sulit. Hal tersebut tentu akan merugikan di aspek HAM dan demokrasi, dimana pembatasan kebebasan berekspresi dihalangi oleh relasi sosio-ekonomi dan politik.
“Terdapat prinsip interdependensi dan indivisibilitas dalam HAM, dimana pemenuhannya tidak dapat dipisah-pisah dan dibagi-bagi. Bilamana kebebasan berekspresi itu dilanggar, maka hak-hak lainnya seperti hak hidup, hak atas akses kesehatan, hak atas rasa aman terhadap masyarakat Papua akan dilanggar pula,” tuturnya.
Kedua, Haidar menceritakan minimnya perlindungan hukum terhadap kinerja pembela HAM di Indonesia. Amat krusial menurutnya untuk menyetarakan posisi pembela HAM dengan jurnalis, yakni sebagai public watchdog. Kasus seperti Haris-Fatia menunjukkan betapa rentannya pembela HAM yang harus berhadapan dengan negara dan/atau korporasi.
Penulis: Pradnya Wicaksana
Editor: Nuri Hermawan