Proyek intelligent library dengan memanfaatkan artificial intelligence (AI) merupakan proyek yang membutuhkan dana yang besar, fasilitas dan SDM yang mendukung. Saat ini AI banyak diadopsi oleh perusahaan berskala besar. Namun perpustakaan besar seperti akademik library juga mulai melirik AI untuk menunjang layanan perpustakaan. Pekerjaan perpustakaan terdiri dari layanan teknis (backstage) seperti proses organisasi informasi (klasifikasi, kataloging, dan penentuan subyek), proses seleksi koleksi, shelving, dan sirkulasi peminjaman. Pekerjaan tersebut merupakan aktivitas rutin yang dilakukan oleh pustakawan di semua jenis perpustakaan. Pustakawan sering menghabiskan waktunya untuk melakukan pekerjaan repetitive sehingga kurang ada waktu untuk pengembangan profesi dan pengembangan inovasi perpustakaan. Demikian halnya untuk level manajerial, yang mana banyak membutuhkan bantuan untuk analisis data dan mempresentasikan data untuk pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan di perpustakaan.
Saat ini perpustakaan banyak memanfaatkan teknologi informasi tidak hanya untuk proses otomasi perpustakaan seperti OPAC dan penelusuran informasi, namun juga untuk gate systems, sirkulasi, dan kataloging. Teknologi informasi yang digunakan di perpustakaan untuk kegiatan rutin masih tergantung dengan manusia. Seperti klasifikasi dan kataloging, dimana manusia masih menentukan nomor klasifikasi dan metadata sebuah koleksi secara manual, sirkulasi juga belum sepenuhnya dilakukan oleh mesin, sehingga pustakawan masih menghabiskan waktunya untuk kegiatan rutin tersebut.
Banyak teknologi berbasis artificial intelligence yang ditawarkan pada perpustakaan, untuk membantu tugas-tugas rutin maupun kompleks, namun belum banyak perpustakaan yang mengadopsi AI baik secara parsial maupun penuh. Ada beberapa hal yang menjadi perhatian perpustakaan untuk mengadopsi AI, antara lain terkait kebijakan pimpinan, budget, sumber daya manusia, dan fasilitas.
Pimpinan perpustakaan, pustakawan, dan pemerhati dan peneliti bidang IT di perpustakaan sudah memiliki pemahaman terkait dengan AI, dimana mereka mendefinisikan AI sebagai mesin/robot/aplikasi komputer yang menyerupai atau mengadopsi kecerdasan manusia untuk membantu / memudahkan pekerjaan manusia. Dalam penelitian ini responden lebih banyak menjelaskan AI sebagai human mimicking machine, contoh teknologi AI seperti robot dan machine pintar, dan fungsi AI yakni untuk membantu pekerjaan manusia terutama dalam pengolahan data. Para responden sangat antusias dan berharap bahwa AI dapat membantu pekerjaan pustakawan di perpustakaan terutama terkait routine task seperti pada layanan sirkulasi, shelving, pengolahan, dan pendaftaran anggota baru. Responden berargumen bahwa banyak pekerjaan rutin perpustakaan yang menghabiskan waktu produktif pustakawan, dan dengan bantuan AI ini pustakawan berharap dapat melakukan pekerjaan produktif untuk pengembangan perpustakaan.
Responden juga melihat AI bermanfaat untuk data analytics, seperti mengolah data kegiatan peprustakaan yang kemudian akan digunakan untuk pengambilan keputusan. Data analytics disini terkait dengan data-data yang ada di perpustakaan baik data peminjaman, akses e-resources, data penggunaan layanan, dan data aktivitas pengguna lainnya. Selanjutnya AI juga bermanfaat untuk layanan research support dan research assistant dengan memberikan informasi mengenai topik-topik penelitian dan bantuan menelusur informasi dengan cepat dan tepat.
Perpustakaan sangat mungkin untuk mengaplikasikan AI, namun tidak terlepas dengan kompetensi pustakawan baik kompetensi professional maupun softskills. Pustakawan minimal harus memiliki pengetahuan dan aplikasi teknologi informasi, mengetahui perkembangan IT di perpustakaan, pustakawan juga harus literate AI, yakni mengenal AI, mengenal tools dan teknologi AI, kompetensi data analytics, library management, user behavior dan system design. Mengkomunikasikan AI kepada non IT atau programmer atau computer science people bukanlah hal yang mudah. Selain kompetensi, juga terdapat kompetensi softskill terkait dengan adopsi AI, dengan harapan jika pustakawan menguasai softskill maka adopsi AI di perpustakaan akan semakin mudah. Kemampuan softskill ini diwujudkan berupa sikap adaptif terhadap kemajuan teknologi, kreatif dan inovatif, berpikir kritis, kerjasama dan komunikasi.
AI diyakini oleh responden dapat memberikan kemudahan. Hal ini tercermin pada hasil survey yang menyatakan ‘apakah AI dapat membantu memudahkan pekerjaan?’ Seluruh responden menjawab ‘Ya’. Hasil survey menyatakan kemudahan AI dapat ditinjau dari pustakawan, pengguna, dan manajemen. Responden yakin bahwa dengan aplikasi AI dapat membantu tugas perpustakaan, meningkatkan produktifitas kerja, dan memungkinkan pekerjaan dilakukan secara cepat (efisien). Pengguna juga mendapat kemudahan dnegan aplikasi AI di perpustakaan, seperti mendapatkan layanan yang cepat, tersedia 24/7, kemudahan mencari sumber informasi, mendapatkan informasi yang akurat. Pengguna juga dapat mendapatkan respon yang cepat dari perpustakaan sehingga meningkatkan pengalaman dalam memanfaatkan informasi di perpustakaan.
Jika perpustakaan ingin mengaplikasikan AI, ada aspek yang harus disiapkan. Menurut hasil survey menunjukkan bahwa peprustakaan membutuhkan perangkat hardware, software, brainware, dan manajemen. Ketersediaan dan dukungan kepala perpustakaan dan instansi juga merupakan aspek penting dalam manajemen yang mampu menggerakkan seluruh komponen di perpustakaan. Selain optimisme dalam menerapkan AI untuk perpustakaan, responden juga mengidentifikasi hal-hal yang dapat menghambat implementasi AI, antara lain terkait dengan manajemen, SDM, dan fasilitas. Hambatan manajemen terutama terkait dengan anggaran dan visi pimpinan terkait pengembangan teknologi informasi banyak dikemukakan oleh pustakawan, mereka khawatir bahwa manajemen (pimpinan) tidak memiliki visi pengembangan teknologi informasi dan kurangnya dukungan pimpinan, serta kebijakan yang tidak jelas terkait AI, kurangnya dukungan pimpinan dan minimnya anggaran. Para pustakawan ini juga sangat mengkhawatirkan ketidaktersediaan dana untuk pengembangan teknologi informasi terutama AI. Sedangkan dari pandangan kepala perpustakaan hambatan yang muncul terkait SDM yang tidak inovatif, tidak kreatif, tidak kompeten, SDM yang apatis, SDM yang belum expert di bidang IT, serta kurangnya kemauan SDM. Selanjutnya kepala perpustakaan juga menyatakan rumitnya birokrasi dan kemauan untuk berubah yang kecil, serta kemampuan finansial yang terbatas. Para akademisi melihat hambatan terbesar dalam penerapan AI di perpustakaan adalah ketidakmauan dan ketidakmampuan lembaga, dukungan dari instansi induk masih kurang, serta kompetensi SDM masih kurang.
Penelitian: Dessy Harisanty, S.Sos., M.A.
Link: https://www.emerald.com/insight/content/doi/10.1108/LHT-10-2021-0356/full/html