Universitas Airlangga Official Website

Pasien Imunokompenten Muda Terinfeksi Tuberculosis Intracranial dengan Spondilitis

Ilustrasi oleh otcdigest.id

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi dengan kasus  penyebab kematian nomer satu di dunia. Pada tahun 2019, diperkirakan 10 juta orang terinfeksi dan 1,4 juta kasus TB adalah penyebab kematian. Pada tahun 2018 Indonesia sebagai negara tropis yang memiliki resiko tinggi tertular TB, perkiraan telah ada 845.000 kasus, dan 93.000 kasus meninggal diantaranya. Penyakit TB tidak memandang usia, dimana penderita rata-rata berumur 15 hingga 49 tahun. Pada kasus berikut, pasien berusia 17 tahun, sehingga tuberculosis dapat mengganggu produktifitas pasien.

Keluhan yang dirasakan pasien 17 tahun dirasa cukup menghambat aktivitas dan istirahat pasien, hal tersebut ditunjukan dengan adanya rasa sakit saat berbaring atau ada benjolan dipunggung bawah dan nyeri punggung selama 3 bulan sebelum perawatan di rumah sakit. Selain itu, batuk terus menerus dan penurunan berat badan sejak 6 bulan sebelum dirawat di rumah sakit, dan pasien juga napas pendek sejak 2 minggu sebelum dirawat. Gejala-gejala tersebut menguatkan bahwa pasien mengalami TB Paru. Namun, masih perlu pemeriksaan lanjut, untuk mengetahui tingkat keparahan, dan sejauh mana manifestasinya.

Dalam memutuskan diagnosis, dilakukan beberapa pemeriksaan. Pertama, diagnosis fisik ditemukan anemik, dan kaku leher yang menghambat motoric pasien. Kedua, hasil pemeriksaan neurologi ditemukan adanya hiperrefleksi dikedua sisi. Ketiga, saat pemeriksaan CT-Scan, tomografi, darah, MRI, dihasilkan bahwa adanya penurunan kadar hemoglobin, peningkatan sel darah putih, penurunan albumin, peningkatan laju endap darah. Keempat, hasil x-ray pada dada terlihat adanya penumpukan cairan, dan penumpulan pada sudut kostrofrenik. setelah pemeriksaan lanjutan, pasien muda didiagnosis mengalami TB sistem saraf pusat dengan manifestasi klinis spondylitis.

Tuberkulosis spondylitis merupakan kasus jarang yang terjadi, terlebih lagi pada anak muda, yang mana kasusnya hanya terjadi 1 dari 5% kasus TB. Selain itu, dalam mendiagnosis, tidak bisa hanya dilihat dari gejala yang dirasakan pasien. Namun perlu pemeriksaan klinis lanjut. Meskipun tingkat kematian disebabkan TB spondylitis berisiko rendah, namun angka kesakitan berisiko tinggi, karena penanganan yang terlambat. Selain itu, berdampak juga pada tingkat keparahan struktur tulang yang abnormal, dan gangguan sistem saraf.

Meskipun tergolong penyakit akut, namun masa penanganan atau pengobatan TB Spondilitis membutuhkan waktu 9 hingga 12 bulan. Dalam masa pengobatan dibagi menjadi dua fase, yaitu fase pengobatan, dan fase perawatan. Fase pengobatan dilakukan kurang lebih adalah 2 bulan, yang bertujuan untuk mengurangi masa akut penyebaran bakteri dengan anti-tuberkilosis yang berisi kombinasi 4 obat. Namun, operasi dapat menjadi penanganan efisien manajemen penyakit TB paru pada tulang.

Setelah pengobatan, pasien masih perlu dimonitoring untuk mengetahui perkembangan pasien dengan estimasi 6 bulan. Selain itu, adanya resiko abnormal pada tulang belakang, maka fisioterapi menjadi terapi yang harus dilakukan pasca operasi. Adanya penanganan kasus yang cukup panjang, dan dalam diagnosis diperlukan serangkaian test lanjutan, menjadi kasus berikut perlu dijadikan fokus dalam pencegahan untuk menurunkan tingkat keparahan TB spondylitis pada kaum milenial.

Penulis: Dr. Paulus Sugianto, dr. Sp.S(K)

Informasi detail dari studi artikel ini dapat dilihat pada Jurnal Romanian JouRnal of neurology, 2022, Vol 21, hal 83-89. Artikel dapat diakses melalui link berikut: http://dx.doi.org/10.37897/RJN.2022.1.16

Sutantoyo, F. F., & Sugianto, P. (2022). A malignant disseminated tuberculosis: concurrent intracranial tuberculosis with skipped multilevel spondylitis in a young immunocompetent patient. Romanian Journal of Neurology, 21(1), 83–89. https://doi.org/10.37897/RJN.2022.1.16