Pelemahan rupiah yang terjadi beberapa hari ini di picu oleh beberapa hal mulai dari kondisi global yakni perang yang terjadi antara Hamas dan Israel sampai pada situasi politik terkini di Indonesia yaitu pengumuman Bakal calon presiden serta Bakal calon wakil presiden. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat ditutup di level Rp15.933 per dolar AS pada Senin tanggal 23 Oktober sore. Rupiah melemah 61 poin atau minus 0,38 persen dari perdagangan hari sebelumnya. Bahkan, pelemahan rupiah atas dolar AS hari ini menjadi yang terdalam dibandingkan mata uang Asia serta negara maju lainnya. Faktor eksternal menjadi yang paling berpengaruh dalam lesunya mata uang Garuda. Salah satu faktor tersebut adalah kekhawatiran eskalasi perang Israel-Hamas yang menekan pergerakan rupiah. Perang antara Hamas dan Israel yang tiada kunjung usai meningkatkan ketidakpastian akan kestabilan kondisi politik,ekonomi dan sosial budaya. Konflik perang Israel-Hamas cenderung tereskalasi, area konflik meluas sehingga peristiwa ini masih menjadi kekhawatiran pelaku pasar.
Ketidakstabilan kondisi keamanan tersebut diperparah dengan kemungkinan munculnya lima permasalahan akibat dampak ekonomi global. Pertama, kecenderungan perilaku pasar keuangan ataupun investor yang lebih memilih memegang uang kertas dolar. Fenomena ini dinamakan sebagai “cash is the king”. Mengutip dari Investopedia, ungkapan cash is the king sering digunakan saat harga di pasar sekuritas tinggi dan investor memutuskan untuk menyimpan uangnya ketika harga lebih rendah. Istilah ini juga bisa merujuk ke neraca atau arus kas bisnis di mana banyak uang tunai biasanya merupakan sinyal positif. Sedangkan arus kas yang kuat memungkinkan perusahaan lebih fleksibel dalam hal keputusan bisnis dan investasi potensial. Penggunaan istilah cash is the king juga bisa merujuk kepada bentuk pembayaran yang didominasi kas.
Kecenderungan adanya cash is the king juga disebabkan oleh terus bertahan tingginya suku bunga kebijakan bank sentral negara-negara maju, khususnya bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve atau The Fed. Diiringi dengan kenaikan suku bunga imbal hasil surat berharga negara tenor jangka panjang pemerintah AS, tidak hanya US Treasury tenor 10 tahun, melainkan 20-30 tahun.
Kondisi inilah yang membuat BI harus menaikkan suku bunga acuan BI-7 day reverse repo rate pada rapat dewan gubernur yang digelar pada 18-19 Oktober 2023. Bank Indonesia harus menaikkan suku bunga acuan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan mengantisipasi kenaikan harga barang-barang impor. Gubernur BI dalam Siniar Prospek Perekonomian dan Arah Bauran Kebijakan Bank Indonesia 2023 menyatakan jika kenaikan ini untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah dari dampak meningkat tingginya ketidakpastian global serta sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi dampaknya terhadap inflasi barang impor atau imported inflation. Sehingga inflasi tetap terkendali dalam sasaran 3% plus minus 1% pada 2023 dan 2,5% plus minus 1% pada 2024.
Sebagai informasi, pelemahan rupiah sempat terpangkas terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pasca Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menahan suku bunganya. Dilansir dari Refinitiv, rupiah secara cepat merespon hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) dengan berada di angka Rp15.820/US$, bahkan sempat kembali ke level psikologis Rp15.800/US$. Hal ini membuat aliran modal dari negara emerging tempo hari mulai stabil, bahkan sudah masuk ke Indonesia dan negara negara emerging market itu kembali cash is the king, kemudian pindah ke negara maju dan juga memperkuat dolar AS.
Selain fenomena cash is the king, empat risiko lainnya yang diwaspadai BI pada 2023 adalah, pertama, pertumbuhan ekonomi dunia yang menurun bahkan risiko resesi yang meningkat di Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Kedua, tingkat inflasi yang tinggi di berbagai negara. Ketiga, kenaikan suku bunga bank sentral AS The Fed dan bank sentral negara maju lainnya yang diperkirakan berlanjut hingga tahun depan. Keempat, berkaitan dengan penguatan mata uang dolar AS yang begitu kuat, sehingga memberikan tekanan pelemahan pada berbagai mata uang, termasuk rupiah.
Bank Indonesia tetap optimis dengan melakukan bauran kebijakan yang optimal dan bersinergi dengan pemerintah. Arah bauran kebijakan BI pada 2023, yakni pro stability di mana kebijakan moneter akan tetap menjaga stabilitas, menurunkan inflasi, menstabilkan nilai tukar rupiah dari tekanan global. Kebijakan lainnya, yaitu diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi atau pro growth, di antaranya adalah kebijakan makroprudensial yang longgar, digitalisasi sistem pembayaran, pendalaman pasar uang, serta inklusi ekonomi dan keuangan, termasuk ekonomi hijau. Dengan kebijakan itu, BI optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 akan berada di level 4,5 persen-5,3 persen dan tingkat inflasi kembali ke sasaran 3 persen plus minus 1 persen.
Penulis: Chorry Sulistyowati, S.E., M.Sc. (Dosen FEB UNAIR)