Pada hari minggu tanggal 29 Januari 2023 saya berkesempatan bersilaturahim dengan senior saya yang memiliki kesamaan nama belakang dengan saya yaitu mas Muhammad Hamzah dikediamannya di kawasan Tanjung Perak, dia Angkatan 67 di Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga satu Angkatan dengan Mas Eddy Yuwono Slamet mantan Wakil Rektor UNAIR dan mas Karyadi Mintaroem – mantan dekan FEB UNAIR. Pada silaturahim dengan mas Muhammad Hamzah ini saya tertarik menggali informasi tentang sejarah pendirian Masjid Nuruzzaman di Kampus B UNAIR karena dia adalah saksi hidup yang mengetahui proses pembangunan Masjid itu – from the scratch atau mulai dari nol.
Saya menanyakan “siapa yang punya gagasan/ide membangun Masjid itu”, mas Muhammad Hamzah menjawab “saya”. Mas Muhammad Hamzah mengatakan bahwa hampir diseluruh Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia ini ada Masjid, kenapa di Unair tidak ada. Perlu diketahui, kami-kami para junior tahun 1970 an itu sering bersama- sama para senior melakukan ibadah sholat di Musholla Fakultas Kedokteran UNAIR di Kampus A, mushalla FK ini letaknya dibawah ruang kuliah teater mahasiswa FK. Hal itu kami lakukan karena belum ada Masjid di kampus UNAIR. Saya sendiri tidak mengerti kenapa kami yang berada di kampus B (waktu itu belum ada sebutan A, B dan C) jauh-jauh melewati RS dr. Soetomo untuk sholat di FK, padahal didekat kampus B itu banyak masjid yang berada di kampung-kampung,
Perlu diketahu di Kampus B itu dulu hanya ada dua Fakultas yaitu Ekonomi dan Hukum. Gedungnya pun menjadi satu, lantai dua dan berbentuk seperti huruf L terbalik dimana bagian depannya yang memanjang dari barat ke timur ditempati Fakultas Hukum dan bagian sampingnya yang memanjang dari utara ke selatan ditempati Fakultas Ekonomi dan Perpustakaan. Pada tahun 1970 an itu area Kampus B masih melompong dipenuhi alang-alang artinya tidak dipenuhi bangunan-bangunan gedung seperti sekarang, dan gedung yang ada hanyalah Fakultas Hukum dan Ekonomi, dibagian sebelah selatan ada lapangan sepakbola – yang kononnya dibangun oleh alumi Fakultas Kedokteran yang menjadi Direktur Pertamina jaman Orde Baru dulu yaitu Jendral TNI dr. Ibnu Sutowo (beliau ini pernah diperintahkan presiden Suharto untuk menemui Prof. Habibie di Jerman dan memintanya untuk pulang ke Indonesia untuk membangun negara). Lapangan sepakbola itu kalau malam dipakai gelandangan tidur dan anak-anak kecil dari kampung Gubeng Airlangga main bola di sore hari. Kawasan Kampus B itu juga dikelilingi perumahan dinas dosen UNAIR. Sekarang lapangan sepakbola itu sudah tidak ada karena diatasnya dibangun gedung Fakultas Hukum dan Perpustakaan.
Idenya Mas Muhammad Hamzah itu kemudian didiskusikan dengan kedua sohibnya satu angkatan tadi, dan kemudian dilaporkan ke salah satu pejabat Universitas Airlangga yang akhirnya sampai pada rektor yang waktu itu dijabat oleh Brigjen TNI AD Ery Sudewo. Tentu sebelum sampai ke pak rektor ada perdebatan panjang kenapa harus ada Masjid di kampus Unair.
Ide pembangunan Masjid itu berkembang dan banyak mahasiswa dari berbagai Fakultas (waktu itu hanya FK, FKG, FF, FH dan FE) yang ikut membantu pengembangan ide pembangunan Masjid itu. Salah satunya almarhum Labih Syaifudin (dia ini bersama mas Muhammad Hamzah sama-sama berasal dari LA – bukan Los Angeles USA tapi “Asli Lamongan”, dan almarhum Labib ini pernah menjabat sebagai ketua Senat Mahasiswa FE Unair menggantikan mas Eddy Yuwono Slamet). Saudara Labib mengusulkan nama Masjid itu “Langgar Raya”, ada kritikan yang tidak setuju nama itu lalu akhirnya semua sepakat dengan nama Nuruzzaman yang berarti “Cahaya Zaman”.
Saya menanyakan kepada mas Muhammad Hamzah berapa modal awalnya pembangunan Masjid itu, “NOL” jawabnya dengan keras, jadinya betul-betul Bondo Nekad. Namun kemudian ada dana Rp 10 juta dan dia lupa dari mana asalnya dana itu. Mas Muhammad Hamzah dan kawan-kawannya kemudia mendiskusikan secara detail rencana pembangunan Masjid itu dirumahnya almarhum Hari Basuni (mantan Ketua IKA UA) di Jalan Ir. Anwari 11 Surabaya dimana waktu itu pamannya almarhum Hari Basuni adalah salah satu pejabat Adhi Karya yang kemudian mengumpulkan bebebrapa arsitek dari ITS untuk membantu membuat gambar rancang bangunnya. Dana yang ada Rp 10 juta tadi habis hanya untuk membangun tiang pancang
Untuk menggali dana saya ingat panitia pembangunan Masjid yang diketuai Prof. Muhammad Zaman Yunus, Bendahara Pak Mughni Meester in de Rechten (mertuanya mas Karyadi) dan sekretarisnya mas Muhammad Hamzah pontang panting berikhtiar mencari dana salah satu nya menyelenggarakan acara seni drama di gedung bioskop Mitra (dekat kantor DPRD Surabaya). Saya tidak tahu grup mana yang memainkan pertujukan drama yang berjudul Al Adawiyah (Rabiah Al Adawiyah berbahasa Arab yang ditulis Muhd. Athiya Khumais tahun 1377 H – Tokoh Rabiah sebagai tokoh ideal dalam cerita, mampu menjalankan sendi-sendi kehidupan masyarakat dengan niiai kesusilaan yang bertujuan nntuk menjunjung tinggi martabat dan harkat manusia menurut fitrah ajaran Islam. Tokoh Rabiah berhasil menjalankan konsep panngaderreng dengan nilai siri ‘, sehingga membuat tokoh ini sebagai tokoh yang dianggap ideal dalam budaya Bugis). Saya ingat sebagai mahasiswa paling junior saya ikut diberi tugas menjualkan tiket pertunjukan drama itu.
Selain itu kata Mas Muhammad Hamzah, almarhumah ibu Tin Suharto – ibu negara waktu itu memberi bantuan Rp 5 juta, dan sehabis penggunaan dana itu mas Muhammad dipanggil untuk mempertanggungjawabkan dana itu di Bina Graha dikawasan Istana Merdeka karena uang itu berasal dari istana. Mas Muhammad Hamzah didampingi almarhum Mas Mustofa Akuntan (Angkatan 69 FE) berangkat ke Jakarta naik KA dan dalam perjalanannya mengalami pelemparan batu masyarakat di Jawa Tengah. Setelah Bu Tin memberi bantuan dana “ujug-ujug” almarhum Laksamana Sudomo (salah satu pejabat negara berkuasa jaman Orde Baru) juga memberi bantuan dana 5 juta.
Perlu diketahui kantor panitia pembangunan Masjid itu menempati ruangan kecil disebelah kantor BNI yang menghadap arah Rumah Sakit dan Peletakan batu pertama pembangunan Masjid itu oleh Prof. Dr. K.H Mukti Ali Menteri Agama RI (1971-1978).