Universitas Airlangga Official Website

Mengenal Perkembangan Ilmu Kimia dari Dunia Islam

Arabic manuscript held in the British Library showing the distillation process in a treatise of chemistry. © The British Library, London

Kita umumnya mengetahui perkembangan awal kemajuan ilmu pengetahuan di dunia barat seperti Yunani, Inggris, Perancis, Italia, Jerman dan Amerika Serikat, Namun tidak banyak yang mengetahui bahwa di dunia Islam sejak wafatnya Sayidina Rasulullah Muhammad para ilmuwan Islam banyak menemukan hal-hal baru di dunia ilmu pengetahuan. Karena dunia Islam dikuasai (dijajah) oleh negara-negara Barat terutama dari Eropa, maka berita atau informasi tentang kemajuan Islam itu dikecilkan. Berita tentang Islam sering menjadi bias. Padahal ilmu pengetahuan modern saat ini di berbagai bidang (sampai algoritme) itu banyak berasal dari pemikiran para ilmuwan Islam masa lalu.

Misalkan di dunia ilmu kimia, dunia pendidikan dan penelitian dimanapun termasuk di Indonesia, mengenal nama-nama ilmuwan Barat seperti Louis Pasteur, George Washington Carver, Joseph Priestley, Antoine Lavoisier, John Dalton, dan Amadeo Avogadro yang menjadikan ilmu kimia sebagai ilmu modern. Tapi apakah orang tahu siapa itu Muhammad Ibnu Zkariya al-Razi (Rhazes) atau Jabir Ibny Hayyan (Geber) atau Abu Yusuf Yaqub Ibnu Ishaq al-Kindi, dan sebagainya?

Seorang ilmuwan dari Amerika Serikat Benjamin Huddle PhD pada pertemuan nasional ke 238 – American Chemical Society (yang memiliki anggota lebih dari 150.000) mengatakan pada para peserta pertemuan. “Anda harus tahu mereka ini karena mereka adalah para imuwan ahli ilmu kimia dari dunia Islam di Timur Tengah pada abad 8 sampai 13. Para ilmuwan Islam itulah yang mengembangkan ilmu pengetahuan, kedokteran dari Eropa bagian selatan melalui Afrika utara sampai ke Asia Tengah dan India serta belahan dunia lainnya. Ilmu mereka menjadi dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan kedokteran modern di Eropa. Karena dominasi Barat terhadap negara-negara Islam, maka ilmu pengetahuan dari dunia Islam itu sengaja dilupakan atau dianggap sebagai ilmu abal-abal”.

Pak Benyamin Huddle tadi mengatakan: “We are rediscovering the fact that from 750 to 1258 A.D. the best science in the world was being done by Arabic-speaking peoples. In chemistry we use language from the Arabs, apparatus and techniques, many chemicals (especially perfumes), and many materials.”

Salim TS al-Hassani profesor emiritus di Universitas Manchester Inggris dan Mohammad Abattouy profesor di bidang sejarah dan filasat ilmu pengetahuan pada Mohammed V University Rabat, Maroko, dan peneliti senior pada Foundation for Science, Technology and Civilisation, Manchester Inggris dalam artikelnya The Advent of Scientific Chemistry mengatakan bahwa kata alchemy yang dikenal di dunia Barat itu (dalam bahasa Perancis disebut ‘la chimie’) sebenarnya dari kata bahasa Arab Kimmiya (yang bermakna ‘Kuantitas’) dan akhirnya menjadi al-Kimiya yang berarti ilmu kimia.

Ilmu kimia ini adalah ilmu yang berdasarkan pada penelitian dan percobaan-percobaan yang mengubah suatu zat menjadi zat lain lewat laboratorium. Dan hal itu kata kedua illmuwan ini adalah pekerjaan orang Islam; karena pembuktian suatu yang tidak/belum jelas atau meragukan adalah tradisi umat Islam sejak dulu misalkan dalam hal ilmu hadis. Suatu hadis harus dicek secara cermat ‘Sanat-Rowinya’, asal usulnya, siapa yang yang membicarakan pertama, kalau ada penutur hadis yang ternyata adalah orang yang diragukan integritasnya misalnya pembohong, maka hadis itu tidak bisa dipercaya kebenarannya.

Pembuktian-pembuktian sebagai tradisi Islam ini dipakai oleh para ilmuwan Islam dalam menemukan teori-teori ilmu kimia seperti yang dilakukan oleh Al-Razi yang dianggap sebagai the father of modern chemistry. Sementara itu, pada jaman-jaman tersebut para ilmuwan dari Yunani membahas ilmu kimia berdasarkan perkiraan-perkiraan metafisik, bukan berdasarkan pembuktian lewat percobaan laboratorium.

Ibnu Sina dan Ibnu Khaldun misalnya adalah ilmuwan yang diragukan dan ditolak penemuannya pada jaman dulu, misalnya penemuan mengubah metal sederhana menjadi emas. Namun dengan tradisi Islam yang selalu mendasarkan penemuannya dengan fakta, ditopang dengan scientific evidence, mereka berhasil membuktikan penemuannya itu.

Sementara itu ilmuwan Barat, Jean Mathe dalam bukunya The Civilization of Islam menyimpulkan penemuan-penemuan gemilang ilmuwan Islam di bidang ilmu kimia, antara lain menemukan alkohol, asam sulphur (sulphuric acids), potassium, silver nitrate, dan banyak lagi. Mereka juga menemukan teknik-teknik sublimasi, kristalisasi dan distilasi. Tak kalah pentingnya temuan mereka juga dibidang kimia ini banyak dipakai di dunia industri tekstil maupun pertanian, juga parfum. Bahkan ada ilmuwan Inggris yang mengatakan bahwa pembuatan sabun sampai parfum itu dilakukan ilmuwan Islam berdasarkan ritual wudhu, mensucikan diri sebelum sholat. Jadi faktor mengutamakan kebersihan dalam ajaran Islam telah menghasilkan temuan-temuan ilmiah di industri sabun dan parfum.

Para ilmuwan Islam dibidang ilmu kimia ini seperti Jabir, Al-Razi dan Al-Majriti juga menulis ratusan buku ilmu pengetahuan. Jabir misalnya menulis AlKhwass al-kabir (the Great Book of Chemical Properties), Al-Miaj menulis tentang Chemical Combination. Dia juga membuat timbangan yang persisinya tinggi menimbang zat yang sangat sangat kecil yang ibaratnya tidak bisa dilihat mata telanjang. Sementara Al-Razi menciptakan laboratorium dengan lebih dari 20 instrument yang sebagian besar digunakan dalam laboratorium modern jaman sekarang ini.

Para ilmuwan Islam dulu itu mempelajari nilai-nilai luhur agama Islam yang di dalamnya mengajarkan tentang ilmu pengetahun dan menggunakan nilai-nilai itu menjadi penemuan ilmu pengetahuan yang gemilang. (*)