Hingga saat ini stunting masih menjadi salah satu permasalahan gizi utama pada anak di Indonesia. Nutrisi yang masuk ke dalam tubuh bayi sejak lahir berpengaruh pada tumbuh kembang anak, termasuk resiko stunting. Informasi dari hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) yang dilakukan oleh kementrian kesehatan tahun 2021 menyatakan bahwa prevalensi balita yang mengalami stunting sebesar 24,4%. Artinya 3 dari 10 balita mengalami kondisi stunting.
Stunting merupakan dampak dari kurang gizi kronis atau berulang di dalam rahim dan usia dini. Hal ini dapat menghambat perkembangan fisik anak, pertumbuhan motorik dan mental, kapasitas kognitif, dan menyebabkan masalah berkepanjangan seperti penyakit degenerative. Anak yang menderita stunting kemungkinan besar tidak mencapai tinggi badan seharusnya dan tidak mencapai potensi kognitif penuh. Saat dewasa, anak dengan stunting mungkin akan mengalami permasalahan penghasilan rendah akibat tidak sekolah dan mengalami kesulitan ketika sekolah, dan juga mereka beresiko mengalami kelebihan berat badan dan obesitas dibandingkan dengan anak dengan tinggi badan normal.
Stunting berkaitan dengan ketidakadaan ASI. Anak yang tidak mendapatkan ASI proporsi perawakan pendek lebih besar dibandingkan dengan yang mendapatkan ASI. Hasil riset menunjukkan bahwa balita yang tidak mendapatkan inisiasi menyusui dini1,3 kali lebih besar kemungkinannya mengalami stunting, artinya inisiasi dini untuk menyusui terutama ASI eksklusif merupakan bentuk dari pelayanan kesehatan ibu dan pemberian nutrisi sedini mungkin dapat mengurangi resiko terjadinya stunting pada balita. Selain itu beberapa hasil penelitian menunjukkan balita yang mendapatkan ASI Eksklusif berisiko 9,3 kali lebih rendah untuk mengalami stunting dibandingkan dengan balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif. Kondisi stunting terjadi pada anak yang tidak diberikan ASI eksklusif dan mendapatkan makanan pendamping serta susu formula terlalu dini, mereka lebih mudah terkena penyakit infesi seperti diare dan penyakit pernapasan.
Alasan mengapa tidak memberikan ASI eksklusif kepada anak sangat beragam. Pertama ASI yang keluar saat menyusui tidak banyak sehingga kurang mencukupi kebutuhan bayi dan balita. Kedua sesaat setelah melahirkan hingga 3 atau 5 hari setelahnya Asi tidak keluar sehingga harus memberikan makanan tambahan lebih dini seperti dengan memberi madu, susu formula, atau pisang. Ketiga bayi rewel menurut penilaian ibu, anak tidak cukup kenyang hanya dengan ASI sehingga perlu tambahan makanan. Keempat ibu memiliki aktifitas yang padat seperti bekerja atau studi sehingga pengasuhan diberikan kepada nenek. Kelima yaitu adanya factor budaya yang menyatakan bahwa pemberian makanan tambahan sudah dilakukan secara turun temurunsejak nenek moyang dan tidak pernah ada masalah.
ASI eksklusif merupakan faktor protektor penting yang dapat menurunkan risiko terjadinya stunting. Nutrisi dalam ASI sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup bayi dan balita di masa mendatang. Faktor yang memengaruhi pemberian ASI eksklusif pada bayi dan balita tidak lepas dari pengetahuan ibu dan keluarga yang benar terkait ASI eksklusif., praktik IMD, pemberian MP-ASI, dan faktor non nutrisi untuk bisa memberikan ASI eksklusif kepada bayi dan balita. Oleh karena itu, dibutuhkan peran penting kader, promotor kesehatan, dan pelayanan kesehatan untuk mendukung program pemerintah tentang pemberian ASI eksklusif, melakukan edukasi dan pemberian informasi yang benar dan akurat terkait stunting dan cara pencegahannya, serta mempersiapkan pengetahuan dan gizi perempuan mulai dari sebelum kehamilan. Pentingnya melakukan edukasi kepada calon ibu sebelum mempersiapkan kehamilan, memantau ibu setelah melahirkan untuk segera mempraktikkan pemberian ASI eksklusif, keluarga baik suami atau orangtua dan dukungan baik dari sektor kesehatan maupun non kesehatan dapat dilakukan untuk mencegah anak mengalami stunting.
Penulis: Riris Diana Rachmayanti, S.KM., M.Kes.
Link Jurnal: https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jpki/article/view/44016