Universitas Airlangga Official Website

Pemenuhan Prinsip Keadilan Bagi Kreditor Pemegang Hak Kebendaan dengan Pemegang Hak Istimewa dalam Perikatan Kredit Macet

IL by Solopos com

Penyaluran kredit yang dilakukan oleh bank sangat berisiko meskipun di sisi lain bank mendapatkan keuntungan dalam bentuk bunga kredit, biaya administrasi dan provisi. Disebutkan bahwa risiko kredit harus dideteksi lebih awal dan dilakukan pencegahan agar terhindar dari kerugian secara finansial. Hal ini sejalan dengan pendapat Manish Kumar Padey bahwa credit risk can be defined as the risk of default on a debt that may be unlawful or illegal cheating meant for financial or personal gain or due to some or other circumstances. Risk prevention and credit Risk detection should be incorporated to avoid financial losses (Manish Kumar Pandey, 2021). Oleh karena adanya risiko kredit maka bank harus meminimalkan dengan menjalankan analisis kredit sebagai bentuk dari penerapan prinsip kehati-hatian di lembaga perbankan.

Aspek Collateral dalam pengajuan kredit perbankan sangatlah penting. Giuseppe Corbisiero menyebutkan bahwa a firm can borrow from banks to finance the project, pledging a real asset as collateral. The central bank injects liquidity into commercial banks’ balance sheet, so affecting the equilibrium interest rate and, in turn, investment (Giuseppe Corbisiero, 2022). Collateral begitu penting dalam pemberian kredit perbankan karena mengamankan kredit yang telah disalurkan oleh bank bilamana debitor cidera janji. Melalui keberadaan collateral, dapat mendudukkan bank dalam posisi kreditur preferen yaitu kreditur yang didahulukan pelunasannya dibandingkan dengan kreditor lainnya membutuhkan adanya agunan berupa benda milik dari debitor atau milik pihak ketiga yang disepakati untuk dituangkan dalam perjanjian jaminan kebendaan sebagai kesepakatan untuk mengesampingkan keberadaan jaminan umum yang diatur dalam Pasal 1131 Burgerlijk Wetboek. Keberadaan jaminan kebendaan telah berhasil mendudukkan bank sebagai kreditur pemegang hak kebendaan yang memberikan jaminan yang mempunyai ciri-ciri unggulan yaitu adanya asas mutlak, asas droit de suite, asas droit de preference, asas prioritas dan adanya parate eksekusi. Akan tetapi, kedudukan bank sebagai pemegang hak kebendaan ternyata tidak selalu diunggulkan. Hal ini sebenarnya telah ditegaskan dalam Pasal 1134 Burgerlijk Wetboek bahwa: Hak istimewa ialah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.

Dalam perkembangannya, terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi No. No. 67/PUU-XI/2013 yang mendudukan hak pekerja/buruh atas upahnya didahulukan atas semua jenis kreditur yaitu kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang sehingga jelas bahwa kedudukan kreditur pemegang jaminan kebendaan dalam kepailitan sebagai kreditur separatis menjadi terkalahkan jika adanya tagihan upah pekerja/buruh. Bahkan tidak mustahil jika tagihan dari kreditur hak istimewa yang dikecualikan tersebut begitu besar maka hak tagih dari kreditur pemegang jaminan kebendaan tidak akan terbayarkan secara penuh bahkan dapat tidak terbayar sama sekali, hal ini tentunya membuat ciri-ciri unggulan dari hak kebendaan yaitu asas mutlak, asas droit de preference, asas droit de suite menjadi lemah.

Keadilan dalam Melemahnya Hak Kebendaan yang Memberikan Jaminan

Pasal 1134 ayat (2) Burgerlijk Wetboek mengandung dua makna, yaitu di satu sisi penguasa telah menghormati ciptaan rakyat lewat perjanjian sehingga ciptaan rakyat yang dimenangkan akan tetapi disisi lain ternyata ciptaan rakyat harus mengalah dengan ciptaan dari penguasa sebagaimana dari narasi “kecuali undang-undang menentukan sebaliknya”. Melemahnya hak kebendaan yang dimiliki oleh pemegang jaminan kebendaan karena undang-undang yang mengaturnya. Antara lain dalam peristiwa-peristiwa sebagai berikut, yaitu: (a) Dalam penyelamatan benda jaminan yang ditegaskan pada Pasal 1150 Burgerlijk Wetboek pada gadai dan Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Pelayaran pada hipotek kapal; (b) Pasal 1137 Burgerlijk Wetboek yaitu tagihan pajak. Berkaitan dengan tagihan pajak secara filosofis penempatan pajak pada posisi mendahului kreditur separatis dalam hal kepailitan karena pajak pada hakikatnya adalah menyangkut kepentingan umum dan kemaslahatan banyak orang sehingga didahulukan dalam rangka kepentingan bangsa dan negara; (c) Biaya perkara yang semata-mata timbul dari penjualan barang bergerak atau barang tak bergerak sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan. Biaya ini dibayar dengan hasil penjualan barang tersebut, lebih dahulu daripada segala utang lain yang mempunyai hak didahulukan, bahkan lebih dahulu daripada gadai hipotek sebagaimana pada Pasal 1139 angka 1 Burgerlijk Wetboek dan biaya perkara yang semata-mata timbul dari penjualan barang sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan penyelamatan harta benda; ini didahulukan daripada gadai dan hipotek sebagaimana pada Pasal 1149 angka 1 Burgerlijk Wetboek.

Tidak kalah menariknya adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 67/PUU-XI/2013 yang memutuskan bilamana perusahaan pailit maka pembayaran upah pekerja/buruh yang terutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang dan badan hukum yang dibentuk pemerintah. Bahkan didahulukan dibandingkan dengan tagihan pajak. Menurut Peter Mahmud bahwa makna keadilan yang sebenarnya dalam arti suum cuique tribuere yaitu memberikan kepada orang apa yang menjadi bagiannya. Doktrin ini pertama kali disampaikan oleh Ulpinus yang berbunyi Iustitia est perpetua et constans voluntas ius suum cuique tribuendi yang berarti keadilan adalah suatu keinginan yang terus menerus dan tetap memberikan kepada orang apa yang menjadi bagiannya sehingga jika ditelaah bahwa keadilan tidak harus bermakna dengan persamaan seperti keadilan distributif dan keadilan komutatif sebagaimana dikemukakan oleh Thomas Aquinas (Peter Mahmud Marzuki, 2015).

Mengacu pada pemaparan di atas yang mendudukkan kreditur pemegang hak kebendaan tidak selalu diunggulkan dalam pelunasan tagihannya dikarenakan undang-undang mengatur sebaliknya berpotensi hak tagihnya tidak terpenuhi secara utuh bahkan dimungkinkan tidak terbayar sama sekali diakibatkan objek jaminan kebendaan tersebut digunakan untuk membayar terlebih dahulu tagihan-tagihan dari kreditur pemegang hak istimewa yang dikecualikan oleh undang-undang. Tentunya hal ini sangat merugikan bagi kreditur pemegang jaminan kebendaan meskipun dengan dalih keadilan sebagaimana telah dipaparkan di atas. Akan tetapi, mengacu pada keadilan distributif yang merujuk adanya persamaan di antara manusia didasarkan atas prinsip proporsionalitas bahwa tolok ukur berupa kebutuhan menjadi relevan bagi kedudukan pekerja/buruh bahwa upah tersebut sangat dibutuhkan oleh pekerja/buruh untuk menyambung kehidupannya sedangkan bagi kreditur separatis semisal bank maka masih banyak asset yang dimilikinya sehingga memungkinkan untuk tetap menjalankan kegiatan usahanya meskipun haknya tidak terpenuhi secara utuh bahkan tidak terpenuhi sama sekali dari satu debiturnya.

Penulis: Dr. Trisadini Prasastinah Usanti, S.H., M.H.

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://e-journal.unair.ac.id/MI/article/view/41755

Usanti, T. P. ., Aryatie, I. R., & Moechthar, O. (2023). The Principle of Justice in the Weakness of Objective Rights Holders Against Privileges Rights Holders. Media Iuris6(2), 271–292. https://doi.org/10.20473/mi.v6i2.41755