Universitas Airlangga Official Website

Pengaruh Diet Ketogenik Terhadap Kadar Glukosa Darah pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2

Pengaruh Diet Ketogenik Terhadap Kadar Glukosa Darah pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2
Sumber: Cosmopolitan Indonesia

Diabetes melitus (DM) saat ini menjadi masalah kesehatan global yang signifikan dan merupakan penyebab utama penyakit dan kematian. Prevalensi diabetes pada orang dewasa diperkirakan melebihi tiga ratus juta dan diproyeksikan meningkat sebesar 55% pada tahun 2035. Peningkatan kadar glukosa darah merupakan indikator utama penyakit diabetes melitus, yaitu kelainan metabolisme akibat gangguan fungsi atau produksi insulin. atau kombinasi keduanya. Hiperglikemia merupakan salah satu gejala khas diabetes melitus. Kadar gula darah tinggi kronis yang umum terlihat pada penderita DM berhubungan dengan kerusakan berkepanjangan, gangguan fungsi, dan kegagalan organ, terutama saraf, pembuluh darah, ginjal, mata, dan jantung.

Diabetes melitus dibagi menjadi dua jenis utama: diabetes melitus tipe 1 (DMT1) dan diabetes melitus tipe 2 (DMT2). DMT1 ditandai dengan defisiensi insulin total akibat kerusakan sel B pankreas, yang biasanya dipicu oleh penyakit autoimun. Sedangkan diabetes tipe 2 disebabkan oleh resistensi insulin yang disertai dengan defisiensi insulin relatif atau gangguan sekresi, dengan resistensi insulin sebagai faktor utamanya. Salah satu risiko utama DMT2 adalah obesitas atau kelebihan berat badan, yang meningkatkan risiko dua kali lipat. Obesitas bertanggung jawab atas 80-85% total risiko terjadinya diabetes melitus tipe 2. Risiko DMT2 meningkat secara linier dengan meningkatnya indeks massa tubuh (BMI) di atas 24 kg/m². 

Parameter yang paling mudah untuk diagnosis dan pemantauan kontrol glikemik T2DM adalah pengukuran glukosa darah. Penggunaan Oral Glucosa Tolerance Test  (OGTT) sebagai indeks hiperglikemia dinilai relatif murah dan sensitif untuk mendeteksi gangguan homeostasis glukosa. Namun, masih terdapat beberapa kelemahan OGTT, seperti variabilitas biologis yang luas, dan kerentanannya terhadap faktor lain seperti makanan, stres, olahraga, dan obat-obatan tertentu. Hemoglobin terglikasi (HbA1c) digunakan sebagai penanda untuk mengukur rata-rata konsentrasi glukosa darah dan memiliki peran penting dalam pengelolaan diabetes melitus.

Indikator HbA1c dinilai lebih unggul dibandingkan indikator glukosa darah karena memiliki kestabilan pra-analisis dan analitis serta pengujian yang terstandarisasi dengan baik, sehingga memberikan hasil pemeriksaan dengan akurasi yang tinggi. Pada bulan Januari 2010, penggunaan HbA1c sebagai tes diagnostik DMT2 secara resmi disetujui oleh asosiasi kesehatan. Sebagai bagian dari protokol kolaboratif dalam pengelolaan diabetes dan penyakit kardiovaskular, European Society of Cardiology (ESC) dan Association for the Study of Diabetes (ASD) memasukkan HbA1c dalam algoritma diagnostik untuk diabetes tipe 2 (DMT2). Pada tahun 2010, American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan kadar HbA1c antara 5,7% hingga 6,4% sebagai indikasi pradiabetes, dan lebih dari 6,5% untuk diagnosis diabetes. 

Pola makan berperan penting sebagai faktor risiko penyakit diabetes melitus tipe 2 (DMT2). Berbagai penelitian besar telah menyoroti kebiasaan makan tertentu yang dapat meningkatkan risiko DMT2, termasuk asupan daging olahan, gorengan, nasi putih berlebihan, dan minuman manis. Diet ketogenik yang dikenal dengan asupan rendah karbohidrat (di bawah 50 gram per hari), tinggi lemak, protein sedang, dan rendah kalori, telah dikenal sebagai pendekatan diet untuk menangani epilepsi. Diet tersebut memanfaatkan badan keton sebagai sumber energi utama, meniru proses metabolisme tubuh dalam kondisi kelaparan akibat asupan karbohidrat yang rendah. Ada empat variasi diet ketogenik, yaitu diet ketogenik standar, siklik, target, dan tinggi protein.

Penurunan substansial dalam penilaian resistensi insulin (HOMA-IR) memperkuat gagasan bahwa diet ketogenik dapat membantu menurunkan stres oksidatif dan meningkatkan sensitivitas insulin pada individu dengan diabetes tipe 2 (DMT2). Selain itu, diyakini bahwa peningkatan ketosis darah tepi yang disebabkan oleh intervensi diet ketogenik akan meningkatkan sensitivitas insulin perifer melalui mekanisme berikut: menurunkan stres yang terkait dengan hiperinsulinemia, mengurangi kebutuhan insulin eksternal, dan memblokir sekresi insulin, yang akan mengurangi kadar glukosa darah dan resistensi insulin. Badan keton yang diproduksi sebagai hasil metabolisme glukosa hati mungkin berdampak langsung pada penurunan kadar glukosa darah dan HbA1c. Selain itu, keton dapat meningkatkan jumlah glukosa dalam sel dan memiliki efek metabolik yang meniru efek insulin tanpa memicu sinyal insulin. Ini berarti ketosis sedang dapat digunakan sebagai terapi untuk mengobati resistensi insulin.

Penderita DMT2 sering kali mengalami penurunan produksi air liur (saliva), meskipun faktanya pH dan laju aliran saliva merupakan faktor kunci dalam perlindungan terhadap karies gigi pada diabetes. Saliva memainkan peran penting dalam kesehatan mulut melalui sifat fisikokimia umum dan efek yang lebih tepat sasaran. Protein seperti prolin, statherin, dan histatin mempengaruhi dinamika kalsium fosfat, tahap awal perkembangan plak, dan infeksi kandida. Selain itu, saliva yang mengandung fluoride, kalsium, dan fosfat membantu dalam proses mineralisasi plak, yang pada gilirannya berkontribusi dalam mencegah karies. 

Terdapat hubungan penting antara risiko karies gigi dan kadar glukosa darah puasa, HbA1c, dan glukosa yang ada dalam saliva. Almusawi dkk. (2018) menemukan bahwa konsentrasi glukosa dalam saliva pasien DMT2 meningkat secara signifikan, yang berkontribusi terhadap risiko karies gigi yang lebih tinggi. Hal ini  menunjukkan hiperglikemia akibat DMT2 menyebabkan peningkatan kadar glukosa dalam saliva. Lingkungan seperti itu dapat membuat mulut menjadi lebih asam dan mengubah mikrobioma mulut. Mekanisme ini menggarisbawahi hubungan antara hiperglikemia dan peningkatan risiko gingivitis dan karies gigi. Namun pasien DMT2 dengan kontrol glikemik rendah (HbA1c> 8%) memiliki risiko karies gigi yang sangat tinggi, sementara pada penderita DMT2 yang memiliki HbA1c ≥ 8,0% lebih rentan terhadap karies gigi dibandingkan yang memiliki HbA1c 7,0% –7,9%.

Penulis : Anis Irmawati

Departemen Biologi Oral, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia.

Artikel ini dapat diakses secara lengkap pada :

World Journal of Advanced Research and Reviews (WJARR), vol.25, no.1, Januari 2025.

eISSN : 2581-9615 CODEN (USA) : WJARAI

Artikel DOI : https://doi.org/10.30574/wjarr.2025.25.1.4025