Perkembangan sektor akuakultur diperkirakan akan menyebabkan peningkatan permintaan ikan sebagai sumber protein untuk konsumsi manusia. Sebesar 21,2 ton pada tahun 2016 dan terus meningkat setiap dekade. Peningkatan budidaya akuakultur menghasilkan limbah akuakultur dalam jumlah besar sebagai produk sampingan. Jika tidak ditangani dengan baik, hal ini dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, seperti penurunan kualitas air permukaan. Hal ini disebabkan karena limbah akuakultur mengandung senyawa organik dan nutrien dalam jumlah tinggi yang berasal dari sisa pakan dan kotoran ikan. Masukan senyawa organik dan nutrien yang berlebihan dapat menyebabkan eutrofikasi dan kondisi anoksik pada badan air. Sehingga menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan mungkin memiliki efek jangka panjang pada fungsi ekosistem.
Fitoremediasi merupakan teknologi ramah lingkungan yang dapat diterapkan untuk mengolah limbah akuakultur. Beberapa peneliti sebelumnya melaporkan bahwa fitoremediasi telah terbukti mampu mengolah air limbah domestik yang mengandung kadar organik tinggi yang sering digunakan untuk mengolah air limbah. Constructed wetlands (CWs) dibangun dan dirancang dengan memanfaatkan proses alami antara tanaman, media, dan mikroba terkait dalam mengolah air limbah. Pengolahan air limbah menggunakan CWs terjadi secara fisik, kimiawi, dan biologis di zona perakaran tanaman.
Jenis tanaman merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja CWs. Tanaman yang dapat digunakan dalam CWs adalah tanaman yang memiliki karakteristik hiperakumulator dan hipertoleran terhadap apa yang akan diolah. Beberapa tanaman yang dapat digunakan adalah Typha angustifolia, Pandanus amaryllifolius, Azolla microphilla, dan Cyperus rotundus. C. rotundus merupakan salah satu tanaman yang dilaporkan dapat mengolah kandungan organik dengan konsentrasi tinggi dalam air limbah. Berdasarkan penelitian sebelumnya, C. rotundus mampu menurunkan kadar fosfat dan chemical oxygen demand (COD) pada air limbah laundry sebesar 82% dan 95% dalam waktu kontak empat hari. Penggunaan C. rotundus di bawah aliran bawah permukaan CWs dapat mengurangi konsentrasi biological oxygen demand (BOD), COD, dan total padatan tersuspensi (TSS) pada air limbah pengolahan tempe masing-masing sebesar 81%, 69%, dan 47%. Penelitian sebelumnya juga melaporkan bahwa C. rotundus juga dapat menurunkan BOD dan COD pada lindi, dengan efisiensi masing-masing berkisar antara 44,95-82,65% dan 53,90-73,38%.
Meskipun telah dilaporkan bahwa C. rotundus digunakan untuk mengolah berbagai jenis air limbah, ada sedikit literatur yang melaporkan penggunaan C. rotundus untuk mengolah limbah akuakultur di bawah pengaruh jumlah tanaman dan variasi ketinggian media. Oleh karena itu, untuk mengisi kesenjangan ini, tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kemampuan C. rotundus untuk mengolah limbah akuakultur. Penelitian ini juga difokuskan pada pengaruh jumlah tanaman dan variasi ketinggian media terhadap kinerja penyisihan polutan pada limbah akuakultur. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi referensi untuk implementasi CWs untuk pengolahan limbah akuakultur dan juga kinerja C. rotundus sebagai tanaman potensial untuk fitoremediasi.
Penelitian utama dilakukan dengan menggunakan reaktor batch dengan sistem subsurface flow-constructed wetland dengan variasi ketinggian media dan jumlah tanaman C. rotundus untuk mengolah limbah akuakultur. Variasi ketinggian media yang digunakan adalah 10, 12, dan 14 cm, sedangkan variasi jumlah tanaman yang digunakan adalah 0, 10, 15, dan 20 tanaman. Pada penelitian ini, digunakan dua jenis reaktor (kontrol dan reaktor yang diberi perlakuan). Dua reaktor kontrol yang digunakan berisi (i) media + limbah akuakultur dan (ii) media + tanaman. Sementara itu, reaktor perlakuan berisi media, limbah, dan tanaman.
Jumlah efluen yang digunakan adalah 6 L untuk masing-masing reaktor. Penelitian ini dilakukan selama 30 hari, dengan waktu pengambilan sampel pada awal dan akhir penelitian. Parameter yang diukur terdiri dari BOD, COD, TSS, fosfat, amoniak, nitrat, nitrit, dan kekeruhan. Penelitian ini dilakukan secara triplo. Jumlah reaktor yang digunakan sebanyak 33 buah, yang terdiri dari 27 reaktor perlakuan, 3 reaktor kontrol (i), dan 3 reaktor kontrol (ii).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa air limbah akuakultur mengandung senyawa organik dan nutrien yang tinggi. C. rotundus dapat tumbuh dan berkembang di konsentrasi 100% air limbah akuakultur. Selain itu, penggunaan C. rotundus dalam CWs dengan pengaruh jumlah tanaman dan tinggi media menunjukkan kinerja COD, BOD, TSS, kekeruhan, amonia, nitrat, nitrit, dan fosfat dengan efisiensi penyisihan masing-masing sebesar 70, 79, 90, 96, 64, 82, 92, dan 48%. Tidak ada dampak negatif yang diamati pada pertumbuhan C. rotundus setelah terpapar air limbah akuakultur. Seperti yang ditunjukkan oleh peningkatan berat basah, berat kering, dan laju pertumbuhan jika dibandingkan dengan kontrol. Dengan demikian, mengolah air limbah akuakultur dengan CWs yang ditanami C. rotundus mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman sekaligus melakukan fitoremediasi.
Penulis: Muhammad Fauzul Imron, S.T., M.T.
Artikel dapat diakses pada: https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0045653524004880
Baca juga: Teknologi Nano-MGO dalam Penyisihan Zat Warna Kristal Violet pada Air Limbah Industri Tekstil