Universitas Airlangga Official Website

Penggunaan Ozon sebagai Terapi Ajuvan untuk COVID-19

Foto by DW

Sejak kemunculannya, COVID-19 telah menjadi pandemi dan menjadi tantangan bagi lebih dari 200 negara di berbagai belahan dunia. Hingga bulan Mei 2022, sebanyak lebih dari 500 juta kasus COVID-19 telah terkonfirmasi yang menyebabkan lebih dari 6 juta kematian di seluruh dunia. Sejauh ini, telah dikembangkan berbagai modalitas terapi untuk COVID-19, yang meliputi obat antivirus, imunomodulator, plasma konvalesen, dan obat-obatan herbal. Selain berbagai terapi tersebut, jenis terapi ajuvan atau tambahan lain juga mulai dikembangkan untuk meningkatkan efektivitas dari terapi yang sudah ada.

Salah satu terapi ajuvan yang saat ini mulai dikembangkan adalah terapi ozon. Ozon (O3) adalah gas yang terdiri dari tiga atom oksigen, terdiri dari pasangan oksigen stabil (O2) dan atom ketiga yang tidak stabil sebagai karakteristik khusus molekul ini. Ozon biasanya diberikan dengan cara autohemoterapi, infus yang mengandung ozon, nebulisasi ozon, atau insuflasi melalui rektum. Autohemoterapi ozon diberikan dengan cara menginjeksikan gas ozon ke dalam darah pasien yang telah diambil sebelumnya, kemudian mentransfusikan darah yang mengandung ozon tersebut ke pasien yang sama. Insuflasi melalui rectum diberikan dengan cara memasukkan ozon melalui anus pasien. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ozon dapat meningkatkan sirkulasi darah dan pengiriman oksigen ke jaringan. Hal ini dapat membantu mengatasi kondisi hiperkoagulasi (pembekuan darah yang berlebihan) yang sering terjadi pada pasien COVID-19. Selain itu, pasien COVID-19 juga cenderung mengalami kondisi peradangan yang berlebihan, sehingga pengendalian sistem imun termasuk sitokin merupakan kunci untuk mencegah perburukan COVID-19 akibat badai sitokin. Ternyata, ozon terbukti mampu mengendalikan pelepasan sitokin peradangan pada pasien COVID-19. Tidak hanya itu, ozon juga memiliki kemampuan antivirus, sehingga banyak memiliki keuntungan apabila diberikan pada pasien COVID-19. Akan tetapi, karena ozon merupakan terapi yang masih baru, terdapat beberapa kontroversi terkait penggunaannya pada pasien COVID-19 dan beberapa hasil penelitian yang bertolak belakang.

Untuk membuktikan peranan terapi ozon pada pasien COVID-19, David dkk melakukan penelitian sekunder dengan metode telaah sistematis dan meta analisis terkait efektivitas dan efek samping penggunaan ozon sebagai terapi ajuvan pada pasien COVID-19. Penelitian ini menalaah tiga belas literatur yang membandingkan penggunaan terapi ozon dan terapi standar dibandingkan terapi standar saja untuk pasien COVID-19. Hal ini dikarenakan sejauh ini belum ada studi yang menggunakan terapi ozon sebagai terapi tunggal pada COVID-19. Terapi standar yang diberikan antara lain meliputi kortikosteroid, obat antivirus (lopinavir, ritonavir, atau remdesivir), antibiotik (azithromycin), dan suplemen vitamin (vitamin E, vitamin C, vitamin D, dan zink).  Secara umum, hasil yang didapat pada penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberian ozon sebagai terapi ajuvan bersifat menguntungkan, karena dapat menurunkan angka kematian, memperpendek masa rawatan di rumah sakit, serta memperbaiki gejala klinis pasien COVID-19.

Untuk pasien COVID-19 derajat ringan-sedang, terapi ajuvan ozon dapat mempercepat hasil PCR pasien menjadi negatif dan meringankan gejala pasien seperti batuk dan sesak, akan tetapi, tidak ada perbedaan untuk hasil rontgen dada pasien antara kelompok yang diberikan ozon dan tidak. Hal ini berbeda dengan pasien COVID-19 derajat berat, dimana pemberian ozon menunjukkan perbaikan pada rontgen dada pasien dan menurunkan penanda keradangan. Perbedaan hasil rontgen dada pasien antara COVID-19 derajat ringan-sedangan dan berat dapat disebabkan oleh kemampuan modulasi imun ozon yang mampu menekan peradangan dan meningkatkan produksi anti oksidan tubuh, sehingga mampu menekan badai sitokin dan peradangan paru. Efek lain ozon antara lain juga menghambat ikatan antara virus SARS-CoV2 sebagai virus penyebab COVID-19 dengan reseptornya serta merusak partikel selubung virus.

Secara umum, pemberian terapi ozon pada pasien COVID-19 tidak memberikan efek samping yang serius. Beberapa penelitian menyebutkan efek samping ringan yang dapat terjadi akibat pemberian ozon melalui rektum, antara lain kembung dan rasa tidak nyaman pada perut, yang dapat sembuh dengan sendirinya. Terdapat pula penelitian yang menyebutkan bahwa pemberian ozon melalui rektum dapat mengubah bakteri normal di usus, namun hal ini dapat dicegah dengan pemberian probiotik. Yang menarik, sejauh ini belum ada penelitian yang melaporkan efek samping pemberian ozon secara autohemoterapi. Untuk pemberian ozon melalui cairan infus, terdapat laporan efek samping berupa nyeri di tempat infus, peningkatan enzim hati yang bersifat sementara, nyeri kepala, dan hiponatremia ringan.

Dapat disimpulkan secara keseluruhan bahwa pemberian ozon sebagai terapi ajuvan COVID-19 memiliki efek yang menguntungkan dan efek samping yang minimal. Walaupun demikian, pemberian terapi ozon harus dilakukan secara hati-hati, terutama memperhatikan dosis, pemilihan rute terapi, dan monitoring pasien secara berkala. Pemberian terapi ozon pada ibu hamil juga belum disarankan karena sejauh ini belum ada studi yang meneliti pemberian ozon pada pasien hamil.

Penulis: Citrawati Dyah Kencono Wungu

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

Artikel Ilmiah Populer ini diambil dari artikel dengan judul “Ozone as an adjuvant therapy for COVID-19: A systematic review and meta-analysis” yang dimuat pada jurnal International Immunopharmacology, Vol. 110, Juli 2022.

Link artikel asli dapat dilihat pada: https://doi.org/10.1016/j.intimp.2022.109014