Universitas Airlangga Official Website

Pengolahan Air Limbah Budidaya Perikanan Menggunakan Bioflokulan Berbasis Bakteri

Foto by Mediatani

Akuakultur merupakan salah satu industri yang berkontribusi besar terhadap pencemaran air permukaan. Limbah cair budidaya perikanan sebagian besar mengandung organik tinggi, kekeruhan tinggi, padatan tersuspensi tinggi, dan memiliki warna tertentu. Terlepas dari karakteristik yang disebutkan sebelumnya, limbah akuakultur juga mengandung nutrien yang tinggi yaitu nitrogen dan fosfor. Bberapa peneliti menyebutkan bahwa karakteristik utama air limbah akuakultur air tawar adalah kekeruhan, padatan tersuspensi, amonia, nitrat, fosfat, dan COD dengan nilai 307 NTU, 427 mg/L, 24,5 mg/L, 11,9 mg/L, 0,07 mg/ L, dan 120,3 mg/L, masing-masing. Nitrogen dan fosfor dalam limbah budidaya berasal dari pemanfaatan pupuk untuk mempertahankan pertumbuhan alga terutama pada sistem budidaya multikultur dan bioflok. Komponen-komponen tersebut dapat berkontribusi pada fenomena eutrofikasi jika dibuang ke badan air tanpa penanganan yang tepat.

Praktik terbaik saat ini dari pengolahan air limbah akuakultur adalah koagulasi, flokulasi, dan sedimentasi. Metode ini terbukti efektif dalam mengolah sebagian besar parameter dalam limbah akuakultur. Penelitian terdahulu menunjukkan polialuminium klorida dalam menyisihkan kekeruhan, padatan tersuspensi, dan fosfat dari limbah akuakultur memiliki efisiensi hingga 98%. Koagulan yang banyak digunakan saat ini adalah tawas. Tawas menunjukkan kinerja yang luar biasa dalam menghilangkan parameter kekeruhan dan padatan tersuspensi dari limbah akuakultur hingga 98%. Sementara menunjukkan efisiensi yang besar, ada kekhawatiran yang muncul dari pemanfaatan koagulan berbasis logam dalam mengolah air limbah. Beberapa kekhawatiran yang muncul termasuk perubahan stabilitas pH perairan dan produksi lumpur non-biodegradable dengan jumlah yang lebih banyak dari padatan tersuspensi asli air limbah yang ada.

Untuk mengatasi masalah yang muncul ini, pemanfaatan biokoagulan/bioflokulan memberikan solusi yang menjanjikan. Biokoagulan/bioflokulan meliputi bahan tanaman, bakteri, mikroalga dan senyawa berbasis hewani. Penelitian terdahulu menunjukkan kinerja turunan Moringa oleifera yang dapat menyisihkan padatan tersuspensi dari air limbah akuakultur hingga 92%. Selain itu, penggunaan kitosan untuk menyisihkan makroalga dari air limbah akuakultur dengan nilai efisiensi 80%. Pengembangan bioflokulan saat ini sebagian besar difokuskan pada senyawa nabati dan hewani, sedangkan studi tentang bioflokulan berbasis bakteri masih sedikit. Selain itu, aplikasi bioflokulan untuk mengolah air limbah akuakultur juga terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap potensi bioflokulan yang dihasilkan oleh spesies bakteri Serratia marcescens dalam mengolah air limbah akuakultur..

S. marcescens diisolasi dari air limbah akuakultur. Spesies ini merupakan bakteri gram negatif yang menghasilkan pigmen berwarna merah yang disebut prodigiosin pada suhu ruang. Spesies bakteri yang diisolasi ini sebelumnya telah screening dan menunjukkan potensi tertinggi dalam memproduksi bioflokulan untuk air limbah buatan. Pada penelitian ini, dosis biokoagulan optimum dianalisis menggunakan analisis One Variable at a Time (OVAT). Sebanyak 1%, 2%, 3%, 5%, dan 10% dosis bioflokulan (v/v) dibantu dengan CaCl2 dengan perbandingan volume 2:3 (berperan sebagai koagulan) digunakan untuk menganalisis kinerja dari bioflokulan. Efisisensi penyisihan dilakukan dengan cara mengurangkan nilai awal dengan nilai akhir dari parameter yang diuji (kekeruhan, SS, dan warna). Proses koagulasi, flokulasi, dan sedimentasi dilakukan menggunakan jar test set-up dengan parameter operasional pengadukan cepat 150 rpm selama 2 menit, pengadukan lambat 20 rpm selama 10 menit, dan sedimentasi selama 30 menit.

Hasil menunjukkan pada parameter kekeruhan, reaktor kontrol sendiri menunjukkan penyisihan kekeruhan sebesar 80,98%, sedangkan penambahan bioflokulan menunjukkan penyisihan tertinggi sebesar 83,95% (pada dosis 10%). Penambahan dosis bioflokulan yang berbeda tidak meningkatkan efisiensi penyisihan kekeruhan secara nyata. Perbedaan yang signifikan dari efisiensi penyisihan diperoleh antara kontrol dan 10% dosis. Dengan demikian, 10% dosis dipilih untuk diuji lebih lanjut.

Tren serupa diperoleh untuk Suspended Solid (SS). SS dianggap sebagai pemeran utama pada kekeruhan dalam air limbah. Reaktor kontrol menunjukkan penyisihan SS sebesar 76,99%, sedangkan penambahan bioflokulan meningkatkan penyisihan SS hingga 78,82% (pada dosis 10%). Padatan tersuspensi adalah partikel yang memiliki berat molekul tinggi; dengan demikian, penyelesaian partikel ini dapat terjadi secara gravitasi. Tidak ada perbedaan yang signifikan dari penyisihan SS yang diperoleh pada dosis yang berbeda, tetapi ada hasil perbedaan yang signifikan antara kontrol dan dosis 10%, mirip dengan tren yang diperoleh pada kekeruhan.

Tren berbeda didapat dari segi penyisihan warna. Reaktor kontrol menunjukkan penghilangan warna hingga 61,52% sedangkan pada dosis 10% menurunkan penyisihan warna menjadi 59,80%. Penyisihan warna tertinggi diperoleh pada bioflokulan dosis 1% (62,42%). Hasil ini menunjukkan bahwa peningkatan dosis bioflokulan berkontribusi negatif terhadap penghilangan warna.

Berdasarkan hasil diatas dapat disimpulkan bahwa S. marcescens telah menunjukkan potensinya sebagai bakteri penghasil bioflokulan. Senyawa yang dihasilkan sebagai EPS dari S. marcescens dikonfirmasi sebagai bioflokulan yang memiliki efisiensi yang baik daripada biokoagulan. Aplikasi bioflokulan yang dihasilkan S. marcescens pada air limbah akuakultur menunjukkan dosis optimum 10% v/v yang ditunjukkan dengan penyisihan kekeruhan dan padatan tersuspensi (SS) yang signifikan (masing-masing 83,95% dan 78,82%) dibandingkan kontrol (80,98% penyisihan kekeruhan). dan 76,99% dari SS).

Penulis: Muhammad Fauzul Imron

Artikel dapat diakses pada:

https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2214714422001519