Universitas Airlangga Official Website

Peningkatan Efek Pemberian Probiotik Lactobacillus Casei Shirota Secara Topikal dan Sistemik Terhadap Ekspresi Interleukin-10

Peningkatan Efek Pemberian Probiotik Lactobacillus Casei Shirota Secara Topikal dan Sistemik Terhadap Ekspresi Interleukin-10
Sumber: Alodokter

Ulkus traumaticus adalah kerusakan membrane mukosa disertai hilangnya jaringan permukaan, disintegrasi dan nekrosis jaringan epitel, yang menyebabkan rasa sakit dan sensasi terbakar akibat peradangan.Prevalensi ulkus traumatikus, 3 hingga 24% di seluruh dunia. Lesi yang timbul berupa lesi ulseratif pada lapisan epitelium yang melebihi membrana basalis dan dapat mencapai lamina propia, serta berbentuk ovoid dengan batas kemerahan dan menonjol dengan pseudo membrane nekrotik putih kekuningan di tengah yang dapat dibersihkan. Penanganan ulkus traumatikus yaitu dengan pemberian antiseptik, antibiotik, antiinflamasi, antihistamin dan kortikosteroid baik secara topikal dan/atau sistemik.5 Penggunaan antibiotik dan steroid dalam jangka waktu Panjang dapat menyebabkan resistensi dan efek samping, serta penggunannya yang terbatas pada beberapa kondisi seperti diabetes, tidak mendorong adanya penyembuhan. Adanya kondisi-kondisi tersebut menyebabkan pengobatan alternatif diperlukan.2,6 Penggunaan probiotik secaratopikal dan sistemik dapat digunakan sebagai penyembuhan luka yang berperan dalam pencegahan infeksi dan regulasi inflamasi.

Food and Agriculture Organization of the United Nations(FAO) dan World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa probiotik merupakan mikroorganisme hidup yang apabila diberikan dalam jumlah yang memadai, dapat memberikan manfaat kesehatan.8 Mikroba paling umum yang digunakan sebagai probiotik yaitu termasuk spesies dari genus Lactobacillus, Bifidobacterium dan Saccharomyces. Probitotik secara topical terbukti dapat mencegah infeksi dan meregulasi inflamasi dengan memodulasi system kekebalan untuk menyeimbangkan microbiota kulit. Secara sistemik probiotik bekerja bersaing melawan patogen, memberikan sinyal sel imun untuk menghasilkan sitokin, dan menghancurkan pathogen.

Berdasarkan penelitian yang ada, probiotik akan meregulasi keseimbangan antara T helper 1 (Th1) yang akan menghasilkan sitokin proinflamasi, dan T helper 2 (Th2) yang akan menghasilkan sitokin anti-inflamasi.11 Lactobacillus casei Shirota merupakan salah satu strain Lactobacillus sp. yang umumnya digunakan sebagai probiotik dalam bentuk susu terfermentasi. Manfaat yang diberikan oleh probiotik yaitu dengan membantu membangun flora menguntungkan di usus dan menyingkirkan bakteri patogen, serta meningkatkan kekebalan tubuh atau disebut imunomodulator.

Interleukin-10 (IL-10) merupakan salah satu sitokin regulatori yang berperan dalam memodulasi system imun dan respons sel terhadap inflamasi, juga berperan sebagai sitokin anti-inflamasi yang akan menghambat kerja dari sitokin proinflamasi, kemokin, dan reseptor kemokin, sehingga menghasilkan penurunan dalam respons inflamasi. IL-10 penting dalam membangun Kembali integritas jaringan setelah adanya luka pada kulit dan juga mempercepat proses penutupan dari luka tersebut. IL-10 berperan sebagai factor penghambat sintesis sitokin, karena kemampuannya mengaktifkan fungsi makrofag atau monosit dan menurunkan produksi sitokin pro-inflamasi.13, Selain efek anti-inflamasi yang kuat, IL-10 telah terbukti mengatur sitokin fibrogenik, seperti Transforming Growth Factor-β (TGF-β) yang berperan dalam regulasi proliferasi dan remodeling jaringan. Peningkatan IL-10 memiliki peranan awal dalam respons jaringan terhadap luka, yang memungkinkan pengurangan pembentukan bekas luka dan penyembuhan regeneratif.

Pada penelitian ini pengamatan dilakukan pada ekspresi IL-10 setelah pemberian 4 hari dan 8 hari probiotik karena pada proses penyembuhan luka, hari ke-4 merupakan terbentuknya jaringan granulasi yang ditandai dengan meningkatnya proliferasi sel fibroblas serta kolagen yang prosesnya dipicu oleh IL-10. EkspresiIL-10 dapat meregulasi pensinyalan sitokin fibrogenik yang nantinya meregulasi proliferasi dan remodeling jaringan pada hari ke-8.

Penggunaan probiotik secara topikal dan sistemik dapat digunakan sebagai penyembuhan luka yang berperan dalam pencegahan infeksi dan regulasi inflamasi.7 Probiotik yang diberikan secara topical dapat berperan sebagai immumodulator dalam mengembalikan keseimbangan microbial saat terjadi disbiosis pada kulit akibat kerusakan jaringan.11 Efek ini dapat dimediasi oleh metabolit bakteri atau Microbial Associated Molecular Patterns (MAMP), yang dikenali oleh reseptor pengenalan pola pada sel host, seperti Toll-like Receptors (TLR). Respons imun yang dihasilkan mengarah pada imunitas yang seimbang, ditandai dengan pengurangan sinyal pro inflamasi yang mendukung jalur regulasi.16 Untuk probiotik yang diberikan secara sistemik probiotik akan melakukan imunomodulasi melalui interaksinya dengan Intestinal Epithelial Cells (IECs) dan sel dendritik pada lamina propia yang dapat menstimulasi sekresi IL-10.Sekresi IL-10 menimbulkan pensinyalan yang penting untuk mempertahankan homeostasis dengan terjadinya hambatan pada proses inflamasi berlebih dan percepatan pada proses penyembuhan luka.17,18

Berdasarkan alasan – alasan yang telah dipaparkan diatas dan, masih sedikitnya penelitian mengenai Lactobacillus casei Shirota dan adanya sifat dari probiotik yang strain spesifik, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan efek pemberian probiotik Lactobacillus casei Shirota secara topikal dan sistemik terhadap peningkatan ekspresi Interleukin-10 (IL-10) pada penyembuhan ulkus traumatikus tikus Wistar (Rattus norvegicus).

Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan dengan ethical clearance dari Committee of Dental Medicine, Universitas Airlangga, Indonesia (No. 396/HRECC.FODM/VII/2021).

Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratories menggunakan 24 tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan, umur 2-3 bulan, dengan berat 175-250 gram, sehat ditandai gerakan aktif, dapat berdiri, mata bersinar, bulu tidak kusam dan telah dilakukan aklimatisasi selama 1 minggu. Terdapat 4 kelompok dalam penelitian ini (kontrol 3 hari, kontrol 7 hari, topikal 3 hari, topikal 7 hari) yang masing-masing kelompok terdiri atas 6 sampel.

Probiotik yang digunakan dalam bentuk susu fermentasi merk Y kemasan 65 ml dengan tanggal produksi dan tanggal kadaluarsa yang sama dibeli secara langsung di pasaran, dan disimpan di kulkas dengan suhu dibawah 10°C selama penelitian berlangsung. Hewan coba tikus Wistar yang telah dilakukan adaptasi selama 7 hari di kandang dengan suhu ruangan sekitar 20-25°C. Operator melakukan anestesi pada hewan coba menggunakan ketamine secara intramuskular 5 menit sebelum prosedur pembuatan ulkus dilakukan. Kemudian ulkus traumatikus dibuat dengan menyentuhkan selama 1 detik pada regio labial fornix incisive inferior berbentuk bulat (diameter 2 mm). Dilakukan observasi pada 24 jam dan 48 jam pasca pembuatan ulkus. Pada 24 jam terlihat kerusakan mukosa bibir dengan dasar warna putih tipis berdiameter 3 mm. Pada 48 jam pasca trauma, terlihat ulkus yang dalam pada mukosa bibir dengan dasar warna kuning.

Pemberian probiotik secara topical dilakukan dengan menggunakan metode “intraoral dropping method”. Pengaplikasian dilakukan menggunakan tuberculin spuit dengan dosis aquades 20 µL/20gr berat badan dan dosis probiotik sebesar 10,9 x 107sel/kg berat badan/hari selama 3 hari dan 7 hari pada masing-masing kelompok.

Pengambilan jaringan pada region labial fornix incisive inferior (labial mukosa rahang bawah) dilakukan pada hari ke-4 dan hari ke-8 aplikasi aquades steril dan probiotik dan kemudian dilakukan pembuatan preparat. Dilakukan pewarnaan IHC dengan menggunakan antibodi primer berupa antibody monoklonal anti-rat IL-6. Analisis statistic dilakukan dalam aplikasi SPSS versi 20, dengan data yang disajikan dalam bentuk mean ± standard deviation (X±SD).

Pemberian probiotik didasarkan pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Utami, et al. (2017) dimana ulkus traumatikus kelompok kontrol diberi aquadest steril serta kelompok perlakuan secara topikal dan sistemik diberi probiotik Lactobacillus casei Shirota (LcS) dengan dosis 10,9x 107 sel/kg berat badan. Pada penelitian sebelumnya telah disebutkan bahwa pada dosis tersebut akan memberikan efek terapeutik dan tidak menimbulkan efek toksik pada hewan coba. Sedangkan untuk pemberian LcS digunakan dalam penelitian ini atas dasar manfaat yang diberikan pada tubuh, antara lain sebagai imunomodulator pada sistem imun, mengurangi peradangan dengan meningkatkan fungsi perlindungan, serta memiliki manfaat yang baik dalam sistem pencernaan.

Pada hasil penelitian yang telah dilakukan, terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan topikal 4 hari dan kontrol 4 hari, serta perlakuan sistemik 4 hari dan kontrol 4 hari. Dari hasil ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan jumlah IL-10 baik secara topical maupun sistemik, pada hari ke-4 maupun hari ke-8. Adanya peningkatan IL-10 pada hari ke-4, menunjukkan bahwa terdapa trespons anti inflamasi yang mendukung penurunan inflamasi saat proses penyembuhan luka. Hal tersebut terjadi karena, pada hari ke-4, yang merupakan fasei nflamasi, menunjukkan monosit yang berdiferensiasi menjadi makrofag dan invasi pada daerah luka melalui mediasi mono cytechemoattractant protein 1 (MCP-1). Makrofag sebagai sel yang sangat penting dalam proses penyembuhan luka memiliki fungsi fagositosis bakteri dan jaringan mati, akan medorong pertukaran polarisasi M1, yang merupakan penghasil sitokin pro inflamasi, menjadi polarisasi M2, sehingga polarisasi M2 menjadi lebih dominan. Menurunnya sitokin pro-inflamasi tersebut menunjukkan bahwa ekspresi limfosit T helper-2 lebih dominan, dimana sitokin yang disekresikan T helper-2 (IL-4, IL-10, IL-13) berperan dalam polarisasi M2. Sehinggga sekresi IL-10 ini bertujuan untuk menurunkan menurunkan aktivitas makrofag dan neutrophil dengan menghambat sintesissitokin pro inflamasi (TNF-α, IL-1, IL-6).

Perbedaan yang signifikan didapatkan juga antara kelompok perlakuan topikal 8 hari dan kontrol 8 hari serta kelompok perlakuan sistemik 8 hari dan kontrol 8 hari. Pada hari ke-8, yang merupakan fase proliferasi, ditandai dengan pergantian matriks yang didominasi oleh platelet dan makrofag, secara bertahap digantikan oleh migrasi sel fibroblast dan sintesis matriks ekstraselular. Faktor pertumbuhan terlibat lebih dominan dalam fase proliferasi ini, yaitu antara lain Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), angiopoetin, Fibroblast Growth Factor (FGF) dan TGF-β. Tujuan fase proliferasi ini adalah untuk membentuk keseimbangan antara pembentukan jaringan parut dan regenerasi jaringan yaitu dengan proses angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru), produksi fibroblast, serta re-epitelisasi.21

Produksi mediator sitokin anti-inflamasi seperti IL-10, menyebabkan penurunan peradangan dan menginduksi Treg yang memiliki peran dalam menciptakan kondisi homeostasis. Dalam hal ini menunjukkan bahwa, IL-10 memiliki peran yang tidak signifikan pada fase proliferasi, namun lebih memiliki peran yang dominan dalam anti-inflamasi dan anti fibrotic saat peradangan aktif atau pada fase inflamasi.  Meskipun beberapa penelitian mengatakan bahwa IL-10 dapat menghambat terjadinya fibrosis terutama dengan mengatur proses inflamasi yang mendorong proses fibroproliferasi, mekanis memolekuler di balik efek ini masih belum terbukti secara lengkap. IL-10 lebih memiliki peranan penting sebagai prekrusor dalam pensinyalan fibrotic atau anti fibrotic antara fase inflamasi dan fase proliferasi selama proses penyembuhan.

Pada penelitian ini, ditemukannya kadar IL-10 yang meningkat saat fase proliferasi yaitu pada hari ke-8, baik pada kelompok perlakuan topical maupun sistemik jika dibandingkan dengan kelompok kontrol, menandakan bahwa tidak terjadinya kondisi homeostasis pada luka sehingga produksi IL-10 mengalami peningkatan. Hal ini dapat terjadi Ketika ditemukannya peradangan aktif atau hiperinflamasi yang bekerja secara fisiologis, yang menyebabkan M2 memproduksi IL-10 dalam jumlah yang tinggi sebagai mekanisme anti inflamasi. Respons inflamasi yang berlebihan akan menyebabkan apoptosis limfosit, dan menuju pada kegagalan dalam perbaikan jaringan dan berlanjut pada proses keradangan berkelanjutan. Ketika respons perbaikan jaringan menjadi tidak normal, maka memungkinkan terjadinya kondisi kronis atau pembentukan bekas luka yang berlebihan (hipertrofik atau keloid). Dalam kondisi tersebut, beberapa penelitian sudah dilakukan, dan menunjukkan adanya persaingan secara berkelanjutan antara sinyal inflamasi dan anti-inflamasi yang mengarah kelingkungan yang tidak seimbang untuk penyembuhan luka yang terjadi.

Pada hasil penelitian yang telah dilakukan, terdapat perbedaan yang tidak signifikan antara kelompok perlakuan sistemik 4 hari dengan kelompok perlakuan sistemik 8. Pada kelompok perlakuan topikal 4 hari dengan 8 hari terjadi peningkatan rerata jumlah IL-10 dengan perbedaan yang signifikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian probiotik secara topikal dinilai lebih efektif dalam meningkatkan ekspresi IL-10, karena pada pemberian secara topikal adhesi probiotik terjadi secara langsung pada daerah luka sehingga dapat terjadi mekanisme kerja yang lebih cepat apabila dibandingkan dengan pemberian secara sistemik. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Lopesetal (2017) dan Sudiono et al (2013) , dimana pemberian LcS yang diaplikasikan secara topikal maupun sistemik, telah terbukti memiliki efek anti-patogen baik secara langsung ataupun tidak langsung dan berperan sebagai anti-inflamasi pada system imun. LcS yang terkandung dalam probotik yang berada pada sel M pada Peyer’s patches dalam usus akan dicerna, sehingga meningkatkan fungsi limfosit (proliferasi sekresi sitokin), perlindungan mukosa usus dengan bekerja menghambat kolonisasi patogen, meningkatkan perbaikan jaringan, dan meningkatkan fagositosis sebagai pertahanan sel pada luka bakar tikus. Probiotik yang diberikan secara topikal juga menuju ke sistem pencernaan secara alami dan dapat memungkinkan adanya interaksi antara bakteri probiotik dengan jaringan limfoid pada sistem pencernaan yang akan memberikan efek tambahan terhadap proses penyembuhan luka melalui modulasi sistem imun.25

Setelah penjabaran diatas telah terbukti bahwa, pemberian probiotik Lactobacillus casei Shirota secara topikal dan sistemik dapat menyebabkan peningkatan ekspresi IL-10 pada penyembuhan ulkus traumatikus tikus Wistar, serta pemberian probiotik secara topikal selama 4 hari dinilai lebih efektif dalam meningkatkan ekspresi IL-10 dibandingkan dengan pemberian probiotik secara topikal selama 8 hari dan pemberian secara sistemik pada penyembuhan ulkus traumatikus. Hal tersebut sesuai dengan pembahasan diatas yang menunjukkan peran IL-10 sebagai anti-inflamasi, sehingga lebih baik digunakan selama fase inflamasi berlangsung. Probiotik yang diberikan secara topical dengan bentuk yang lebih stabil seperti gel dan lain sebagainya, akan memaksimalkan kerja dari probiotik tersebut pada penyembuhan ulkus traumatikus dengan mekanisme secara langsung.

Ada peningkatan ekspresi IL-10 setelah pemberian probitoik Lactobacillus casei Shirota pada kelompok perlakuan secara topical dari pada kelompok kontrol dan perlakuan sistemik pada penyembuhan ulkus trauma tikus Wistar (Rattus norvegicus).

Penulis: Chiquita Prahasanti

Link: https://scholar.unair.ac.id/en/publications/improving-the-effect-of-topical-and-systemic-administration-of-pr

Baca juga: Meta-Analisis Efek Probiotik Lactobacillus sp sebagai Imunomodulasi Respon Inflamasi