Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki banyak pulau dengan luas yang berbeda-beda. Salah satu yang harus diwaspadai adalah wilayah maritim Indonesia dengan tektonik yang tidak stabil. Potensi bencana di Indonesia tidak terkecuali menjadi ancaman bagi masyarakat yang tinggal di kepulauan tersebut. Sulitnya akses untuk menjangkau pulau-pulau kecil membuat Indonesia rentan terhadap risiko bencana susulan setelah bencana utama terjadi, yang jika dibiarkan akan menjadi masalah yang lebih serius. Bencana adalah rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan non alam atau faktor manusia yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis (UU Nomor 24 Tahun 2007). Sayangnya, belum banyak perhatian yang diberikan pemerintah untuk fokus pada upaya mitigasi dan kesiapsiagaan bencana bagi masyarakat yang tinggal di pulau terluar. Padahal penanganan mitigasi sejak dini merupakan salah satu langkah pengurangan risiko bencana.
Pulau Sapeken merupakan bagian dari kepulauan terluar, sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Sumenep. Secara geografis Pulau Sapeken terletak antara 7 o 54 LS-8 o 13 LS dan 112 o 51 BT-113 o 04 BT. Luas Pulau Sapeken hanya sekitar 0,64 Km 2. ​​Pulau ini termasuk pulau gersang dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Hampir seluruh tanah di kawasan Sapeken berupa pasir, sehingga tidak bisa dijadikan sawah. Pohon yang bisa tumbuh di kawasan ini adalah pohon kelapa, pohon waru, pohon cemara udang, dan pohon lainnya yang hanya cocok tumbuh di pesisir pantai. Sedangkan pohon mangrove hanya terdapat di sisi timur pulau, sehingga Pulau Sapeken berpotensi mengalami abrasi yang lebih besar, selain banjir rob yang merupakan fenomena rutin menurut warga sekitar. Pulau Sapeken terdiri dari 3 dusun yaitu Dusun Sapeken I dengan jumlah RT 15, Dusun Sapeken II dengan RT 18, dan Dusun Sapeken III dengan jumlah RT sebanyak 10 sehingga total RT sebanyak 43 RT. Jumlah penduduk Pulau Sapeken adalah 2.605 jiwa yang berasal dari 868 KK untuk Dusun Sapeken I, 3.501 jiwa dari 1.167 KK untuk Dusun Sapeken II dan 2.336 jiwa dari 779 KK untuk Dusun Sapeken III, sehingga total jumlah penduduk pulau Sapeken adalah 8.442 jiwa. Kepadatan penduduk mencapai 13.219.294 jiwa/km dengan rata-rata 3 jiwa dalam 1 KK (BAPPEDA Sumenep, 2017).
Hasil risk assessment Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pamekasan dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah memetakan potensi bencana yang mengancam Kepulauan Madura. Beberapa ancaman bencana yang dapat terjadi antara lain banjir, tanah longsor, gempa bumi, dan tsunami. Besarnya potensi bencana yang dapat terjadi di Kepulauan Madura mengakibatkan peluang masyarakat menjadi korban sangat besar, terutama bagi masyarakat yang tinggal di pulau-pulau yang memiliki luas lahan terbatas dan daya tampung rendah. Hal ini diperkuat berdasarkan penuturan warga yang tinggal di Pulau Sapeken, bahwa edukasi tentang kebencanaan sangat jarang, bahkan analisis potensi gempa dan tsunami tidak pernah dilakukan, padahal saat gempa Lombok tahun 2018, warga di Sapeken Island juga merasakan goncangan yang cukup kuat.
Keterbatasan pengetahuan masyarakat dalam kesiapsiagaan bencana menjadi salah satu indikator rendahnya kapasitas. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kesiapsiagaan adalah serangkaian tindakan, persiapan, dan kegiatan yang dilakukan oleh individu dan kelompok masyarakat dengan tujuan mengantisipasi atau menghadapi setiap ancaman bencana yang berpotensi mengganggu kelangsungan hidup manusia secara terencana. upaya pengorganisasian. , efektif, dan efisien (UU Nomor 24 Tahun 2007). Kesiapsiagaan merupakan upaya atau cara pengendalian bencana sebagai upaya mengantisipasi atau mengurangi dampak risiko bencana dengan meningkatkan kapasitas melalui pengetahuan dan sikap tanggap bencana.
Peningkatan kapasitas masyarakat melalui pendidikan untuk membangun kesadaran bencana berbasis masyarakat sangat penting, karena dengan keterlibatan masyarakat dalam menganalisis risiko, bahaya, dan kerentanan di sekitarnya, dapat meningkatkan kesadaran yang mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Program ini juga sejalan dengan strategi prioritas dalam Rencana Nasional (Renas) Penanggulangan Bencana 2020-2024 yaitu pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat, peningkatan peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), lembaga pemerintah, swasta, dan keterlibatan perguruan tinggi dalam harmonisasi pentahelix (BNPB, 2019).
Penulis : Dr. Hariyono, M.Kep
Untuk artikel selengkapnya bisa di download di http://ficse.ijahst.org/index.php/ficse/article/view/30