Di desa-desa pesisir, banyak kajian menemukan bahwa berbagai program pengentasan kemiskinan dan program pembangunan untuk perbaikan kehidupan nelayan sebagian besar belum mencapai hasil yang maksimal. Meski telah digulirkan berbagai bantuan kredit, bantuan aset produksi, paket program modernisasi perikanan dan lain-lain. Tetapi, hingga kini hasilnya seringkali kontra-produktif dan belum sepadan dengan biaya yang telah dikorbankan dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pelibatan perempuan dalam program pemberdayaan masyarakat pesisir penting dilakukan untuk mengurangi reskiko terjadinya bias dan kurang efektivitas program bantuan yang digulirkan.
Musim paceklik dan makin berkurangnya sumber daya laut di wilayah sekitar pantai adalah kondisi yang seringkali menyebabkan kehidupan sehari-hari nelayan terpuruk. Sekali pun dengan pola kehidupan yang subsisten, keluarga nelayan relatif masih bisa memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari. Namun demikian, peluang untuk terus mempertahankan dan mengembangkan pola kehidupan yang subsisten makin kecil, karena kebutuhan konsumsi yang makin bervariasi. Selama musim paceklik, studi yang kami lakukan menemukan upaya yang dikembangkan keluarga nelayan miskin untuk tetap memperoleh penghasilan adalah dengan mengandalkan dukungan usaha dari para istri.
Peran perempuan dalam keluarga nelayan tradisional umumnya strategis, baik sebagai salah satu penyangga ekonomi keluarga yang potensial maupun sebagai tenaga kerja produktif yang dapat dimanfaatkan untuk memberi nilai tambah terhadap ikan hasil tangkapan nelayan tradisional. Hanya saja, sebagian besar perempuan dari keluarga nelayan tradisional umumnya tidak memiliki modal sosial yang memadai untuk dasar pengembangan kemampuan ekonomi keluarganya.
Di desa-desa pesisir, keterlibatan perempuan dalam pemperkuat penyangga ekonomi keluarga nelayan tidak hanya dalam usaha domestik, tetapi tak jarang juga pekerjaan di sektor publik (Fröcklin, Jiddawi & Torre-Castro, 2018). Diversifikasi usaha yang dikembangkan keluarga nelayan miskin seringkali terjadi karena peran perempuan. Meski diakui bukan hal yang mudah dan tidak menjadi jaminan peran perempuan dalam pengembangan diversifikasi usaha keluarga nelayan pasti berhasil, tetapi dalam banyak kasus usaha-usaha alternatif yang dikembangkan perempuan memiliki sumbangan yang signifikan sebagai penyangga ekonomi keluarga nelayan.
Selama ini, hambatan utama yang dihadapi perempuan keluarga nelayan untuk terlibat secara efektif dalam budidaya komersial, antara lain adalah kurangnya akses ke modal (tabungan, hibah dan kredit), keterampilan teknis dan pengalaman yang rendah dalam budidaya, dan kesulitan dalam mengakses bibit dan pakan yang berkualitas (Abwao & Fonda, 2019). Bagi perempuan miskin di desa pesisir, tanpa didukung program pemberdayaan dan bantuan yang berpihak kepada mereka, sulit diharapkan perempuan dalam berperan signifikan dalam meningkatkan taraf kesejahteraan keluarganya (Stacey, et al. 2019).
Studi yang dilakukan di 5 kabupaten di Provinsi Jawa Timur ini, yakni di Kabupaten Pasuruan, Probolinggo, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Pamekasan dan Kabupaten Sampang telah berhasil mengungkap bahwa hidup menjadi bagian dari sebuah keluarga nelayan miskin bukanlah hal yang menguntungkan, khususnya ketika sumber daya laut semakin berkurang dan cuaca semakin ekstrim. Keadaan yang serba sulit ini tidak hanya terjadi di desa-desa pesisir di Indonesia, namun juga di wilayah pesisir lain di berbagai belahan dunia. Tidak sedikit nelayan tradisional yang makin sulit memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga makin terpuruk dalam jurang kemiskinan yang kronis (Ramachandran, 2017).
Studi ini menemukan, pekerjaan sampingan keluarga nelayan umumnya ditekuni oleh perempuan (istri) untuk membantu perekonomian keluarga mereka. Istri nelayan tradisional melakukan pekerjaan kecil untuk menyediakan modal ekonomi bagi keluarga mereka, termasuk memberi modal untuk pekerjaan suami (Ramachandran, 2017; Gustavsson & Riley, 2018).Bagi mereka, kelancaran dan kesuksesan pekerjaan suami merupakan hal penting, dan oleh karenanya, mereka seringkali rela berkorban, termasuk mengorbankan kesejahteraan hidup mereka sendiri, demi keberlangsungan pekerjaan suami (Calhoun et al, 2016; Szaboova et al, 2022).
Saat kondisi laut sedang bersahabat, nelayan miskin akan pergi melaut secara rutin, sedangkan istri mereka akan mengurus pekerjaan sampingan. Nantinya, saat musim paceklik tiba, nelayan tidak akan pergi melaut, atau mengurangi intensitas melautnya, dan memilih untuk membantu istri mereka dengan pekerjaan sampingan.Namun demikian, tidak semua keluarga nelayan tradisional memiliki pekerjaan sampinmgan. Bagi keluarga nelayan tradisionakl yang hanya menggantungkan hidup dari usaha melaut, mereka biasanya menghadapi tekanan kebutuhan hidup yang lebih keras, terutama ketika para istri tidak memiliki pekerjaan sampingan.
Di beberapa keluarga nelayan miskin, sebagian suami diketahui tidak membantu keberlangsungan pekerjaan sampingan keluarga saat musim paceklik tiba, khususnya pekerjaan bukan di luar sektor perikanan. Mereka merasa bahwa satu-satunya pekerjaan yang dikuasai adalah pergi ke laut dan menangkap ikan. Terlebih lagi, banyak dari mereka yang telah bekerja sebagai nelayan sejak dini, mengingat pekerjaan tersebut sudah turun temurun di dalam keluarga. Oleh karenanya, mereka cenderung memilih untuk tetap menjadi nelayan saat musim paceklik, meskipun harus bergabung di kapal-kapal besar dan menjadi nelayan modern.
Laki-laki di keluarga nelayan pada dasarnya memang cenderung melakukan pekerjaan di laut. Mereka hanya melakukan pekerjaan di darat sebesar 30%, sementara pada perempuan persentase tersebut cukup tinggi, yaitu 70% (Liontakis et al, 2020). Di beberapa keluarga nelayan juga masih ditemukan nelayan tradisional yang memilih untuk berdiam diri tanpa melakukan apapun hingga musim paceklik berakhir. Benar adanya bahwa perilaku tersebut hanya akan memperburuk kondisi perekonomian keluarga. Namun, di satu sisi, mereka merasa kesulitan untuk melakukan pekerjaan baru (Ramachandran, 2017).Dari sini dapat dilihat bahwa perempuan memiliki peran signifikan dalam keluarga nelayan. Mereka, dengan keterbatasan aset yang dimiliki, berusaha menyokong perekonomian keluarga yang sedang genting, utamanya saat musim paceklik tiba.
Bagi istri nelayan tradisional yang mengembangkan usaha alternatif, kurangnya aset yang memadai untuk mereka melakukan kegiatan produksi, seperti aset logistik, keuangan, dan dukungan kelembagaan, sangat berpengaruh (Forkuor et al, 2017). Kesadaran dan pemahaman bahwa setiap manusia memiliki kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai, yang mana dapat membantu perbaikan ekonomi keluarga, juga merupakan hal penting bagi istri nelayan. Ketidaksadaran dan ketidakpahaman tersebut, apabila terus dipertahankan, dapat memperpanjang waktu keluarga nelayan dalam jurang kemiskinan (Barrios et al, 2020). Bagi mereka yang mengembangkan usaha alternatif, memang ada sejumlah kendala, seperti keterbatasan modal, teknologi dan peralatan, hingga pemasaran. Mereka mengaku bahwa pemasaran produk dari usaha yang mereka geluti merupakan kendala utama yang sering dihadapi. Salah satu penyebabnya adalah karena para istri nelayan seringkali menggeluti jenis usaha yang sama, seperti berdagang makanan dan sembako. Di dalam satu desa, dapat ditemukan beberapa rumah dengan produk dagangan yang sama, bahkan dengan harga yang sama.
Penulis: Prof. Dr. Bagong Suyanto, Drs., M.Si.
Baca juga: Pandemi Covid-19 dan Peran Perempuan dari Keluarga Miskin dalam Mempertahankan Hidup