Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang masih membayangi Indonesia. Selama tahun 2017-2019, terdapat 2870 kasus difteri dan dilaporkan 96 kematian (Budijanto D, dkk.,2019, 2020). Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae. Difteri ditandai dengan peradangan pada tempat infeksi, terutama pada selaput lendir faring, laring, amandel, hidung dan kulit. 94% kasus difteri menyerang amandel dan faring, beberapa gejalanya adalah nyeri di tenggorokan dan demam tinggi. Kematian akibat difteri terjadi jika penderita tidak mendapatkan pengobatan yang tepat dan daya tahan tubuh yang lemah. Angka kematian sekitar 5-20%. Penyebab kematian sebagian besar karena sumbatan jalan napas, kerusakan otot jantung, dan kelainan sistem saraf pusat dan ginjal (Anggraeni ND, dkk., 2017).
Terlepas dari angka kematian akibat difteri, penyakit ini dapat dicegah dengan melakukan imunisasi lengkap dan rutin sesuai usia anak. Imunisasi dasar lengkap merupakan salah satu program pemerintah Indonesia untuk memberikan vaksin difteri. Namun program tersebut masih perlu ditingkatkan, karena terdapat provinsi yang cakupan imunisasi dasar lengkapnya kurang dari 50%, seperti Papua (29,6%) dan Aceh (49,6%) (Budijanto D, dkk.,2019, 2020). Selain memiliki imunisasi dasar yang lengkap, tingkat kekebalan alami seseorang juga berperan penting dalam pencegahan penyakit difteri. Imunitas alami yang kuat dapat diperoleh dari nutrisi yang cukup, pola hidup sehat, serta kebersihan diri dan lingkungan yang baik. Lingkungan fisik rumah seperti jenis lantai dan ventilasi juga mempengaruhi penyebaran difteri (Prabowo J dan Iriani D U, 2020).
Banyak penelitian yang membahas model matematis penyebaran difteri. Beberapa studi meneliti pengaruh program vaksinasi terhadap penyebaran. Misalnya, Puspita et al mempertimbangkan model SIQR untuk mempelajari pengaruh program vaksinasi dan karantina terhadap wabah (Puspita G, Kharis M, dan Supriyono, 2017). Ilahi dan Widiana mempertimbangkan model SEIR untuk mempelajari efektivitas vaksin dalam wabah (Ilahi F and Widiana A, 2018). Di sisi lain, sebuah penelitian membahas model SIR dengan mempertimbangkan kemampuan manusia yang terinfeksi untuk pulih secara alami, dan mengecualikan efek pengobatan dan vaksin sebagai pengobatan dan pencegahan (Husain HS, 2019). Sedangkan penelitian lain menyebutkan pentingnya peran cakupan imunisasi dan pengobatan yang tepat untuk meminimalisir penyebaran (Izzati N, 2020). Matsuyama, dkk., (2018) menunjukkan bahwa persentase tertentu dari cakupan vaksinasi harus dipenuhi untuk mencegah epidemi. Djafaraa, dkk., (2020) menemukan bahwa cakupan vaksinasi primer yang tinggi dan vaksinasi booster untuk anak prasekolah dan usia sekolah sangat penting untuk mencegah wabah difteri di masa depan. Sebuah studi tentang model regresi menyatakan bahwa peningkatan persentase cakupan imunisasi difteri dan jumlah puskesmas mampu menurunkan jumlah kasus difteri (Ohyver M dan Pudjihastuti H, 2018). Di sini, kami mempelajari model SEIQR yang mempertimbangkan tingkat kekebalan alami individu yang terpapar dalam penyebaran difteri. Model tersebut juga mempertimbangkan cakupan program imunisasi dasar lengkap sebagai pencegahan, dan program karantina sebagai pengobatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami dinamika yang terjadi pada model yang diusulkan.
Penulis: Mohammad Ghani, Ph.D., Ika Qutsiati Utami, S.Kom., M.Sc., Ph.D. (Cand), Fadillah Willis Triyayuda, Mutiara Affah
Tautan Artikel:A fractional SEIQR model on diphtheria disease | SpringerLink