Menangani bone defect adalah salah satu tantangan terbesar dalam dunia ortopedi. Bone defect, atau kerusakan tulang, bisa disebabkan oleh berbagai hal, baik yang bersifat traumatik seperti kecelakaan, maupun non-traumatik seperti penyakit. Kerusakan tulang dapat menyebabkan berbagai komplikasi, termasuk berkurangnya stabilitas mekanis tulang dan terganggunya proses penyembuhan tulang. Salah satu solusi yang telah berkembang untuk mengatasi bone defect adalah penggunaan bone graft atau cangkok tulang.
Setiap tahunnya, penggunaan bone graft di Amerika Serikat bisa mencapai 500.000 kali. Pada tahun 2015, Bone Bank di Amerika Serikat mendistribusikan 2,5 juta bone graft, meningkat 38% dibandingkan tahun 2012. Di Indonesia, penggunaan bone graft juga terus meningkat seiring tingginya angka kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan bone defect pada banyak pasien. Data dari RSUD Dr. Soetomo menunjukkan bahwa pada tahun 2015, bone graft digunakan sebanyak 385 kali.
Ada beberapa jenis bone graft yang umum digunakan, yaitu autograft, allograft, dan xenograft. Ketiganya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Idealnya, material cangkok tulang harus kompatibel dengan tubuh, tidak memicu reaksi inflamasi, dan mampu menyatu dengan defek tulang dalam waktu singkat. Selain itu, material ini harus memiliki kemampuan osteokonduksi dan osteoinduksi yang baik, serta dapat diserap oleh tubuh dengan baik.
Autograft adalah cangkok tulang yang diambil dari individu yang sama. Autograft dianggap sebagai standar emas karena kemampuannya yang tinggi dalam osteokonduksi dan osteoinduksi, serta rendahnya risiko penolakan. Namun, autograft memiliki keterbatasan jumlah karena hanya bisa diambil dari tulang-tulang non-esensial seperti krista iliaka atau fibula. Selain itu, prosedur pengambilan autograft dapat meningkatkan morbiditas, seperti nyeri pasca operasi, perdarahan, infeksi, dan trauma pada saraf atau pembuluh darah di area pengambilan.
Xenograft adalah cangkok tulang yang diambil dari spesies lain, biasanya sapi atau babi. Xenograft diproses menggunakan metode freeze-dried atau demineralisasi untuk menghilangkan antigen dan patogen. Kelebihan xenograft adalah ketersediaannya yang melimpah dan biaya yang relatif murah. Namun, xenograft memiliki risiko komplikasi infeksi yang tinggi, sehingga penggunaannya tidak umum.
Allograft adalah cangkok tulang yang diambil dari individu lain, bisa dari donor hidup atau yang sudah meninggal. Allograft diproses di bank jaringan untuk memastikan keamanan dan sterilisasi. Meski memiliki risiko transmisi patogen, proses sterilisasi yang ketat dapat mengurangi risiko tersebut. Allograft memiliki kelebihan dalam hal ketersediaan jumlah yang tidak terbatas, memungkinkan penggunaannya untuk menutupi defek tulang yang lebih luas.
Untuk mengatasi risiko transmisi patogen, allograft melewati proses persiapan yang ketat, termasuk seleksi donor untuk memastikan tulang yang diambil bebas dari penyakit dan memiliki kualitas yang baik. Proses deselularisasi dilakukan untuk menghilangkan sumsum tulang dan patogen, menggunakan metode kimiawi seperti hidrogen peroksida dan enzim, serta metode fisik seperti sentrifugasi dan sonikasi. Salah satu metode fisik yang sering digunakan adalah deep-freezing, di mana jaringan dibekukan pada suhu -80°C selama 4 minggu untuk mempertahankan karakteristik biomekanis, osteoinduktif, dan osteokonduktif.
Alternatif lain adalah cryopreservation dengan nitrogen cair, yang memungkinkan pembekuan jaringan dalam waktu singkat dengan menggunakan agen pelindung cryo dalam konsentrasi tinggi sebelum dibekukan secara langsung dalam nitrogen cair. Proses ini cepat dan dapat menghindari kerusakan kristalisasi es, meskipun perubahan suhu yang drastis dan paparan agen pelindung cryo dapat mengubah karakteristik osteokonduktif dan osteoinduktif jaringan.
Penelitian yang dilakukan Rizal dkk. membandingkan kedua metode ini, dan menemukan bahwa metode deep-freezing dan nitrogen cair memiliki efek yang sebanding dalam hal viabilitas sel dan kekuatan kompresi, tetapi berbeda secara signifikan dalam uji lentur tulang femur. Hal ini menunjukkan pentingnya mempertimbangkan berbagai faktor saat memilih metode preservasi jaringan tulang.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengeksplorasi parameter tambahan dan mengoptimalkan metode preservasi untuk aplikasi yang lebih spesifik. Dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang efektivitas metode preservasi ini, diharapkan penanganan bone defect dapat lebih ditingkatkan, memberikan hasil yang lebih baik bagi pasien.
Penulis : Rizal Alexander Lisan, Ferdiansyah Mahyudin, Mouli Edward
Judul Artikel : Perbandingan Karakteristik Bone Allograft Paska Proses Preservasi dengan Metode Deep-Freezing Dibanding Dengan Liquid Nitrogen
Jurnal : Narra J
Tautan : doi: 10.52225/narra.v4i1.757; PMID: 38798850; PMCID: PMC11125383.