Sebagai makhluk yang memiliki daya nalar, daya cipta, dan karsa, manusia senantiasa menghasilkan karya seni yang kreatif dan terus berkembang. Karya seni, juga budaya ekspresi masyarakat, sering muncul dalam berbagai cara dengan filosofi dan nilai-nilai mereka. Di hal ini, etis atau tidak, baik atau buruk, dan indah atau tidaknya sebuah karya seni tidak dapat dinilai dari satu perspektif saja. Karya seni dapat dinilai oleh masyarakat sebagai baik dan etis, tetapi pada saat yang sama, itu dapat menjadi tidak etis atau tabu bagi masyarakat lain. Salah satu bentuk seni yang banyak menggambarkan kondisi di atas adalah realisme, yang dapat mengungkapkan unsur ketelanjangan. Contoh paling nyata adalah fotografi dan lukisan Bali perempuan memperlihatkan payudaranya dan orang Papua tidak memakai baju tapi hanya koteka sampai menutupi alat kelamin mereka. Fotografi dan lukisan seperti itu normal dan umum untuk mereka masyarakat, tetapi belum tentu bagi orang lain. Itu menjadi karya seni yang dapat diterima atau karya seni yang dapat diterima yang mengandung unsur “pornografi”. Itu tidak dapat dipisahkan dari faktor sosiologis karena setiap suku bangsa di Indonesia memiliki perbedaan dalam merespon ke bagian-bagian tubuh manusia yang menjadi sumber hasrat dan nafsu serta penafsiran pornografi. Istilah pornografi dibentuk dari kata pornos yang berarti melanggar kesopanan atau cabul dan grafi yang berarti tulisan dan sekarang termasuk gambar dan patung.
Pornografi dapat berupa tulisan dan gambar atau patung yang menyinggung moral perasaan orang yang melihat dan membacanya. Jika ditarik ke dalam wacana Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), persoalannya demikian dan fenomena dapat menjadi wacana yang panjang dan menarik. Sebagaimana diatur dalam IPR, fotografi dan lukisan termasuk dalam rezim hak cipta sebagai karya seni. Ini hak cipta telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Hukum Hak Cipta). Persoalannya kemudian, dalam pengaturan UU Hak Cipta, perlindungannya karya cipta hanya dapat dilakukan terhadap karya-karya di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra diatur dalam Pasal 40 UU Hak Cipta. Namun secara tegas dalam Pasal 50 Hak Cipta Undang-undang, ada batasan dan larangan bagi siapa saja yang membuat pengumuman di distribusi atau komunikasi karya yang bertentangan dengan moral, agama, kesusilaan, publik ketertiban atau pertahanan dan keamanan negara. Jika ditafsirkan termasuk dalam Pasal 50 adalah demikian karya seni yang mengandung unsur atau sifat pornografi.
Namun, UU Hak Cipta tidak mengatur karya seni mana yang benar-benar memenuhi syarat sebagai karya seni yang mengandung pornografi dan karya seni yang memang dapat dikatakan demikian karya seni “murni” meskipun memiliki unsur “nudist”. Dalam konteks ini, UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi) merupakan aturan yang harus dimaksud untuk menilai apakah suatu karya seni yang mengandung unsur nudis termasuk dalam
kualifikasi sebuah karya seni pornografi atau tidak. Sangat penting untuk menentukan karena itu akan terkait erat dengan masalah perlindungan hak cipta atas karya seni. Oleh karena itu, penulis mempelajari seni lukis dan fotografi yang mengandung unsur nudis yang memenuhi syarat sebagai karya pornografi menurut Hukum Positif di Indonesia dan keabsahan hak cipta perlindungan terhadap karya seni yang mengandung unsur nudis.
Karya seni lukis dan fotografi termasuk dalam objek rezim hak cipta. Secara normatif, memang demikian dinyatakan secara tegas dalam UU Hak Cipta. Lukisan dan fotografi sebagai ciptaan yang dilindungi harus merupakan karya seni yang tidak bertentangan dengan kesusilaan, agama, kesusilaan, ketertiban umum, atau lainnya pertahanan dan keamanan negara. Dalam penciptaan dalam seni realisme yang mengandung ketelanjangan, itu dapat secara sah menjadi obyek Hak Cipta sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta, sepanjang obyeknya citra nudist mengikuti realitas budaya masyarakat setempat dan kreasinya tidak dimaksudkan untuk membangkitkan gairah seksual.
Oleh karena itu dapat dikemukakan suatu usulan agar konsep proteksi secara umum dapat dilihat dari proses awal bagaimana perlindungan tersebut diperoleh hingga penegakan hukum yang diberikan dalam pelanggaran hak cipta. Karya seni realisme yang mengandung nudis yang sah sebagai objek hak cipta berhak atas perlindungan hak cipta. Perlindungan yang dimaksud adalah terkait pendaftaran karya dan aspek penegakan hukum dalam pelanggaran hak cipta. Terpisah Dari perlindungan dalam pendaftaran dan sanksi, perlindungan hukum juga dapat dilihat pada masa berlaku hak cipta. Peraturan mengenai jangka waktu ini memberikan legalitas kepastian bagi pencipta atau pemegang hak cipta. Oleh karena itu, mereka tidak perlu khawatir tentang validitas ciptaan mereka.
Penulis: Mohamad Nur Kholiq, Dinda Ajeng Puspanita, Prawitra Thalib
Informasi terperinci dapat dilihat melalui laman: https://journals.ums.ac.id/index.php/laj/article/view/17480