Stunting atau kekerdilan pada anak adalah kondisi yang terjadi akibat malnutrisi kronis pada periode 1.000 hari pertama kehidupan (HPK), yaitu sejak dalam kandungan hingga usia dua tahun. Kondisi ini mempengaruhi pertumbuhan fisik dan perkembangan otak anak, yang berdampak buruk pada kualitas sumber daya manusia di masa depan. Di Indonesia, stunting masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang signifikan, dengan prevalensi yang cukup tinggi meskipun sudah ada berbagai upaya pemerintah dan lembaga terkait untuk menanggulanginya. Dalam konteks ini, penting untuk melihat pendekatan pencegahan stunting dari perspektif budaya, karena budaya memengaruhi pola makan, kebiasaan perawatan anak, dan pemahaman masyarakat terhadap kesehatan gizi.
Budaya lokal sering kali menentukan jenis makanan yang dikonsumsi dan bagaimana pola makan tersebut diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Di banyak daerah, konsumsi makanan dengan kualitas gizi yang seimbang mungkin tidak menjadi prioritas utama. Masyarakat cenderung mengonsumsi makanan yang sudah menjadi kebiasaan turun-temurun, yang sering kali lebih murah atau mudah diperoleh, namun tidak selalu memenuhi kebutuhan gizi yang optimal. Sebagai contoh, di beberapa daerah pedesaan, karbohidrat seperti nasi atau jagung sering kali menjadi makanan pokok, namun kurangnya variasi dalam sumber protein, sayuran, dan buah-buahan dapat menyebabkan kekurangan zat gizi penting bagi pertumbuhan anak. Dari perspektif budaya, pencegahan stunting bisa dimulai dengan menyadarkan masyarakat akan pentingnya keberagaman dalam pola makan. Oleh karena itu, pendekatan yang melibatkan nilai-nilai budaya lokal yang ada di masyarakat bisa menjadi cara yang efektif untuk mencegah stunting. Misalnya, para tokoh agama, pemimpin adat, atau tokoh masyarakat bisa diberdayakan untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya pola makan bergizi. Kampanye yang menggabungkan budaya makan tradisional yang sehat dan pengetahuan gizi modern dapat membuka kesadaran masyarakat untuk memperbaiki kebiasaan makan mereka.
Selain pola makan, budaya juga berperan penting dalam cara masyarakat memandang perawatan ibu hamil dan anak. Di beberapa daerah, terdapat tradisi yang menganggap kehamilan sebagai periode yang penuh pantangan, di mana ibu hamil tidak diperbolehkan mengonsumsi makanan tertentu karena dianggap dapat membahayakan janin. Padahal, beberapa makanan tersebut sebenarnya sangat penting untuk mendukung kesehatan ibu dan bayi, seperti produk susu, daging, dan sayuran yang kaya akan kalsium, protein, serta vitamin dan mineral lainnya. Pencegahan stunting tidak hanya bergantung pada pola makan ibu hamil selama kehamilan, tetapi juga pada perawatan dan perhatian yang diberikan kepada anak sejak lahir hingga usia dua tahun. Dalam banyak budaya, perawatan anak yang lebih mengutamakan pendekatan emosional atau spiritual mungkin mengabaikan aspek-aspek penting seperti pemberian ASI eksklusif atau penambahan makanan pendamping ASI yang bergizi. Oleh karena itu, untuk mencegah stunting, pendidikan tentang pentingnya ASI eksklusif selama enam bulan pertama dan makanan pendamping ASI yang bergizi perlu disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang ada. Misalnya, mengintegrasikan praktik pemberian makanan yang bergizi dalam kebiasaan lokal yang ada, tanpa harus mengabaikan nilai-nilai tersebut, bisa menjadi solusi yang efektif.
Komunitas dalam budaya tradisional Indonesia memiliki peran yang sangat kuat dalam membentuk pola asuh anak. Dalam banyak budaya lokal, pengasuhan anak adalah tanggung jawab bersama, di mana anggota keluarga besar dan masyarakat saling berbagi peran dalam merawat anak. Masyarakat bisa mengembangkan program-program pencegahan stunting yang berbasis pada kearifan lokal ini, seperti membentuk kelompok-kelompok ibu yang berbagi pengetahuan tentang perawatan gizi dan kesehatan anak, atau mengadakan pelatihan tentang cara menanam sayuran atau bahan pangan yang bergizi di pekarangan rumah. Dengan memberdayakan komunitas melalui kelompok atau organisasi berbasis budaya, masyarakat akan merasa lebih terlibat dan bertanggung jawab atas kesehatan anak-anak mereka. Ini juga akan membantu mengatasi masalah stunting dengan cara yang lebih inklusif dan berkelanjutan, karena pendekatan berbasis komunitas akan menyesuaikan diri dengan kondisi dan tradisi yang ada, serta lebih diterima oleh masyarakat.
Budaya juga berhubungan erat dengan peran gender dalam masyarakat. Dalam banyak masyarakat di Indonesia, peran perempuan dalam keluarga sangat menentukan dalam hal pengelolaan rumah tangga, termasuk dalam hal penyediaan makanan dan perawatan kesehatan anak. Oleh karena itu, pemberdayaan perempuan menjadi salah satu kunci penting dalam upaya pencegahan stunting. Pendidikan tentang gizi yang tepat, serta pelatihan keterampilan untuk mengelola makanan bergizi dengan anggaran terbatas, harus dilakukan dengan pendekatan yang sensitif terhadap norma budaya yang ada. Selain itu, pemberdayaan perempuan juga berarti memberikan akses yang lebih luas bagi mereka untuk mengakses layanan kesehatan, baik antenatal care (ANC) bagi ibu hamil maupun perawatan anak setelah kelahiran. Hal ini harus dilakukan dengan memperhatikan cara komunikasi yang sesuai dengan budaya setempat, agar pesan yang disampaikan dapat diterima dan dipahami dengan baik.
Stunting merupakan masalah kesehatan yang kompleks, dan solusinya tidak hanya dapat dicapai melalui pendekatan medis atau kebijakan pemerintah saja, tetapi juga melalui pendekatan budaya yang melibatkan masyarakat secara aktif. Mengintegrasikan perspektif budaya dalam upaya pencegahan stunting akan memastikan bahwa program-program yang dijalankan sesuai dengan kebutuhan dan kebiasaan masyarakat, serta lebih mudah diterima dan diterapkan. Dengan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya gizi yang baik, perawatan ibu dan anak yang benar, serta pemberdayaan perempuan dalam keluarga, kita dapat menciptakan generasi yang lebih sehat dan produktif, sekaligus menghormati dan mempertahankan nilai-nilai budaya yang ada.
Penulis: Dr. Esti Yunitasari, S.Kp., M.Kes
Detail tulisan ini dapat dilihat di: