Universitas Airlangga Official Website

Politisasi Islam dan Tradisi Kawin Paksa di Indonesia dan Pakistan

Foto by CNN Indonesia

Di Indonesia dan Pakistan, fenomena kawin paksa sering terjadi di masyarakat, tidak hanya dalam dunia sosial tetapi juga dalam karya sastra. Karya sastra yang membahas berbagai hal tentang perempuan selalu menjadi topik yang menarik. Selama ini sudah banyak penulis perempuan yang membahas topik “perempuan”. Karya sastra yang dianggap berani, vulgar, santun, dan Islami semakin banyak beredar di toko-toko buku, baik online maupun offline.

Konstruksi perempuan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban dan Perempuan Suci sama-sama menempatkan ayah sebagai penguasa tertinggi yang tidak bisa dilawan. Ayah sebagai laki-laki memiliki peran membangun perempuan dalam rumah dan mengatur kehidupan perempuan dalam keluarga. Perempuan tidak bisa lepas dari bayang-bayang laki-laki, kebebasan perempuan sebagai individu juga menyatu dengan kebebasan perempuan jika ada izin dari laki-laki, sebenarnya kebebasan itu tidak akan tercapai atau ilusi. Sebagai individu, perempuan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari citra bapak dan kakak laki-lakinya. Kawin paksa adalah pengekangan kebebasan perempuan untuk memilih siapa yang akan menemaninya di kehidupan mendatang.

Dominasi patrimonial membuat perempuan tidak bisa bebas, tersubordinasi dan terkekang dari keberadaannya. Berdasarkan situasi yang terjadi, upaya perlawanan melalui Annisa dan Zari sama-sama menunjukkan ketegasan terkait kesetaraan laki-laki dan perempuan. Kedua novel tersebut sama-sama menunjukkan bahwa dalam masyarakat Islam interpretasi religiusitas masih dikonstruksi melalui simbol-simbol yang melekat pada masyarakat, seperti memilih perempuan yang tidak lepas dari bayang-bayang ayahnya. Abidah dan Qaisra luar biasa mengangkat isu dalam konteks perempuan dan Islam. Baik Abidah maupun Qaira mencoba memberikan informasi kepada pembaca tentang bentuk-bentuk dominasi dan pemaksaan seorang ayah untuk menikahkan putrinya. Dengan dalih mengatasnamakan Islam, sebenarnya tidak mencerminkan nilai-nilai Islam.

Kesadaran inilah yang ingin dibangun oleh keduanya, khususnya masyarakat khususnya pembaca. Bahwa dalam Islam sendiri, ijab kabul dari kedua mempelai itu wajib jika ingin menikah. Selain itu, sebagai perempuan sudah sewajarnya untuk keluar dari belenggu ayah, terutama untuk menentukan kehidupan yang berkaitan dengan masa depan. Islam tidak memberikan ajaran tentang “paksaan” dan “perbedaan” perlakuan antara perempuan dan laki-laki. Warisan menjadi paripurna karena tindakan “orang-orang” laki-laki yang memaksakan kehendaknya untuk melanggengkan warisan yang didukung oleh “perempuan” lain untuk mengekang perempuan. Upaya perlawanan yang dilakukan perempuan tidak tinggal diam, melainkan membentuk suara dan perspektif dalam tatanan sosial.

Penulis:  Rima Firdaus, S.Hum., M.Hum,

Informasi detail artikel ini dapat dilihat pada tulisan kami di :

https://ijmmu.com/index.php/ijmmu/article/view/4902

Tittle : The Politicization of Islam: Criticism of Patrimony and the Tradition of Forced Marriage in the Novels Woman with a Turban and the Holy Woman