Humas (20/4/2023) | Fakultas Hukum Universitas Airlangga adalah salah satu fakultas hukum yang marak mengangkat pembahasan soal artificial intelligence pada tiap event yang diselenggarakan atau diikutinya. Baru-baru ini, salah satu dosen dan peneliti sekaligus salah satu pengurus jurnal ilmiah FH Unair kembali berkesempatan untuk menelisik lebih jauh AI dan juga hubungannya pada dunia akademik. Kesempatan itu adalah diundangnya Amira Paripurna, S.H., LL.M., Ph.D. selaku narasumber pada webinar yang diselenggarakan oleh ALMI (Akademi Ilmuwan Muda Indonesia) berjudul “ALMI Scientist Series #2, ChatGPT dan Etika AI dalam Penelitian: Dilema dan Kontroversi”. Webinar juga mengundang beberapa akademisi lainnya seperti Pramudita Satria Palar, Ph.D. selaku dosen di FTMD ITB dan Prasanti Widyasih Sarli, Ph.D. selaku anggota ALMI.
Kehadiran Dr. Amira di forum ini tidak lain dan tidak bukan membahas soal AI yang sudah sering sekali diangkat keberadaannya, bahkan melalui kanal berita FH Unair, yakni ChatGPT. Beliau secara spesifik membahas tentang integritas akademik di era ChatGPT. Hal ini lantaran sering sekali dipertanyakannya, apakah tulisan “karya” ChatGPT itu absah dan bisa dipertanggungjawabkan? Apakah ChatGPT bisa ditulis sebagai penulis sebuah karya ilmiah? Apakah tulisan yang dihasilkan oleh ChatGPT sudah bebas plagiarism dan bisa dipertanggungjawabkan? Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan teknis yang sering sekali dibahas di diskusi-diskusi akademik lainnya.
Pada presentasinya, Dr Amira mengusut tuntas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Di awal, beliau menjelaskan apabila sudah lebih dari 200 buku yang terbit dan dijual di Amazon Bookstore adalah hasil karya ChatGPT. Hal inilah yang menjadi jembatan pada jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang biasanya diajukan. Setelah pembahasan tersebut, beliau membahas tentang apa saja yang bisa dilakukan ChatGPT. Dan hasilnya? Ternyata ChatGPT bisa melakukan apapun tergantung dengan perintah yang diberikan oleh penggunanya. Hal ini bisa saja menjadi hal bagus untuk integritas akademik, atau justru sebaliknya. Karena ide itu adalah hal yang sangat berharga, tetapi bagaimana dengan faktor yang lainnya seperti copyright, plagiarism, kepengarangan, dan atribusi. Apakah ChatGPT bisa memenuhi itu semua?
Ketentuan tetang pelanggaran hak cipta sendiri sudah diatur pada Pasal 44 UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Pada intinya, pasal itu membahas bahwa pengkreditan terhadap sumber asli adalah hal yang wajib dilakukan oleh para penulis. “Sedangkan Karya yang dihasilkan melalui tanggapan ChatGPT cukup sulit untuk diidentifikasi pelanggaran plagiasinya dan masih belum ada hukum yang mengatur mengenai hal ini,” ucap Dr Amira. Maka dari itu, sangat rawan bagi orang yang menggunakan ChatGPT untuk melanggar hukum. Lalu apa yang harus dilakukan untuk mencegah hal-hal seperti itu agar tidak terjadi?
Perlu dipahami bahwa ChatGPT adalah sebuah teknologi, bukan pribadi. Maka dari itu, sesuai dengan ihwalnya, ChatGPT tidak bisa dijadikan sebagai penulis sebuah karya ilmiah atau hasil tulisan apapun. Ada pula fungsinya hanyalah untuk membantu manusia menulis karyanya sendiri. Di sinilah peran atribusi muncul. Hal ini berarti seseorang bisa saja menggunakan bantuan ChatGPT dalam penulisan sebuah karya ilmiah, tetapi tidak dapat mencantumkan ChatGPT sebagai writer atau co-writer karena ChatGPT tidak tidak dapat menyetujui ketentuan penggunaan (consent to terms of use) dan tidak mempunyai hak untuk mendistribusikan konten (the right to distribute content). Maka dari itu ChatGPT tidak bisa pula secara langsung disalahkan karena plagiarisme. Ini adalah saat kita untuk bijak mengolah apa-apa saja yang kita tulis dengan ChatGPT.
Lalu terkait dengan plagiarisme secara spesifik, karena ChatGPT hanya hadir sebagai atributor, maka ini adalah tanggung jawab penulis untuk memilah sendiri mana informasi yang memiliki kemungkinan untuk melanggar hukum dan mana yang tidak. Serta, sangat penting untuk kembali memperhatikan Pasal 44 UU Hak Cipta. Maka setiap perintah yang diberikan kepada ChatGPT dengan tujuan untuk menulis subtansi harus pula kita “minta” untuk dicantumkan sumbernya agar plagiarisme dapat terhindar.
Penulis: Alldeira Lucky Syawalayesha
Sumber gambar: PetaPixel