Wabah COVID-19 telah menyebabkan kematian dalam jumlah yang besar dan menjadi pandemic global yang melanda banyak bagian dunia. Hal ini menjadi tantangan besar bagi dunia medis dan kesehatan dalam menghadapi wabah virus dengan kemampuannya untuk terus bermutasi dengan tingkat penularan yang terus meningkat. Beberapa tantangan termasuk ketersediaan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini tentang obat anti-virus, sistem penghantaran obat, diagnosis penyakit, yang relatif terbatas dan tidak cukup untuk prognosis lebih lanjut.
Pengembangan teknologi nanopartikel saat ini sedang dikembangkan dalam memerangi wabah COVID-19. Beberapa di antaranya terkait metode yang digunakan untuk diagnosis COVID-19 seperti pemindaian tomografi terkomputasi (CT scan), reaksi berantai transkripsi-polimerase balik (RT-PCR), sekuensing asam nukleat, immunoassay, tes di tempat perawatan, deteksi dari napas, bio-sensor berbasis nanoteknologi, deteksi antigen virus, perangkat mikrofuidik, nanosensor magnetik, platform resonansi magnetik, dan biosensor yang berbasis internet-of-things. Computed tomography (CT) scan digunakan untuk memeriksa organ-organ internal, dimana radiografi dada dan gambar penampang 3D dapat digunakan untuk mengidentifikasi gejala COVID-19. Dalam kasus COVID-19, CT dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan pneumonia virus, mendukung diagnosis klinis. Virus SARS-CoV-2 adalah virus RNA untai tunggal (single stranded RNA virus), dimana pendekatan yang paling akurat untuk identifikasi adalah RT-PCR. Pendekatan ini membutuhkan konversi RNA ke DNA pendukungnya, diikuti dengan amplifikasi untuk deteksi. Metode RT-PCR merupakan metode yang tepat dan akurat serta dapat memberikan diagnosis yang andal dalam waktu 3 jam, sedangkan metode laboratorium biasanya membutuhkan 6-8 jam. Deteksi SARS-CoV-2 juga dapat berupa urutan-spesifik berdasarkan sekuensing asam nukleat. Metode ini dianggap sebagai salah satu metode ilmiah paling tepat untuk mendeteksi COVID-19 karena dapat memeriksa seluruh susunan genom virus.
COVID-19 juga dapat didiagnosis secara tidak langsung dengan melihat respons imunologis pasien (immunoassay). Penelitian terbaru telah dilakukan untuk menentukan surveilans serologis COVID-19 dengan mengumpulkan berbagai cairan individu. . Immunoassay adalah metode bioanalitik berdasarkan interaksi antara antibodi dan antigen yang memungkinkan deteksi cepat COVID-19. Menurut penelitian, minimal butuh waktu 5 hari untuk mendeteksi viral load yang cukup. Untuk antibodi, bagaimanapun, biasanya memakan waktu setidaknya 7 hari, dan konsentrasi menurun setelah infeksi telah berkembang selama 7 hari. Jadi, jika viral load minimal, hal ini akan menyebabkan hasil negatif yang bias. Untuk tujuan pemantauan COVID-19, skrining napas yang dikeluarkan mungkin merupakan bentuk analisis yang mudah dilakukan. Namun, skrining SARS-CoV-2 dari udara yang dihembuskan terbukti cukup rumit.
Untuk teknologi terbaru, biosensor menjadi salah satu metode dimana perangkat yang dikembangkan mengandung transduser fisik dan elemen biorecognition yang dapat digunakan untuk mendiagnosis analit yang ada dalam larutan, cairan, dan fuid tubuh. Sensor fisik digunakan untuk menghasilkan respons setelah analit bereaksi dengan faktor biologis dan mengubahnya menjadi analit yang dapat diukur. Strategi deteksi terbaru berbasis nanoteknologi ini, biosensor, telah memberikan hasil yang memuaskan dalam mengenali dan mendeteksi virus SARS-CoV-2.
Selain itu, pengembangan nanoteknologi dalam penelitian dan pengembangan perawatan medis dan vaksin COVID-19 telah dikembangkan dengan pesat, baik menggunakan liposom, misel polimerik, dendrimer, nanopartikel inorganic, nanoemulsi, nanosuspensi, quantum dots, Saat ini, ada sejumlah nanovaksin dan nanomedicines yang saat ini sudah melewati tahap uji klinis dan beberapa masih dalam tahap uji klinis untuk penanganan COVID-19.
Selain vaksin, belum ada terapi SARS-CoV-2 yang disetujui dalam uji klinis. Selain itu, vaksin berbasis nano untuk mengobati SARS-CoV-2 belum diteliti secara memadai. Semua upaya untuk memerangi virus masih perlu dieksplorasi, dan pendekatan nanoteknologi harus diprioritaskan karena teknologi ini mungkin memiliki perspektif baru, terutama dalam mencegah atau mengobati internalisasi virus dibandingkan dengan terapi standar. Untuk mengembangkan desain rasional untuk terapi bertarget, penelitian lebih lanjut juga diperlukan untuk memahami hubungan antara SARS-CoV-2 virus dan nanopartikel. Karena patofisiologi SARS-CoV-2 tidak jelas, nanoteknologi mungkin merupakan teknik yang bermanfaat selain metode lain untuk menghasilkan hasil terapi COVID-19 yang efektif.
Penulis: Andang Miatmoko, Ph.D., Apt.
Sumber: Bhattacharjee, B., Ikbal, A.M.A., Farooqui, A. et al. Superior possibilities and upcoming horizons for nanoscience in COVID-19: noteworthy approach for effective diagnostics and management of SARS-CoV-2 outbreak. Chem. Pap. (2023). https://doi.org/10.1007/s11696-023-02795-3