Universitas Airlangga Official Website

Preferensi Rasa Manis dan Asin pada Anak dan Lansia: Risiko Kesehatan dan Pendekatan Nutrisi

Analisis Sisa Makanan dan Manajemen Pelayanan Makanan pada Lansia
Ilustrasi lansia (Sumber: Grid.id)

Asupan makanan pada anak dan lansia sangat dipengaruhi oleh kemampuan mereka dalam mengenali rasa. Anak-anak umumnya memiliki preferensi yang kuat terhadap rasa manis, sementara pada lansia, masalah dalam mengenali rasa sering kali muncul akibat penurunan kondisi fisiologis. Rasa manis dikatakan sebagai rasa yang menyenangkan bagi anak – anak, namun memunculkan potensi terjadinya obesitas dan penyakit metabolik lainnya. Di sisi lain, sensitivitas rasa asin pada anak bervariasi dan sangat ditentukan oleh paparan makanan asin yang diterima sejak kecil. Sebaliknya, secara alami lansia mengalami penurunan indera pengecap sehingga lansia seringkali mengalami perubahan preferensi terhadap makanan. Kondisi ini memungkinkan terjadinya para lansia menambahkan lebih banyak gula atau garam untuk mendapatkan rasa yang mereka inginkan. Menurut hasil survei di Amerika Serikat pada tahun 2013–2014, prevalensi gangguan fungsi pengecapan pada populasi berusia 40 tahun ke atas mencapai 17,3%. Hal ini menunjukkan bahwa gangguan sensitivitas rasa, terutama pada lansia, bisa menjadi faktor risiko dalam memilih makanan yang dapat meningkatkan risiko penyakit metabolik seperti obesitas dan hipertensi.

Berdasarkan kondisi tersebut, peneliti dari Departemen Gizi Universitas Airlangga melakukan studi potong lintang yang melibatkan 155 subjek yang terdiri dari 101 anak usia 9-15 tahun dan 54 lansia pada tahun 2020 hingga 2021 di Surabaya. Penelitian terdiri dari pengukuran antropometri, pengukuran tekanan darah, dan uji sensitivas rasa. Pengukuran antropometri digunakan untuk menghitung indeks massa tubuh dan tekanan darah diukur menggunakan sphygmomanometer digital sesuai panduan AAP 2017 untuk anak-anak dan JNC 8 untuk lansia. Selain itu, uji sensitivitas rasa dilakukan dengan membandingkan larutan sukralosa (rasa manis) dan larutan garam (asin) pada konsentrasi 0.1709, 0.3418, dan 0.6837 mol/L dengan air murni. Setiap subjek akan menerima 3 set sampel yang mana masing-masing set terdiri dari 1 larutan sampel dan 2 larutan blank yang diberikan dengan tiga kode berbeda. Tes sensitivitas rasa dilakukan dengan meletakkan strip rasa di ujung lidah untuk rasa manis dan di bagian tepi anterior untuk rasa asin untuk selanjutnya dilakukan analisis.

Hasil penelitian menemukan bahwa sensitivitas terhadap rasa asin jauh lebih tinggi dibandingkan rasa manis baik pada anak-anak maupun lansia. Meskipun sensitivitas rasa asin serupa antara anak-anak dan lansia, sensitivitas terhadap rasa manis lebih tinggi pada anak-anak. Berdasarkan jenis kelamin, pria menunjukkan sensitivitas yang lebih rendah terhadap rasa asin dibandingkan wanita, dan tidak ada perbedaan sensitivitas rasa manis antara keduanya. Perbedaan sensitivitas rasa antara pria dan wanita kemungkinan berkaitan dengan jumlah papilla fungiformis (FP) yang lebih banyak pada wanita, yang berperan dalam mendeteksi rasa. Penelitian menunjukkan bahwa wanita memiliki jumlah dan kepadatan FP yang lebih tinggi daripada pria. Selain itu, rendahnya sensitivitas rasa pada pria lansia dapat dipengaruhi oleh riwayat merokok, karena zat iritan dalam rokok dapat mengubah ukuran, bentuk, jumlah, dan vaskularitas FP. Hasil tes korelasi menunjukkan bahwa usia merupakan faktor signifikan yang terkait dengan sensitivitas rasa manis dan asin. Hal ini berkaitkan dengan penurunan fungsi lidah yang dimulai dari apikal menuju anterior lidah serta kemampuan regenerasi sel yang semakin berkurang. Selain itu, penelitian juga menemukan bahwa adanya korelasi antara sensitivitas rasa manis dengan obesitas pada anak – anak dan sensitivitas rasa asin dengan hipertensi pada lansia.

Berdasarkan hasil tersebut, adanya perbedaan sensitivitas rasa antara anak-anak dan lansia menunjukkan perlunya pendekatan manajemen yang berbeda dalam pemilihan dan pengaturan pola makan. Pada anak-anak, preferensi terhadap rasa manis yang lebih tinggi memerlukan pemantauan untuk mencegah risiko obesitas sehingga paparan anak – anak terhadap makanan manis dan obesogenik harus ditekan. Sementara itu, penurunan sensitivitas terhadap rasa asin menuntut perhatian khusus dalam mengelola asupan garam termasuk penambahan kecap atau saus yang umum dilakukan lansia agar dapat mengurangi risiko terjadinya hipertensi. Dengan demikian, pemahaman tentang karakteristik sensitivitas rasa pada anak – anak dan lansia sangat penting dalam pengelolaan makan individual yang tidak hanya mendukung kesehatan optimal, tetapi juga mencegah risiko penyakit metabolik dan kardiovaskular.

Penulis: Afifah Nurma Sari, S.Gz dan Farapti, dr., M.Gizi

Informasi lebih lengkap dari penelitian dapat diakses pada:

Farapti, Farapti & Sari, A.N. & Fadilla, Chusnul & Nor, N.M. & Aziz, S.A.A.. (2024). Sweet and salt taste sensitivity in children and elderly and its correlation with obesity and hypertension. Food Research. 8. 253-261. 10.26656/fr.2017.8(5).050.