Universitas Airlangga Official Website

Problematika Keputusan Tata Usaha Negara yang Bersifat Fiktif Positif Setelah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020

Kehadiran Peradilan Administrasi merupakan conditio sine quo non bagi pemenuhan status dan legitimasi negara hukum. Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Indonesia pertama kali diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Seiring dengan perkembangan kebutuhan hukum oleh masyarakat dan negara maka UU 5/1986 telah mengalami perubahan sebanyak dua kali yaitu UU 9/2004 sebagai perubahan pertama dan UU 51/2009 sebagai perubahan kedua tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN).

Berdasarkan ketentuan Pasal 47 jo. Pasal 1 angka 10 UU PTUN tersebut, dapat dipahami bahwa salah satu kompetensi absolut dari PTUN adalah terkait dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Apabila dimaknai secara an sicht, maka seolaholah pemerintah bertindak aktif (commission) untuk mengeluarkan KTUN itu. Namun, ternyata terdapat KTUN yang dikeluarkan karena pemerintah tidak melakukan apa-apa atau bersifat pasif (omission). Adapun KTUN yang dikeluarkan karena pemerintah bersifat pasif ini dapat dilihat di dalam Pasal 3 ayat (1) UU PTUN yang mengatur bahwa: “(1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara” Dari ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa tidak adanya tanggapan dari pejabat tata usaha negara atas permohonan yang diajukan oleh masyarakat dikualifikasikan sebagai KTUN, sehingga merupakan kompetensi absolut dari PTUN.

Di dalam Pasal 3 ayat (2) UU PTUN diatur bahwa: “Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan data peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.” Tidak adanya respon dari pejabat tata usaha negara terhadap permohonan masyarakat yang berakibat permohonan tersebut dianggap ditolak ini, dikenal juga dengan fiktif negatif. Seiring dengan berjalannya waktu, dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan, badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam menggunakan wewenangnya dengan harapan dan tujuan menciptakan pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat (citizen friendly), maka dibentuk Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP). Melalui UUAP, terjadi perubahan politik hukum administrasi menjadi citizen friendly.

Adapun salah satu manifestasi dari perubahan politik hukum administrasi di Indonesia menjadi citizen friendly ini, dapat dilihat di dalam Pasal 53 ayat (3) UUAP yang mengatur bahwa:” Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum.” Dari Pasal 53 ayat (3) UUAP dapat dipahami bahwa yang dulunya “diam berarti menolak”, maka berubah menjadi “diam berarti setuju” atau bisa disebut juga fiktif positif.

Terkait KTUN fiktif positif di dalam UUAP ini, meskipun maknanya “diam berarti setuju”, namun bukan berarti serta merta KTUN tersebut dianggap berlaku. Berdasarkan Pasal 53 ayat (4) UUAP, pemohon yang permohonannya telah dianggap dikabulkan (KTUN fiktif positif) harus mengajukan permohonan ke PTUN guna memperoleh putusan yang memerintahkan pejabat TUN yang bersangkutan untuk menerbitkan Keputusan dan/atau Tindakan yang diminta. Prosedur hukum acara mengenai permohonan fiktif positif secara detail, diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan (PERMA 8/2017).

Dalam perkembangannya, untuk meningkatkan ease of doing business dan meningkatkan iklim investasi di Indonesia, legislator membentuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) yang mengubah berbagai peraturan perundang-undangan yang ada, karena karakteristiknya yang merupakan omnibus law. Adapun salah satu undang-undang yang diubah adalah UUAP. Berdasarkan ketentuan Pasal 175 angka 6 UUCK, dapat dipahami bahwa terdapat perubahan prosedur penerbitan KTUN fiktif positif sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UUAP. Jika sebelumnya, terhadap KTUN fiktif positif yang tidak ditindaklanjuti secara sukarela oleh pejabat, masyarakat dapat mengajukan permohonan ke PTUN agar PTUN memerintahkan si pejabat menerbitkan keputusan yang dimohonkan; sementara sesudah diundangkannya UUCK, si pejabat wajib secara langsung menerbitkan KTUN fiktif positif yang dimohonkan tersebut tanpa perlu menunggu Putusan PTUN. Prosedur penerbitan dan bentuk KTUN fiktif positif oleh pejabat pemerintahan pasca UUAP tersebut akan diatur dalam Peraturan Presiden. Peraturan Presiden yang mengatur mekanisme penetapan KTUN atau tindakan yang fiktif positif, wajib ditetapkan tiga bulan sejak UUCK diundangkan. Namun sampai tulisan ini dibuat, aturan pelaksana tersebut belum diundangkan.

 Penulis: Bagus Oktafian Abrianto, Xavier Nugraha, Julienna Hartono, Indah Permatasari Kosuma

Jurnal:  PROBLEMATIKA KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA YANG BERSIFAT FIKTIF POSITIF SETELAH UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020