Universitas Airlangga Official Website

Prof Mas Rahmah Tekankan Pentingnya Adaptasi HKI di Era Perekonomian Digital

UNAIR NEWS – Suasana haru sekaligus bangga menyelimuti Aula Garuda Mukti pada Rabu pagi (8/6/2022). Prof Dr Mas Rahmah SH MH LLM menjadi salah satu dari empat akademisi UNAIR yang dikukuhkan dikukuhkan sebagai guru besar, jabatan tertinggi yang bisa diraih oleh akademisi.

Prof Mas Rahmah dikukuhkan sebagai guru besar di bidang hak kekayaan intelektual (HKI) dari Fakultas Hukum (FH) UNAIR. Dalam pidato pengukuhannya, Prof Rahmah mengelaborasikan penelitiannya yang berjudul Trilogi Reformasi HKI: Antara Inovasi Digital, Startup, dan Perkembangan Ekonomi Kreatif.

Prof Rahmah menyampaikan bahwa era digital membawa disrupsi akbar dalam penegakan HKI. Sifat internet yang tak mengenal batas menjadikan pelanggaran dan penyalahgunaan HKI sangat mudah dilakukan. Identifikasi pelaku pun tergolong susah karena sifat pelanggaran yang lintas negara.

“Maraknya pelanggaran HKI menunjukkan adanya suatu konflik antara perlindungan HKI dengan resistensi terhadap sistem HKI itu sendiri,” ujar Ketua Pusat Studi Kekayaan Intelektual FH UNAIR itu.

HKI dan Keuntungannya untuk Bisnis

Premis dasar dari HKI itu sendiri adalah hak eksklusif atas hasil olah pikir dan kemampuan intelektual, akal, dan rasio manusia. Prof Rahmah menjelaskan bahwa HKI memberikan perlindungan hukum secara eksklusif pada hasil tersebut dalam bentuk hak cipta, paten, hingga merk.

“Justifikasi dari HKI ini bermuara dari dua aspek. Pertama adalah occupancy, bahwa seseorang yang menemukan  sebuah karya berhak atas penggunaan eksklusif atas karya tersebut. Kedua adalah labor theory, yakni pengakuan atas manfaat ekonomi bagi pencipta/inventor yang telah bekerja keras menghasilkan karya,” ujar alumnus Monash University itu.

Prof Rahmah mengatakan bahwa kehadiran HKI dapat memperkokoh geliat pertumbuhan perekonomian yang didominasi oleh startup dan ekonomi kreatif. Sebab, HKI dapat memicu bisnis untuk selalu berkreasi dengan inovatif. Selain itu HKI dapat memproteksi dan menangguk keuntungan ekonomi dari inovasi. Tak hanya itu, tiap bisnis akan memiliki kekhasan tersendiri dan itu merupakan suatu hal yang baik dalam persaingan usaha.

Resistensi HKI

Namun, Rahmah menuturkan bahwa premis HKI ini menemui resistensi karena dianggap eksklusifitas hak tersebut monopolistik. Sistem ini cenderung memberikan manfaat pada pemilik HKI, sehingga cenderung mengabaikan kepentingan masyarakat untuk mengakses produk-produk yang dilindungi hak tersebut. Resistensi tersebut menjadi salah satu pemicu dari maraknya pengabaian dan pelanggaran HKI di jagad digital.

“Terdapat pertentangan ideologi pula antara HKI dengan kultur digital. HKI bersifat privat-individualistik, sementara dunia digital menginginkan suatu ‘area bebas’ HKI dimana kreasi digital menjadi informasi publik yang dapat diakses dengan bebas. Hal ini dikenal dengan kebebasan akses atau freedom of access,” kata Ketua Bidang Publikasi Asosiasi Pengajar Hak Kekayaan Intelektual itu.

Bagaimana Menyeimbangkannya?

Penelitian Prof Rahmah menyimpulkan bahwa harus ada keseimbangan antara kepentingan pemilik HKI dengan hak fundamental masyarakat dalam akses informasi. Harus ada trilogi reformasi pada substansi dan penegakan hukum, penyelesaian non-legislatif dan non-litigasi, dan peningkatan edukasi agar nuansa asas keseimbangan lebih kental dalam sistem HKI.

“Asas ini diatur dalam Pasal 7 TRIPs Agreement yang mengatur bahwa perlindungan dan penegakan HKI harus memberikan kontribusi pada inovasi teknologi, transfer, serta diseminasi teknologi demi kesejahteraan. Begitu pula dalam Pasal 43-49 UU Hak Cipta yang memperluas kesempatan akses masyarakat untuk kepentingan pendidikan,” tutupnya. (*)

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Binti Q. Masruroh