Universitas Airlangga Official Website

Psikotropika di Dunia Maya

Foto by Tirto ID

Pada tahun 2020, Roy Kiyoshi yang merupakan salah satu selebritis paranormal terkenal di Tanah Air mengaku membeli obat psikotropika tanpa resep dokter melalui marketplace. Akibat hal tersebut, Roy Kiyoshi divonis lima bulan hukuman penjara dan wajib menjalani rehabilitasi setelah kedapatan memiliki sejumlah butir obat psikotropika. Kasus ini cukup menarik karena mengacu pada UU Psikotropika pasal 14 tentang penyerahan psikotropika, psikotropika hanya boleh diserahkan oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dan dokter serta dilakukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Bagaimana bisa obat psikotropika dijual di marketplace? Apakah ada sanksi yang berlaku bagi penjual obat psikotorpika secara online? Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aspek hukum penjualan online obat psikotropika dan hanya berfokus pada legalitas dari penjualan online obat-obatan psikotorpika melalui marketplace.

Jual beli obat psikotropika secara online seperti yang dilakukan Roy Kiyoshi berarti penyerahan psikotropika kepada pengguna tidak jelas apakah memang dilakukan oleh apotek atau apakah itu disebut apotek online. Menurut Permenkes No. 9 Tahun 2017 tentang Apotek (Permenkes Apotek), syarat pendirian apotek meliputi syarat lokasi, bangunan, sarana-prasarana, peralatan, dan ketenagaan. Setiap pendirian apotek wajib memiliki izin dari Menteri, di mana menteri akan melimpahkan kewenangan pemberian izin kepada pemerintah daerah kabupaten/kota. Apotek online atau apotek yang tersedia di berbagai marketplace menawarkan berbagai produk farmasi melalui media online sudah dipastikan belum bisa terakomodir dalam norma hukum. Tidak ada kejelasan apakah izin yang diberikan oleh dinas kabupaten/kota berlaku juga untuk melakukan penjualan secara online.

Pada Peraturan BPOM No. 8/2020 ditulis mengenai larangan obat-obatan dan sediaan yang tidak boleh disediakan melalui perdagangan online seperti obat keras, obat yang mengandung prekursor farmasi, obat disfungsi ereksi, sediaan injeksi selain insulin, dan obat golongan Narkotika dan Psikotropika. Pada ketentuan tersebut juga terdapat sanksi adminsitratif atas adanya pelanggaran. Dalam hal ini, apakah cukup diberikan sanksi administratif saja bagi pelaku transaksi obat psikotropika secara online tersebut, padahal jelas telah disebutkan bahwa obat tersebut dilarang untuk diedarkan secara online?

Adanya kekosongan hukum yang mengatur penjualan obat psikotropika secara online mengindikasikan perlunya pembaharuan hukum untuk mengisi kekosongan tersebut. Upaya pengisian kekosongan hukum tidak dapat hanya dibebankan kepada lembaga yudikatif semata. Kebijakan serta prakarsa dari Badan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan, baik lembaga legislatif maupun eksekutif.

DPR RI telah menyusun Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Pengawasan Obat dan Makanan, di mana pada pasal 45 ayat 3 disebutkan pelarangan menjual obat psikotropika secara online (Dewan Perwakilan Rakyat, 2019). Sanksi bila melanggar hal tersebut dicantumkan pada pasal 102, yaitu pidana penjara paling lama 10 tahun dan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000 (Dewan Perwakilan Rakyat, 2019). Namun demikian, proses RUU tersebut belum tuntas hingga kini. Pada website resmi DPR RI disebutkan bahwa RUU yang diusulkan oleh Komisi IX untuk masuk dalam Prolegnas 2015-2019 ini terakhir dibahas pada tangga 15 Juli 2019 (https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/130).

Penulis: Dr. Ernawaty, drg., M.Kes

Informasi lengkap dari penelitian ini dapat dilihat pada artikel kami di:

E. Ernawaty, D. W. Murtiningsih, E. Triwidianto, G. Sanjaya, and M. K. Huda, “Legalitas Penjualan Obat Psikotropika Secara Online Di Indonesia,” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, vol. 5, no. 1, pp. 120-135, Jan. 2023. https://doi.org/10.14710/jphi.v5i1.120-135