Bulan Ramadan menjadi waktu yang penuh berkah bagi umat Muslim di seluruh dunia, termasuk di Indonesia yang memiliki populasi Muslim terbesar. Namun, bulan puasa ini membawa tantangan tersendiri bagi penyandang penyakit kronis seperti diabetes melitus. Salah satu tantangan utama adalah menjaga kepatuhan terhadap konsumsi obat yang rutin, padahal jadwal makan berubah secara drastis selama Ramadan.
Penelitian yang dilakukan oleh tim dosen Fakultas Farmasi Universitas Airlangga bersama tim dari sebuah RS di Surabaya mengungkapkan bahwa kepatuhan konsumsi obat pasien diabetes melitus selama Ramadan cenderung menurun dibandingkan dengan bulan-bulan biasa. Studi ini melibatkan 346 pasien rawat jalan dengan diabetes melitus yang terbagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari 201 pasien yang diamati selama satu bulan sebelum Ramadan, sedangkan kelompok kedua terdiri dari 145 pasien yang diamati selama Ramadan. Penilaian kepatuhan dilakukan dengan metode picture pill count, di mana pasien diminta mengirimkan foto obat mereka sebanyak dua kali selama periode pengamatan untuk memperkirakan jumlah obat yang telah dikonsumsi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan tinggi terhadap pengobatan selama bulan biasa tercatat sebesar 96,5 persen, sedangkan selama bulan Ramadan hanya sebesar 89 persen. Selisih ini terbukti signifikan secara statistik dengan nilai p=0,005. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan pola makan dan waktu konsumsi yang hanya terbatas pada waktu sahur dan berbuka dapat mempengaruhi keteraturan pasien dalam mengonsumsi obat, sehingga menurunkan tingkat kepatuhan mereka terhadap pengobatan.
Secara demografis, sebagian besar pasien berusia 40 hingga 64 tahun dan mayoritas memiliki latar belakang pendidikan menengah hingga perguruan tinggi. Tipe terapi diabetes yang digunakan tidak menunjukkan perbedaan signifikan antara kedua kelompok. Tidak ada perbedaan berarti dalam jenis obat yang dikonsumsi antara kelompok Ramadan dan non-Ramadan.
Namun demikian, perubahan gaya hidup selama Ramadan, seperti perubahan waktu makan, aktivitas malam hari yang lebih padat, dan kemungkinan rasa lelah berlebih, berkontribusi terhadap ketidakteraturan konsumsi obat. Pasien juga berisiko mengalami hipoglikemia atau hiperglikemia apabila konsumsi obat tidak disesuaikan dengan waktu makan dan aktivitas mereka selama puasa. Kurangnya pemahaman tentang cara menyesuaikan dosis dan waktu minum obat turut menjadi faktor yang mempengaruhi turunnya kepatuhan.
Penelitian ini menggarisbawahi pentingnya intervensi edukatif yang dilakukan sebelum Ramadan, terutama bagi pasien diabetes yang berencana berpuasa. Tenaga kesehatan, khususnya dokter dan apoteker, diharapkan dapat memberikan panduan yang jelas terkait penyesuaian dosis obat, waktu konsumsi yang tepat, serta pentingnya monitoring kadar gula darah selama puasa. Dengan demikian, pasien dapat tetap menjalankan ibadah puasa dengan aman tanpa mengorbankan efektivitas pengobatan mereka.
Studi ini juga menjadi dasar penting bagi pengembangan kebijakan pelayanan farmasi yang lebih adaptif terhadap kondisi sosial dan keagamaan masyarakat Indonesia. Meskipun penelitian ini dilakukan di satu rumah sakit rujukan tersier di Surabaya, hasil temuan ini membuka peluang untuk dilakukannya kajian lebih luas di berbagai wilayah lain di Indonesia. Dengan pendekatan yang tepat, ibadah puasa dan kepatuhan pengobatan seharusnya dapat berjalan seiring, bukan saling meniadakan.
Penulis: Yunita Nita
Detail tulisan ini dapat dilihat di: