Perang Rusia melawan Ukraina, yang berubah menjadi invasi skala penuh pada 24 Februari 2022, telah menciptakan tanggapan yang berbeda dari banyak bagian dunia. Sebagian besar negara Barat merespons sama: melalui kecaman keras, menjatuhkan sanksi, dan mendukung Ukraina dengan bantuan kemanusiaan serta militer (Hijau 2022). Namun, ada perbedaan antara “Barat” dan “Yang Lain”. Negara-negara non-Barat sangat bervariasi dalam menanggapi invasi Rusia. Beberapa, seperti Singapura dan Jepang, mengutuk keras Rusia dan mendukung sanksi. Lainnya, terutama dari Global South, seperti China, India, dan Brazil, bermain pragmatis dan mencoba berada di tengah sambil berupaya mendapat untung dari perang ini. Sementara itu, negara-negara seperti Suriah dan Iran justru mendukung posisi Rusia. Indonesia menjadi kasus menarik karena di satu sisi mendukung resolusi PBB yang mengecam Rusia, namun tidak mendukung sanksi maupun tidak mau mengecam Rusia secara terbuka.
Dalam tulisan terbarunya, Radityo Dharmaputra menelaah secara mendalam mengapa sikap Indonesia cukup unik. Upaya pemerintah untuk bersikap netral dan bermain di kedua sisi bertentangan dengan wacana masyarakat, yang cenderung lebih simpatik terhadap posisi Rusia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa opini publik Indonesia cenderung mendukung Rusia dan mengkritik Ukraina dan Barat, terutama di media sosial. Namun, survei terbaru Lowy Institute 2021 menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia mempercayai atau mendengarkan elit yang dianggap “ahli” dalam urusan luar negeri. Oleh karena itu, elit dan komunitas pakar berperan penting dalam membingkai perang Rusia di Ukraina dan mendorong sikap masyarakat maupun pemerintah.
Ada beberapa narasi utama yang berkembang di level elit dan akademisi. Pertama, perang ini bukan antara Rusia dan Ukraina, melainkan hanya proxy war antara Barat (diartikan sebagai Amerika Serikat, NATO, dan Eropa) melawan Rusia. Dalam narasi ini, banyak elit menormalisasi invasi, menganggapnya sebagai hal yang wajar karena AS dan NATO yang memulai terlebih dahulu dan Rusia hanya merespons saja. Pada narasi pertama ini, Ukraina bahkan hilang dari diskusi dan dianggap tidak penting.
Kedua, ketika para elit dan akademisi bicara soal Ukraina, mereka menganggap Ukraina hanya negara kecil yang harus bersikap netral dan tidak memprovokasi negara besar tetangganya (yaitu Rusia). Lebih jauh lagi, elit dan akademisi di Indonesia justru mendorong agar Ukraina belajar dari Indonesia yang mampu bersikap netral di antara AS dan China.
Lebih jauh lagi, berbeda dengan Brazil, narasi ketiga dari akademisi dan elit di Indonesia, terutama yang diprakarsai oleh Connie Bakrie (seorang analis yang mengklaim ahli pertahanan), justru mendorong agar Indonesia mendukung Rusia dan berusaha menyeimbangkan dunia yang didominasi AS.
Ada beberapa alasan dari dominasi tiga narasi tersebut. Dua diantaranya adalah kurangnya pemahaman, baik di level masyarakat maupun elit/akademisi mengenai Eropa Timur dan Ukraina, serta dominannya pemikiran neorealisme ala John Mearsheimer, seorang akademisi Hubungan Internasional yang dikenal dengan kesalahpahamannya mengenai situasi di Ukraina dan Eropa Timur. Kedua aspek tersebut membuat para elit dan akademisi Indonesia dengan mudah termakan propaganda, disinformasi, serta kesalahpahaman mengenai situasi Ukraina. Beberapa isu yang mengemuka misalnya soal diskriminasi terhadap penutur Bahasa Rusia di Ukraina, serta genosida yang terjadi di Ukraina Timur, yang sudah dibantah oleh PBB. Parahnya lagi, tidak jarang akademisi Indonesia justru meneruskan saja propaganda Rusia seperti penggunaan istilah “operasi militer khusus.”
Namun, di artikel ini, Radityo Dharmaputra juga menekankan ada aspek poskolonial yang muncul. Pandangan anti-Barat yang merata di masyarakat merupakan satu hal, namun ternyata pandangan yang memandang Barat sebagai sumber permasalahan dunia juga ada di kalangan akademisi. Lagi-lagi, bila kita menyimak pandangan Connie Bakrie sebagai salah satu intelektual publik yang sering menjadi rujukan elit, pengambil kebijakan, dan masyarakat, nampak jelas mendorong posisi Indonesia sebagai korban penjajahan Barat dan sebagai negara non-Blok untuk mendukung Rusia dalam menyeimbangkan dunia. Bahkan, narasi ala Connie juga muncul dari politisi macam Budiman Sudjatmiko yang menekankan posisi netral dan non-Blok Indonesia.
Narasi sejarah kolonial kita juga digunakan untuk menunjukkan bahwa Rusia adalah teman lama yang selalu membantu Indonesia melawan penjajah, dan saat ini Rusia adalah kekuatan anti-kolonialisme Barat. Padahal, Rusia adalah penjajah dan kekuatan imperium di Kawasan Eurasia, yang menjajah wilayah Eropa Timur, Baltik, Kaukasus Selatan, serta Asia Tengah, dan menyebabkan tragedi kemanusiaan serta kesengsaraan di sana. Dampaknya, elit serta akademisi kita justru termakan narasi propaganda Rusia dan bersikap mendua: ingin memosisikan diri netral serta tidak mendukung perjuangan antipenjajahan; dan di sisi lain justru mendukung posisi Rusia yang menentang Barat serta AS.
Penulis: Radityo Dharmaputra
Informasi detail dapat dilihat pada tulisan saya di:
https://scindeks-clanci.ceon.rs/data/pdf/2217-995X/2023/2217-995X2301059D.pdf