Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang menjadi salah satu penyebab kematian utama di seluruh dunia. Diperkirakan 10,6 juta orang menderita TB pada tahun 2021. Indonesia berada di peringkat ke-2 negara dengan beban TB di dunia. Negara negara dengan beban TB (TB High Burden Countries) merupakan penyumbang dua pertiga kasus TB global pada tahun 2021. TB yang resistan terhadap obat (DR-TB) terus menjadi ancaman kesehatan masyarakat. Resistensi terhadap rifampisin (RIF), obat lini pertama yang paling efektif, merupakan kekhawatiran terbesar. Resistensi terhadap RIF dan isoniazid (INH) didefinisikan sebagai TB yang resistan terhadap beberapa obat (TB-MDR). Baik TB-MDR maupun TB yang resistan terhadap rifampisin (TB-RR) memerlukan pengobatan dengan obat lini kedua. Secara global, pada tahun 2021, diperkirakan terdapat 450.000 kasus TB-MDR/RR. Indonesia merupakan salah satu dari tujuh negara dengan beban tertinggi dalam hal jumlah kasus TB-MDR/RR, dan menyumbang dua pertiga dari kasus TB-MDR/RR global pada tahun 2021. Perkiraan proporsi penderita TB yang TB-MDR/RR adalah 3,6% pada kasus baru dan 18% pada kasus yang pernah diobati sebelumnya.
Penelitian sebelumnya di Indonesia melaporkan bahwa 433 pasien TB-MDR berasal dari tujuh (1,7%) kasus baru, 165 (38%) kegagalan pengobatan, 160 (37%) kasus kambuh, 91 (21%) kembali setelah mangkir, dan 10 (2,3%) kasus lainnya. Kasus yang pernah diobati adalah pasien Tuberkulosis yang telah menerima obat anti TBC selama satu bulan atau lebih di masa lalu. Mereka selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan terbaru mereka. Salah satu kasus Tuberkulosis yang pernah diobati sebelumnya adalah kasus kegagalan pengobatan, yang didefinisikan sebagai pasien Tuberkulosis yang mikroskopis BTA atau kultur dahaknya positif pada bulan kelima atau lebih setelah pengobatan. Kegagalan pengobatan Tuberkulosis dilaporkan sebagai faktor risiko berkembangnya TB-MDR pada penelitian sebelumnya. Pengobatan TB paru dapat tidak adekuat karena berbagai sebab, antara lain cara pengobatan yang salah, tidak sesuai dengan aspek farmakokinetik. Salah satu faktor yang dilaporkan menjadi penyebab kegagalan pengobatan sekaligus terjadinya resistensi obat adalah riwayat pengobatan Tuberkulosis yang tidak standar dan tidak memadai. Pengobatan yang tidak memadai menyebabkan kegagalan pengobatan dan kekambuhan, yang merupakan penyebab resistensi obat.
Obat TB lini pertama seperti RIF, INH, etambutol, dan pirazinamid, berdasarkan farmakokinetiknya, aktivitasnya bergantung pada konsentrasi, dimana obat tersebut sebaiknya diminum sehari sekali dengan dosis yang tepat untuk mendapatkan Cmax dan Cmax/AUC yang optimal, artinya obat diminum sekali sehari, bukan dua atau tiga kali sehari. Resimen jenis ini disebut dosis terbagi. Interaksi antara makanan dan obat dapat menurunkan bioavailabilitas obat anti tuberkulosis, khususnya RIF dan INH. Penderita TB dianjurkan meminum obat anti TB pada saat puasa untuk menghindari kegagalan terapi akibat penurunan konsentrasi dalam darah. Kepatuhan yang buruk terhadap pedoman Directly Observed Treatment Short-course (DOTS) dan pemberian perawatan yang tidak memadai yang mengakibatkan kegagalan pengobatan dan kekambuhan merupakan penyebab utama resistensi obat pada tuberkulosis. DOTS adalah strategi khusus, yang didukung oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), untuk meningkatkan kepatuhan dengan mewajibkan petugas kesehatan, relawan komunitas, atau anggota keluarga untuk mengamati dan mencatat pasien yang meminum obat setiap dosis. Aspek utama dari strategi DOTS adalah pengawasan langsung terhadap proses minum obat yang berkaitan dengan obat yang selalu tersedia. Oleh karena itu, terjamin kepatuhannya dalam mengkonsumsi obat TB selama masa pengobatan.
Di Indonesia pengawasan pengobatan dilakukan oleh anggota keluarga pasien yang telah diberikan edukasi mengenai kapan pasien akan memulai pengobatan, dan hal ini tidak dilakukan oleh perawat atau teknisi. Namun meskipun obat diminum secara teratur, pemberian obat anti tuberkulosis tanpa mempertimbangkan aspek farmakokinetik dapat menyebabkan kegagalan pengobatan dan resistensi obat. Berdasarkan aspek farmakokinetik, obat yang tersedia untuk pengobatan TB di masyarakat ada dua jenis , yaitu obat terpisah dan formula obat TB-fixed dose combination (FDC). FDC merupakan paket obat yang mengandung komponen obat aktif tertentu. Formula obat TB-FDC tercantum RIF, INH, pirazinamid, dan etambutol. Disebut obat TB-2 FDC jika mengandung RIF dan INH, dan disebut 3 FDC jika mengandung RIF, INH, pirazinamid, dan 4 FDC jika mengandung RIF, INH, pirazinamid, etambutol. 4 FDC diberikan selama dua bulan pertama selama fase intensif, dan 2 FDC diberikan selama empat bulan, pada fase lanjutan.
Penelitian ini dilakukan pada pasien dewasa dengan obat TB-FDC, dan obat TB-FDC diminum selama pengobatan TB. Rekomendasi WHO diadopsi oleh Subdirektorat TB Kementerian Kesehatan RI penggunaan obat TB-FDC dalam layanan pengobatan TB, namun belum optimal ketersediaan dan distribusi ke seluruh layanan kesehatan. Di Indonesia terdapat 3 tingkat fasilitas kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan primer hanya memberikan pelayanan awal dan tidak spesialisasi. Pelayanan kesehatan sekunder menyediakan layanan awal dan beberapa layanan spesialis. Pelayanan kesehatan tersier merupakan pelayanan khusus yang lengkap dan layanan spesialis. Pelayanan Kesehatan Primer di Indonesia merupakan fasilitas kesehatan masyarakat yang memberikan pelayanan primer termasuk pengobatan TB berdasarkan program DOTS TB. Kegagalan pengobatan tuberkulosis merupakan beban kesehatan karena pasien masih terkena infeksi di masyarakat dan hal ini dapat menyebabkan penularan dan berkembangnya resistensi multidrug.
Penting untuk mencegah munculnya dan penularan TB yang resistan terhadap obat, karena obat lini kedua kurang efektif, mempunyai efek samping toksik, dan memerlukan waktu pengobatan jangka panjang. Selain itu, kegagalan pengobatan menyebabkan angka kematian lebih tinggi. Untuk meningkatkan hasil pengobatan TB khususnya pada TB Sensitif Obat (DS-TB), diperlukan upaya untuk mengurangi kegagalan pengobatan. Informasi hal pasien TB-MDR dapatan dari kasus kegagalan pengobatan yang berhubungan dengan karakteristik riwayat pengobatan sebelumnya diperlukan untuk memperkuat program pengendalian TB melalui DOTS, untuk mencegah kegagalan pengobatan TB dan resistensi obat. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi karakteristik riwayat konsumsi obat sebelumnya berhubungan dengan cara konsumsi obat pada pasien TB dengan hasil kegagalan pengobatan yang berkembang menjadi resistensi obat TB.
Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada 171 pasien TB-MDR dapatan diantara kasus-kasus pasien TB baru yang pengobatannya gagal dengan rejimen anti-TB standar lini pertama, dengan usia rerata 44 tahun, 94 (55%) laki-laki dan 77 (45%) perempuan. Selain itu, pasien yang memiliki penyakit penyerta Diabetes Mellitus 70 dari 171 (40,9%). Lokasi pengobatan TB sebelumnya, dilaporkan pasien dirawat di Puskesmas sebanyak 112 (65,5%) pasien, di rumah sakit sebanyak 24 (14%), di klinik swasta sebanyak 23 (13,5%), di praktek dokter umum sebanyak 7 pasien (4,1%), di praktek dokter spesialis 5 (2,9%). Pasien yang mendapat obat TB terpisah sebanyak 64 (37,4%) dan yang mendapat obat TB-FDC sebanyak 107 (62,6%). Pada yang mendapat obat terpisah, pasien yang meminumnya dalam dosis terbagi sebanyak 21 dari 64 (32,8%), dan 43 dari 64 (67,2%) meminum obat Anti TB sekaligus. Pada pasien yang minum obat TB-FDC, pasien yang minum dalam dosis terbagi adalah 6 dari 107 (5,6%) dan 101 dari 107 (94,4%) minum obat anti TB sekaligus.
Kebanyakan pasien yang diberi obat anti TB terpisah dan dalam dosis terbagi, ditemukan pada pasien di klinik swasta 11 (17,2%). Kebanyakan pasien yang diberi obat TB terpisah yang diminum sekaligus ditemukan di Puskesmas 24 (37,5%). Pasien yang diberikan obat TB-FDC yang diminum dalam dosis terbagi ditemukan di Puskesmas 4 (3,7%), dan pasien yang diberi obat TB-FDC yang diminum sekaligus ditemukan di Puskesmas 82 orang (76,6%). Pasien yang menerima obat TB FDC, 8 dari 107 (7,5%) meminum obat TB dengan makanan, dan 99 dari 107 (92,5%) diminum ≥2 jam sebelum/sesudah makan. Pasien terbanyak yang diberikan obat TB terpisah yang diminum bersama makanan di klinik swasta 2 (3,1%). Pasien yang diberi obat TB terpisah ≥2 jam sebelum/sesudah makan pada pasien Puskesmas terbanyak 26 orang (40,6%). Pasien yang diberi obat TB-FDC yang diminum bersama makanan, di Puskesmas 6 (5,6%), dan pasien terbanyak yang diberikan obat TB-FDC yang diminum ≥2 jam sebelum/sesudah makan pada pasien di Puskesmas 80 (74,8%). Edukasi cara minum obat yang dilakukan oleh petugas kesehatan dilaporkan pada 105 (61,4%) pasien yang dirawat di Puskesmas, di rumah sakit 22 (12,9%), di klinik swasta 21 (12,3%), di praktek dokter umum 7 (4,1%), di praktek dokter spesialis 7 (4,1%). 5 (2,9%). Di Puskesmas 7 (4,1%) pasien dan 2 (1,2%) pasien di rumah sakit tidak dijelaskan tentang cara minum obat.
Pembahasan
Sejak tahun 1994, WHO dan International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) telah merekomendasikan penggunaan obat TB-FDC sebagai terapi anti TB. Hal ini untuk menyederhanakan terapi, meningkatkan kepatuhan, dan mencegah kesalahan pengobatan. Obat TB terpisah hanya untuk pasien tertentu seperti pasien yang mengalami efek samping obat. Penyebab paling umum yang berkorelasi dengan resistensi obat TB termasuk tidak diterapkannya DOTS dan faktor risiko penting lainnya yang berkorelasi dengan kurangnya asupan obat oleh pasien, kualitas obat, dan lainnya. Resistensi obat TB dapat dipengaruhi juga oleh malabsorpsi obat. Dosis obat dibawah standar akibat cara pemberian obat yang salah menyebabkan kegagalan pengobatan dan resistensi obat.
Penelitian ini melibatkan 171 pasien TB-MDR dapatan yang mengalami kegagalan pengobatan dalam pengobatan TB sebelumnya. Penelitian ini ditemukan yang pemberian obat TB terpisah, hal ini tidak sesuai dengan rekomendasi WHO. Pemberian obat TB terpisah ditemukan di seluruh tempat pelayanan Kesehatan, dan ditemukan terbanyak di tempat non Puskesmas 38 dari 64 (59,4%). Pada penelitian ini tidak ditanya mengapa obat diberikan secara terpisah. Di negara-negara dengan beban TB yang tinggi dimana strategi DOTS tidak diterapkan dengan baik, dilaporkan sebagai faktor risiko TB-MDR. Indonesia merupakan salah satu negara dengan beban TB yang tinggi dan strategi DOTS masih fokus di Puskesmas. Sebagai gambaran, telah dilakukan notifikasi TB Sensitif Obat (DS-TB) sebagai komponen penerapan strategi DOTS oleh fasilitas Puskesmas diperkirakan 65%, di RS Pemerintah 20%, dan di RS Swasta 15%.
Pada penelitian ini, pasien yang minum obat dengan benar, pada pasien dengan obat TB-FDC atau obat TB terpisah, yang minum obat 2 jam sebelum atau sesudah makan pada 39 dari 171 (22,8%) pasien. Kondisi dimana kesalahan pengobatan dapat menjadi penyebab resistensi obat TB. Interaksi antara makanan dan obat dapat menurunkan bioavailabilitas obat TB, khususnya RIF dan INH. Penderita TB sebaiknya dianjurkan meminum obat anti TB pada saat puasa untuk menghindari kegagalan terapi akibat penurunan konsentrasi dalam darah. Sebuah penelitian di India melaporkan bahwa makanan menurunkan konsentrasi obat anti-TB secara signifikan dan menunda penyerapan. Kualitas obat juga menentukan namun dalam penelitian ini, kualitas obat yang diberikan kepada pasien tidak dianalisis. Faktor lain mungkin berperan dalam terjadinya kegagalan pengobatan dan berkembangnya resistensi obat TB. Isoniazid sebagai obat utama pengobatan anti-TB lini pertama, memberikan aktivitas bakterisidal dini yang kuat. Aktivitas antimikroba berkorelasi baik dengan paparan Isoniazid. Variabilitas antar individu terlihat pada respons terhadap Isoniazid dapat menyebabkan konsentrasi di bawah optimal, sehingga mengakibatkan kegagalan pengobatan dan risiko resistensi obat. Faktor risiko lain yang mempengaruhi kegagalan pengobatan adalah strain Mycobacterium tuberculosis (MTB).
\Faktor ini tidak dapat diabaikan terutama untuk beberapa strain MTB seperti strain genotipe Beijing. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa genotipe MTB Beijing 1,9-3,6 kali berhubungan secara signifikan dengan peningkatan risiko kegagalan pengobatan. Penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa strain genotipe MTB Beijing kurang rentan terhadap pengobatan TB, meskipun tidak ada resistensi terhadap obat anti TB. Edukasi cara minum obat sebelum memulai pengobatan adalah penting. Pengawas pengobatan mempunyai peranan penting dalam penerapan DOTS dalam pengobatan TB. Kuesioner penelitian ini menyatakan bahwa tempat pelayanan kesehatan yang tidak memberikan edukasi kepada pasien tentang cara minum obat TB yang benar di Puskesmas sebanyak 5 (2,9%), di Rumah Sakit sebanyak 4 (2,3%) pasien. Sebanyak 161 (94,2%) pasien memiliki pengawas pengobatan. Kondisi komorbiditas yang berhubungan dengan malabsorpsi juga dilaporkan menjadi faktor risiko resistensi obat. Penelitian ini menemukan bahwa 42 (24,6%) pasien mengalami efek samping obat TB berupa muntah, dan 70 (40,9%) pasien DM. Pasien TB dengan DM yang tidak terkontrol memiliki risiko kegagalan pengobatan dan resistensi obat TB yang lebih tinggi. Pada TB-DS dengan gangguan fungsi ginjal dan gangguan hati, perlu adanya perubahan standar rejimen TB.
Kesimpulan
TB resisten obat dapatan (Acquired MDR-TB) pada kasus pasien dengan riwayat kegagalan pengobatan, di Puskesmas kebanyakan karena kontribusi administrasi yang salah pada pengambilan obat. Penelitian ini menunjukkan penerapan strategi DOTS perlu diperluas ke seluruh lokasi layanan kesehatan, dan menekankan pendidikan cara minum obat sesuai dengan aspek farmakokinetik.
Penulis: Soedarsono Soedarsono, Ni Made Mertaniasih, Tutik Kusmiati, Ariani Permatasari, Wiwik Kurnia Ilahi, Amelia Tantri Anggraeni
Informasi detail riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:
Baca Juga: Distress Ibu Hamil dan Kaitannya dengan Preeklampsia