Sudah saatnya menikmati karya seni rupa dengan cara baru, bukan lagi hanya berdiam diri sambil menerka pesan yang coba dihadirkan oleh pekerja seni. Dengan Augmented Reality (AR), penikmat seni bisa menikmati karya dengan cara yang berbeda. Cukup hanya dengan smartphone, sebuah karya seni rupa dapat ‘hidup’ dan dinikmati tanpa harus berpikir keras apa maksud karya yang sedang ditampilkan, terutama karya seni abstrak.
Seni rupa ada beragam jenis dan bentuknya, tidak hanya sekadar seni lukis saja. Seni patung, seni keramik, seni film dan seni fotografi, merupakan sejumlah jenis dari seni rupa lain yang juga bisa dinikmati. Menurut Salam (2020), seni rupa merupakan cabang seni yang membentuk karya seni dengan media yang bisa ditangkap mata dan tujuan pemuasan eksresi pribadi. Oleh karena itu, ada banyak jenis karya seni rupa yang bisa dihidupkan dengan teknologi Augmented Reality (AR), sehingga sebuah karya seni rupa tidak lagi membosankan. Karena tidak lagi membosankan itulah, AR ternyata membantu mempercepat pengunjung untuk memahami karya seni rupa (Shih, 2019; Wypyski, 2022).
Augmented Reality merupakan salah satu teknologi yang berpengaruh besar pada seni kontemporer abad 21. Adanya Augmented Reality membuat pekerja seni dapat mengeksplorasi imajinasi dan konsep seninya tak hanya di dunia nyata, juga hingga dunia maya dan digital (Syamsudin, 2022). Lalu apa sih AR itu? Augmented Reality adalah teknologi yang menggabungkan konten digital yang dihasilkan komputer dengan dunia nyata secara real time baik itu dalam bentuk 2D atau 3D yang diproyeksikan melalui perangkat seperti smartphone (Dewangga, 2023).
Untuk dapat menikmati “kehidupan” karya seni tersebut dengan AR, kita perlu menginstall aplikasi yang sudah ditentukan terlebih dahulu. Setelah itu, kita tinggal mengarahkan kamera smartphone ke karya yang kita ingin lihat. Nantinya karya itu seakan – akan hidup, tergantung bagaimana pekerja seni itu mengatur sejauh mana menghidupkan karya seninya. Mereka para pekerja seni, bisa menggunakan video, gambar, animasi bergerak, menambahkan audio bahkan bisa menggunakan 3D tergantung sejauh mana kreativitas mereka.
Umumnya, karya seni rupa dapat kita nikmati di pameran, museum dan galeri seni. Pameran merupakan kegiatan yang menyajikan karya seni agar diketahui dan mendapat apresiasi masyarakat. Lokasinya tidak permanen dan dapat dibongkar pasang, berbeda dengan museum yang permanen dan tidak ditujukan untuk komersial. Sedangkan galeri seni hadir sebagai bangunan yang disediakan untuk pameran, menjual karya-karya seni secara komersial, serta edukasi kajian seni pada masyarakat berupa workshop dan seminar (Santoso, 2018; Sulistyohadi, 2019).
Menurut data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan teknologi (2020), peran masyarakat terhadap seni (seni film, seni musik/ suara, sampai seni rupa) secara umum menunjukkan bahwa, persentase tertinggi menonton secara langsung terletak pada rentang kelompok umur 16-30 tahun sebesar 38,5%. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya minat anak muda di Indonesia terhadap seni sangat tinggi. Oleh karena itu, digitalisasi karya seni diperlukan untuk menarik semakin banyak minat anak muda terhadap seni. Mengingat sebuah seni sebagai budaya bangsa perlu dilestarikan agar tidak mudah hilang
Pemanfaatan Augmented Reality (AR) di Indonesia
Penggunaan AR untuk seni rupa di Indonesia bukan tidak mungkin. Indonesia sudah pernah menggunakan AR dalam memamerkan karya seni sejak lama. Pada tahun 2016, Pameran Lukisan Istana Kepresidenan di Galeri Nasional Indonesia memberikan pengalaman bagi pengunjung melalui teknologi AR ‘Goresan Juang Kemerdekaan’ yang dikembangkan oleh Badan Ekonomi Kreatif (Biro Pers, Media, dan Informasi Setpres, 2016). Pameran seni El-Maestro tahun 2022, “Tales of Nowhere” by Museum Macan, Museum BPK RI di Magelang, Museum Ranggawarsita, dan Museum Soesilo merupakan beberapa contoh pameran dan museum seni rupa yang memanfaatkan AR.
Meski hanya sekadar promosi (bukan jual beli seni), Museum Ranggawarsita yang berada di Jawa Tengah ini bisa menggunakan teknologi AR untuk menghadirkan koleksi mereka dekat dengan penikmat seni. Bahkan dengan teknologi AR ini, penikmat seni bisa melihat karya dari segala sisi layaknya berada di dunia film sci-fi yang serba modern. Sehingga seseorang yang berada di luar negeri sekalipun bisa melihat koleksi museum tersebut tanpa ada halangan. Meskipun terbatas hanya sebagian koleksi saja yang bisa diakses dengan teknologi AR ini.
Artivive, salah satu aplikasi pembuat AR, yang memberikan solusi bagi pekerja seni untuk digitalisasi karya seni dan menjualnya secara global. Seharusnya pekerja seni Indonesia dapat mengekspor melalui aplikasi ini sekaligus membantu mengkomersialkan karya seni rupanya. Harapannya dengan perkembangan serba digital ini mampu meningkatkan gairah daya beli para penikmat seni, karena penampilan seni rupa lebih atraktif. Terlebih dengan adanya akses internet, membuka peluang adanya promosi seni rupa hingga ke mancanegara semakin luas. Menurut Syamsudin (2022), promosi dengan menggunakan AR sudah cukup banyak dilakukan mulai promosi tempat wisata hingga mempromosikan perusahaan.
Untuk menggunakan teknologi AR, pekerja seni memang diminta effort yang lebih agar karya seninya terlihat modern dan menarik penikmat seni / pembeli. Mulai dari biaya tambahan untuk penggunaan AR hingga menyiapkan bentuk digitalnya. Mungkin karena hal ini, pekerja seni di Indonesia kurang tertarik menggunakan teknologi ini. Padahal para pekerja seni rupa tidak harus melakukan sendiri, mereka bisa saja berkolaborasi dengan pekerja seni digital untuk membantu mereka menghidupkan sebuah karya seni. Dengan skill yang berkembang, pekerja seni Indonesia akan mampu bersaing dengan pekerja seni internasional lainnya dalam menciptakan karya seni rupa berteknologi AR.
Kolaborasi antara pekerja seni rupa dan seni digital ini juga penting untuk menggedor semangat mereka untuk berkarya. Dengan semangat itu, bentuk karya juga akan lebih berwarna dan beraneka ragam. Kolaborasi ini juga membuat jejaring komunitas pekerja seni semakin luas, otomatis jangkauan pasar penikmat seni juga semakin lebar.
Walau saat ini teknologi AR belum banyak dimanfaatkan oleh galeri seni, museum dan pekerja seni di Indonesia, sejatinya seni dan teknologi tidak bisa dipisahkan. Hubungan seni dan teknologi haruslah saling mendukung satu sama lain, mengingat perkembangan teknologi saat ini begitu pesat. Maka pekerja seni maupun pengelola seni diharapkan berusaha mencari cara agar banyak pengunjung datang melihat karya seni mereka. Coba saja bayangkan jika pameran, museum dan galeri seni rupa di Indonesia menggunakan teknologi AR. Tidak ada kata ‘membosankan’ lagi, yang ada keramaian dan antusias pengunjung. Selain itu, pengalaman dan pengetahuan terhadap karya seni rupa juga bertambah. Apresiasi penikmat seni terhadap karya seni rupa pun juga ikut meningkat.
Penulis: Tito Adam Primadani dan Berlian Fika Rachma Ukhty
Prodi S2 Media dan Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik