Pelayanan kefarmasian mengalami perkembangan yang sangat pesat. Diawali dengan ditemukannya obat-obatan yang berasal dari tanaman, berkembang dengan ditemukannya obat-obatan sintetis yang mempunyai khasiat terapi. Pelayanan kefarmasian yang memposisikan obat sebagai produk telah bergeser ke pelayanan yang berfokus pada pasien. Pada era pelayanan kefarmasian yang berfokus terhadap obat sebagai produk, pendekatan utama yang dikejar oleh apoteker adalah memproduksi dan memjual obat sebanyak mungkin. Hal ini menyebabkan tansaksi yang ada di apotek sebagai tempat utama pelayanan kefarmasian komunitas hanya proses jual beli obat dan pelayanan resep. Hal ini membuat banyak potensi permasalahan terkait obat yang akan dialami oleh pasien. Didalam pelayanan kefarmasian berfokus kepada pasien, kebutuhan terapi pasien secara individual menjadi perhatian dan pertimbangan dalam pelayanan oleh apoteker. Identifikasi drug related problem melalui proses assessment menjadi hal yang sangat penting, dilengkapi dengan proses counselling dan monitoring untuk menjamin pasien mencapai tujuan terapi yang telah ditetapkan.
Tidak hanya pelayanan obat yang berfokus kepada pasien, apoteker dituntut untuk berperan aktif dalam kegiatan promosi kesehatan, modifikasi perilaku sehat dan memberikan edukasi terkait aktifitas pasien yang terkait dengan pengobatan. American Society of Health-System Pharmacists (ASHP) menyebutkan bahwa apoteker yang praktek di lingkungan rumah sakit dan komunitas, mempunyai tanggung jawab yang lebih untuk terlibat dalam kegiatan promosi kesehatan di masyarakat. Apoteker yang bekerja di dalam organisasi penentu kebijakan kesehatan, wajib mempunyai peran dalam menentukan kebijakan kesehatan terutama yang mendukung peran apoteker di kegiatan promosi Kesehatan.
Di Inggris, melalui program National Health Service (NHS) contractual framework for community pharmacy apoteker diatur untuk bias memberikan layanan kefarmasian tambahan yang diantaranya adalah review penggunaan obat tertentu, layanan kefarmasian khusus berbasis ciri local komunitas tempat praktek apoteker tersebut yang terkait pengendalian rokok (smoking cessation), pengendalian penggunaan alkohol, kegemukan dan lain-lain. Di Australia, 88% apoteker komunitas melakukan pelayanan kefarmasian tambahan. Diantaranya pelayanan screening asma, diabetes, pelayanan obat herbal, hipertensi dan perawatan luka. Untuk melakukan pelayanan kefarmasian dan layanan tambahan tersebut, diperlukan beberapa komponen pendukung utama seperti pendidikan berkelanjutan oleh apoteker, komitmen apoteker yang berpraktek di komunitas dan keterjangkauan pelayanan tersebut.
Meskipun sebagian besar apoteker menganggap bahwa pelayanan kefarmasian bernilai tambah terutama di bidang promosi kesehatan masyarakat adalah sangat penting, tetapi ada beberapa kendala sehingga pelaksanaannya belum optimal. Kendala tersebut diantaranya adalah waktu, kompetensi apoteker, ruang konseling yang terbatas, kurangnya permintaan dari konsumen dan keterbatasan akses apotek oleh konsumen. Keterbatasan akses apotek menyebabkan kurang optimalnya pelayanan kefarmasian. Apotek belum menjadi sarana kesehatan yang berbasis pelayanan komunitas berbasis lokasi, sehingga menghambat pelayanan komprehensif kefarmasian yang bernilai tambah.
Lokasi geografis berperanan penting dalam keberhasilan pelayanan kesehatan dan menjadi factor utama dalam menentukan keputusan pasien dalam memilih sarana kesehatan. Penyedia layanan kesehatan termasuk apotek harus mudah dijangkau oleh konsumen. Salah satu ukuran keterjangkauan adalah dekatnya jarak apotek dengan rumah pasien.
Dekatnya lokasi apotek sangat penting dalam menunjang keberhasilan terapi penyakit-penyakit tertentu. Deshpande et al menemukan bahwa ada keterkaitan yang signifikan antara keberhasilan penanganan kejadian asthma dengan jarak lokasi appotek dengan rumah penderita tersebut. Penderita dengan jarak lokasi apotek rata-rata 3,2 mil mempunyai profil keberhasilan terapi yang berbeda dengan penderita yang jarak rumah dengan apoteknya rata-rata 1,9 mil. Hal ini berkaitan dengan kecepatan menebus obat asthma saat terjadi serangan pada pasien.
Berkaitan dengan hal tersebut, beberapa negara mengatur skema jarak antar apotek dalam rangka pemenuhan cakupan pelayanan kefarmasian di seluruh bagian negara tersebut. Inggris melalui program Pharmacy Access Scheme (PhAS) memberikan insentif khusus kepada apotek yang jarak terdekat dengan apotek lainnya minimal 1,5 mil (2,5 km). Beberapa ukuran lain dinyatakan dengan waktu berjalan kaki ke sarana apotek kurang dari 20 menit. Todd et al pada tahun 2014 meneliti sebaran apotek di wilayah inggris dan mendapatkan hasil bahwa 98,3 % masyarakat kota bisa mengakses lokasi apotek dalam waktu 20 menit berjalan. Sedangkan untuk masyarakat pedesaan hanya 18,9 % yang bias mengakses apotek dalam waktu 20 menit berjalan.
Di Indonesia, peraturan dalam pengaturan sebaran apotek diserahkan ke pemerintah daerah masing-masing. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) menyebutkan dalam pasal 5 Peraturan Menteri Kesehatan No 9 Tahun 2017 tentang Apotek bahwa “Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mengatur persebaran Apotek di wilayahnya dengan memperhatikan akses masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kefarmasian”
Dari hasil penelitian didapatkan sebanyak 791 alamat apotek di Surabaya diperoleh dalam database Kementerian Kesehatan pada tahun 2019. Jumlah apotek di setiap kecamatan bervariasi dari 1 apotek hingga 70 apotek, dengan rata-rata sebanyak 25 apotek tiap kecamatan. Kecamatan dengan jumlah apotek paling sedikit adalah kecamatan Asem Rowo. Sedangkan kecamatan dengan jumlah apotek terbanyak adalah Gubeng. Jumlah rumah sakit dan klinik yang tersebar di Surabaya bervariasi dari 1 rumah sakit/klinik hingga 40 rumah sakit/klinik per kabupaten. Pada tahun 2019, jumlah kunjungan rumah sakit di setiap kabupaten dalam satu tahun bervariasi antara 4.331 (Kabupaten Bulak) hingga 345.006 (Kabupaten Wonokromo).
Setelah dihitung, jumlah apotek vs. jumlah penduduk per distrik bervariasi dari 1:1.426 hingga 1:49.806. Asem Rowo, Bulak, Krembangan, dan Semampir adalah beberapa kabupaten yang memiliki rasio jumlah apotek vs jumlah penduduk di atas 1:10.000. Sebagai perbandingan, Mulyorejo dan Tenggilis Mejoyo merupakan dua kabupaten yang jumlah apotek untuk penduduknya di bawah 1:2000. Distribusi apotek yang belum merata di Surabaya perlu diatasi dengan pendekatan aturan dari pihak terkait yaitu dinas kesehatan kota Surabaya dan organisasi profesi dalam rekomendasi pemberian ijin apotek. Jika sebaran apotek bisa diatur, harapannya kedepan apotek bisa berfungsi sebagai rujukan utama pelayanan kesehatan masyarakat bukan lagi semata tempat jual beli obat. Ada permasalahan terkait obat? Hubungi apoteker anda di apotek terdekat!
Ditulis oleh: Catur Dian Setiawan, Arief Wibowo, Umi Athiyah
Judul Artikel: Mapping of pharmaceutical service facilities (pharmacy) based on geographic information in Surabaya
Link Artikel: https://pharmacyeducation.fip.org/pharmacyeducation/article/view/1593/1272