Pandemi COVID-19 pernah menjadi masalah kesehatan dunia. Penyakit infeksi ini mudah menular dan disebabkan oleh infeksi virus beta korona (SARS-CoV-2). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan total lebih dari 500 juta kasus COVID-19 yang terkonfirmasi, dengan kematian lebih dari 6 juta orang. Umumnya pasien COVID-19 memiliki tanda dan gejala yang beragam, namun gejala yang paling dominan adalah sesak napas, demam, batuk, tidak bisa mencium (anosmia), atau tidak bisa mengecap (ageusia). Namun gejala lain juga dapat terjadi pada sistem organ selain sistem pernapasan, diantarnaya pada sistem saraf, pencernaan, jantung, dan sistem kekebalan tubuh.
Selain itu, dalam beberapa kasus, penyakit ini dapat berkembang menjadi sindrom pasca COVID-19 dengan gejala yang bervariasi. SARS-CoV-2 juga mempengaruhi sistem saraf pusat (SSP), sistem saraf tepi, dan sistem neuromuskular. Infeksi virus COVID-19 dapat memicu respon imun melalui reseptor angiotensin-converting enzim-2 (ACE-2) yang menyebar ke banyak sistem organ dalam tubuh. Virus juga dapat memasuki SSP melalui penyebaran saraf retrograde, meluas ke tulang belakang dan otak menggunakan jalur transportasi saraf yang ada.
Laporan kasus yang telah terbit dalam Journal of Infection in Developing Countries pada November 2023, dengan judul “Guillain-Barré Syndrome and multiple lacunar infarcts in a COVID-19 patient” ini membahas tentang seorang pasien laki-laki berusia 33 tahun yang masuk ke unit gawat darurat dengan penurunan kesadaran dan kegagalan pernapasan, setelah dinyatakan sembuh dari infeksi COVID-19. Pasien memiliki riwayat COVID-19 yang dimulai tujuh hari sebelumnya dengan gejala ringan seperti batuk, sakit tenggorokan, dan demam. Pasien meminum obat yang terdiri dari Favipiravir, vitamin D, vitamin C, Obat Batuk Acetylcysteine. Tujuh hari kemudian, pasien tersebut menjalani tes PCR COVID-19 dan hasilnya negatif.
Namun pada hari ke tujuh, pasien mulai merasakan sakit kepala tegang yang berlangsung selama tiga hari. Selain itu, ia juga mengalami kelemahan ekstremitas bilateral atas dan bawah yang progresif, diikuti kesulitan menelan dan selalu tersedak. Pasien mengalami penglihatan ganda, sesak napas, dan kesulitan batuk. Pada hari ke 12, pasien kehilangan kesadaran di rumah.
Pasien mempunyai riwayat darah tinggi derajat 1 yang terkontrol dan peningkatan kolesterol selama dua tahun terakhir. Pasien mengalami kegemukan dan memiliki riwayat merokok selama sepuluh tahun terakhir. Tidak ada riwayat penyakit kencing manis, kelainan autoimun, kanker, maupun trauma. Riwayat medis keluarga, ibu menderita kencing manis, dan ayah menderita kanker pankreas. Tidak ditemukan riwayat kelainan autoimun pada keluarga. Pasien telah mendapatkan vaksinasi COVID-19 ketiganya tahun lalu.
Pasien menunjukkan manifestasi neurologis langka, termasuk Sindrom Guillain-Barre (GBS) dengan subtipe polineuropati demielinisasi inflamasi akut (AIDP) dan infark lacunar ganda. Karena mengalami gagal napas, maka pasien dirawat di unit perawatan intensif dan diintubasi (selang napas dengan ventilator).
Hasil pemeriksaan CT scan kepala didapatkan infarka pada otak, dengan hasil rekam otak didapatkan mendukung GBS. GBS adalah singkatan dari Guillain-Barre Syndrome, yang merupakan penyakit autoimun yang mempengaruhi sistem saraf perifer (bagian saraf di luar otak dan sumsum tulang belakang). GBS terjadi ketika sistem kekebalan tubuh menyerang sel saraf sendiri, menyebabkan peradangan pada saraf tersebut. Hal ini dapat menyebabkan gejala seperti kelemahan otot, kesemutan, dan kesulitan bergerak.
Dalam kasus yang dijelaskan dalam laporan kasus tersebut, GBS muncul sebagai komplikasi dari infeksi COVID-19. AIDP, atau acute inflammatory demyelinating polyneuropathy, adalah salah satu subtipe GBS di mana lapisan pelindung saraf yang disebut mielin mengalami peradangan dan kerusakan.
Gejala GBS bisa bervariasi, tetapi seringkali dimulai dengan kelemahan atau mati rasa di kaki dan tangan, yang kemudian dapat merambat ke bagian tubuh lain. Meskipun GBS dapat menjadi kondisi serius, beberapa pasien dapat pulih sepenuhnya dengan perawatan yang tepat, seperti pengobatan dengan imunoglobulin intravena (IVIG) atau plasmaferesis. Pasien menerima pemberian imunoglobulin intravena (IVIG) dan menunjukkan perbaikan signifikan, akhirnya pulang dari rumah sakit setelah tiga bulan menjalani terapi fisik.
Laporan kasus ini menyoroti komplikasi neurologis potensial COVID-19, yang mempengaruhi berbagai sistem organ, termasuk sistem saraf pusat. Keberadaan GBS dan infark lacunar ganda adalah kejadian langka, menekankan pentingnya mengenali berbagai gejala terkait pasca COVID-19. Diskusi kasus juga membahas respons imun yang dipicu oleh SARS-CoV-2 dan peran badai sitokin, yang mungkin berkontribusi pada neuroinflamasi dan gangguan autoimun. Respons pasien terhadap IVIG menunjukkan keterkaitan antara COVID-19 dan kondisi neurologis yang dimediasi autoimun.
Secara keseluruhan, laporan kasus ini menegaskan perlunya para dokter untuk waspada terhadap gejala neurologis pada pasien COVID-19, bahkan setelah gejala pernapasan mereda. Mengenali dan memahami manifestasi langka ini dapat membantu dalam diagnosis dini dan manajemen yang sesuai, yang berpotensi meningkatkan hasil bagi pasien.
Penulis: Alfian Nur Rosyid
Sumber Artikel Jurnal: Guillain-Barr Syndrome and multiple lacunar infarcts in a COVID-19 patient https://www.jidc.org/index.php/journal/article/view/38064394