Universitas Airlangga Official Website

Simbolisme Kesenian Pabitte Passapu Di Desa Tanah Towa, Bulukumba, Sulawesi Selatan

Simbolisme Kesenian Pabitte Passapu Di Desa Tanah Towa, Bulukumba, Sulawesi Selatan
Ilustrasi Tarian Pabitte Passapu (sumber: estetikapers.com)

Desa Tanah Towa di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan tampak berbeda jauh dengan desa-desa lain di sekitarnya dari sebagian masyarakat yang mempertahankan kemurnian adat-istiadat. Masyarakat adat di desa ini disebut Kajang Dalam yang meyakini bahwa mereka berasal dari manusia pendahulu yang melahirkan keturunan-keturunan hingga menyebar di sebagian wilayah di kabupaten Bulukumba. Menurut cerita lisan, manusia pendahulu masyarakat Kajang adalah Ammatowa, yaitu sebutan penghormatan pemimpin adat yang pertama, kemudian menjadi nama diri sampai sekarang.

Istilah masyarakat adat untuk menyebut kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur secara turun-temurun, bermukim di wilayah geografis tertentu, dan memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, dan sosial, yang dipraktikkan di wilayah khusus. Di antara sistem nilai yang dideskripsikan di tulisan ini adalah sistem budaya dalam wujud kesenian Pabitte Passapu, tarian sabung ayam.

Kesenian Pabitte Passapu merupakan jenis kesenian tari dan lantunan syair menceritakan kisah dalam satu episode pertunjukan yang dipresentasikan oleh 4 orang penari dan 2 orang pemukul gendang sebagai pengiring tarian. Dengan demikian, pertunjukan tari Pabitte Passapu lebih menekankan estetika gerak tari dibandingkan bunyi iringan tari. Sebelum tarian dimainkan, penari memakai busana tari yang semuanya berwarna hitam, yakni baju (baju le’leng), sarung (tope le’leng), dan destar (passapu le’leng). Kostum ini bukan busana khusus, tetapi busana keseharian penduduk. Destar sebagai simbol identitas laki-laki dewasa yang seharusnya digunakan penutup kepala khususnya pada kegiatan formal, tetapi dimanfaatkan pula sebagai properti pengganti ayam jantan pada tarian Pabitte Passapu.

Tarian dimulai saat empat penari berdiri baris dari depan ke belakang menunggu isyarat gendang. Ketika gendang ditabuh diawal pertunjukan, penari berjalan memasuki ruang pentas. Kemudian, penari bergerak melompat secara terukur, bergantian, dan terus-menerus, yang terpusat pada tumpuan telapak kaki dan lutut sedikit ditekuk. Ragam gerak tari terlihat tidak rumit. Empat penari saling berhadapan membentuk pola gerak maju-mundur dengan langkah-langkah berputar searah jarum jam. Gerak ini dalam bahasa setempat disebut hille atau memutar sebagai pengantar bahwa sabung ayam sedang berlangsung.

Kedua telapak tangan memegang bagian ujung dan bagian tengah destar yang diayunkan ke depan dan ke samping bagaikan ayam jantan bersiap bertarung. Destar sebagai petunjuk yang mengarahkan bahwa gerak tari itu sebagai simbolisasi sabung ayam. Pada hentakan-hentakan tertentu, empat penari bergerak memutar bagaikan kedua ayam siap saling melabrak. Bagian ini disebut tarian pembuka yang dicirikan gerak memutar.

Adegan tari selanjutnya adalah gerak saling melabrak, seperti ayam bertarung yang posisinya selalu berubah-ubah. Setelah beberapa kali bertarung, tarian seolah-olah berhenti sejenak. Ini menandakan bahwa kedua ayam masih sama-sama kuat dan belum ada yang kalah. Kemudian, ada waktu jeda tari yang masih menjadi bagian dari skenario pertunjukan.

Adegan jeda bertarung menunjukkan peragaan dua penari (penyabung ayam) sedang duduk jongkok. Mereka seolah-olah sedang memandikan ayam dan memasang benda tajam (badik atau besi runcing) yang diikat pada taji ayam (abbulang taji). Sementara dua orang penari lain tetap memegang ayam sebagai simbol sabung ayam masih berlanjut. Setelah selesai pemasangan benda tajam di taji ayam, penari memulai gerak serupa dengan sebelumnya untuk beberapa kali putaran bertarung. Hanya dua penari yang memperagakan tarian sabung ayam, sedangkan dua penari lainnya duduk berjongkok menyaksikan pertarungan.

Adegan terakhir tari ditunjukkan dengan adanya salah satu ayam kalah yang ditandai oleh salah satu destar dijatuhkan ke tanah. Pada bagian terakhir, gerak tari tidak lagi menyimbolkan sabung ayam, tetapi gerak tari yang menunjukkan pertengkaran kedua pemilik ayam. Pemilik ayam yang kalah menuduh ada kecurangan, kemudian dua pemilik ayam bertengkar secara fisik. Pemilik ayam yang menang terkapar penanda berakhirinya pertunjukan tari Pabitte Passapu.

Menurut tokoh masyarakat adat Kajang, kesenian tari Pabitte Passapu merupakan kesenian yang menyampaikan pesan simbolik tentang akibat yang diterima jika masyarakat mempraktikkan sabung ayam. Konon, tarian ini merupakan media yang digunakan untuk mengubah kebiasaan masyarakat yang gemar sabung ayam pada masa pra-Islam.

Kesenian ini secara fungsional merupakan hiburan masyarakat Kajang. Pesan moral dibalik hiburan yang disampaikan kepada penonton adalah kebiasaan buruk dari arena adu ayam yang disertai taruhan. Pada satu baris bait syair yang mengiringi tarian berbunyi “Jarra jarra kopaboto’ pakanre ; bangke manu’ Natanra’ko inrang haille“.  Pengertian yang dapat diketahui dari baris syair ini adalah jeralah engkau seorang penjudi, nanti engkau akan menjadi pemakan bangkai ayam yang mati akibat kalah sabung ayam. Dengan perjudian ini engkau juga akan ditimpa atau terlilit hutang

Akibat yang ditimbulkan oleh sabung ayam diekspresikan melalui seni pertunjukan tari yang dipadukan dengan seni sastra. Pembelajaran secara simbolik diwariskan secara sosial di lingkup masyarakat Kajang. Kesenian Pabitte Passapu menjawab dasar dari sebuah tindakan dan sikap melarang sabung ayam. Penciptaan kesenian yang dilakukan oleh leluhur masyarakat membuktikan kearifan lokal masyarakat adat Kajang.

Penulis: Dr. Samidi, S.S., M.A.

Baca juga: Deteksi Molekuler Klebsiella Pneumoniae Penghasil Extended Spectrum Beta Lactamase yang Diisolasi dari Kotoran Kelelawar