Rubella adalah penyakit akut, mudah menular, sering menginfeksi anak dan dewasa muda yang rentan. Penyakit ini mempunyai gejala ringan dan 50% tidak bergejala, tetapi yang menjadi perhatian dalam kesehatan masyarakat adalah efek teratogenik apabila rubella ini menyerang pada wanita hamil terutama pada masa awal kehamilan. Infeksi rubella pada ibu hamil dapat menyebabkan keguguran atau kecacatan permanen pada bayi yang dilahirkan atau dikenal dengan sindrom Rubella Kongenital(Congenital Rubella Syndrome/CRS).
Sindrom Rubella Kongenital (SRK) atau biasanya disebut dengan campak Jerman adalah kumpulan gejala akibat infeksi virus rubella. Bayi dengan SRK masih dapat mengeluarkan virus rubella melalui urin dan sekret nasofaring sampai usia 27 bulan, namun sebagian besar sudah habis sebelum usia 1 tahun. Sebelum dilakukan imunisasi rubella, insidens SRK adalah 0,1-0,2/1000 kelahiran hidup. Estimasi tahun 2008 menunjukkan bahwa beban SRK tertinggi adalah di Asia Tenggara (sekitar 48%) dan Afrika (sekitar 38%). Berdasarkan data dari WHO, setiap tahun terjadi 236 kasus SRK di negara berkembang dan meningkat 10 kali lipat saat terjadi epidemi. Insiden infeksi rubella di Indonesia pada tahun 2015 sekitar 3,2 tiap 100.000 kelahiran dan meningkat menjadi 5,6 pada tahun 2017.
Bayi yang lahir dengan SRK biasanya menunjukkan satu atau lebih gejala, berupa gangguan pendengaran, kelainan mata, kelainan jantung, retardasi mental dan cacat seumur hidup lainnya. Gangguan pendengaran merupakan kelainan tunggal yang paling sering. Penelitian prospektif pada wanita hamil dengan infeksi rubella didapatkan 35% bayi yang terinfeksi pada usia kehamilan 13-16 minggu mengalami gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran pada SRK terjadi sekitar 58% kasus, 50% terjadi kelainan jantung, dan 43% kasus terjadi kelainan pada mata. Penelitian histopatologi menyatakan bahwa telinga dalam merupakan organ yang paling rentan terjadi kerusakan pada usia kehamilan minggu ke 6-12. Gangguan pendengaran derajat sangat berat lebih sering terjadi dibandingkan dengan derajat ringan-sedang. Gangguan sensorik meliputi kelainan mata dan telinga mempengaruhi kualitas hidup dan perkembangan neuropsikologis.
Penegakan diagnosis SRK dengan pemeriksaan serologi dan isolasi virus. Isolasi virus melalui pengambilan spesimen hidung, darah, tenggorok, urin, dan cairan serebrospinal dengan reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR). Tes serologi dengan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk diagnosis SRK lebih sering digunakan karena tersedia secara luas. Klasifikasi kasus SRK dibedakan menjadi suspek SRK, SRK klinis dan SRK pasti. Kumpulan manifestasi klinis dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok A dan kelompok B. Kelompok A terdiri dari: gangguan pendengaran, penyakit jantung kongenital, katarak atau glaukoma kongenital, dan pigmentary retinopathy; sedangkan kelompok B, yaitu: purpura, splenomegali, mikrosefali, retardasi mental, kelainan radiolucent bone, dan ikterik.
Gangguan pendengaran akibat SRK memberikan efek yang cukup besar pada kehidupan pasien terutama dalam berkomunikasi dengan orang lain. Hal ini menyebabkan keterlambatan pertumbuhan pada anak karena gangguan perkembangan berbahasa. Gangguan pendengaran disebabkan adanya kegagalan perkembangaan sistem pendengaran dengan abnormalitas terjadi di koklea dan saraf pendengaran. Virus mengakibatkan kerusakan langsung pada koklea, menyebabkan kematian sel pada organ Corti dan stria vaskularis. Virus rubella masuk ke telinga dalam melalui suplai darah dari stria vaskularis. Mekanisme lain dapat disebabkan karena hipoksia akibat kerusakan vaskular endotel. Kerusakan endotel dapat menjadi sumber emboli dan menyebabkan trombosis pada pembuluh darah kecil.
Diagnosis gangguan pendengaran pada anak dapat dilakukan pemeriksaan Otoacoustic Emission (OAE) dan Automated Auditory Brainstem Response (AABR). Otoacoustic emission (OAE) merupakan produk akustik dari gerakan sel rambut luar koklea yang menghasilkan emisi secara spontan, dapat direkam melalui mikrofon di liang telinga, terdeteksi bila koklea dan telinga tengah berfungsi normal atau hampir normal tetapi tidak mengukur fungsi pendengaran secara keseluruhan, melainkan hanya sebagai indikator dari fungsi pendengaran perifer. Pemeriksaan AABR menggunakan stimulus klik, untuk pencatatan respon diperlukan elektroda permukaan yang sama dengan BERA, yaitu pada dahi bagian atas, mastoid dan belakang kepala. Automated Auditory Brainstem Response (AABR)merupakan pemeriksaan elektrofisiologi sistem auditori yang objektif, mudah, praktis, tidak invasif dan cepat sekitar 5-10 menit, tetapi hanya dapat menggunakan intensitas stimulus yang terbatas, yaitu 35 dB dan disajikan secara monoaural. Pemeriksaan Auditory Brainstem Response (ABR) adalah alat pemeriksaan yang paling sering digunakan dan sebagai baku emas penilaian gangguan pendengaran yang obyektif pada anak dan bayi.
Mekanisme respon kekebalan pada SRK berbeda dengan yang terjadi pada rubella atau penyakit virus lain. Serum bayi yang lahir dengan SRK mengandung imunoglobulin (Ig) G spesifik yang dibawa dari ibunya selain antibodi IgG dan IgM yang dibentuk dari tubuhnya sendiri. Imunoglobulin G spesifik rubella maternal ini juga dapat ditemukan pada bayi normal yang dilahirkan dari ibu yang kebal terhadap rubella. Oleh karena itu, untuk mendiagnosis infeksi SRK pada bayi digunakan IgM spesifik rubella. Produksi IgM pada bayi paling cepat timbul pada trimester kedua saat usia kehamilan 20 minggu. Bayi dengan SRK, IgM spesifik rubella bisa dideteksi hampir 100% pada umur 0 – 5 bulan; sekitar 60% pada umur 6 – 12 bulan; dan sekitar 40% pada umur 12 – 18 bulan; IgM jarang terdeteksi lagi bila anak telah berusia 18 bulan atau lebih.
Penanganan infeksi rubella berupa terapi suportif, sesuai dengan gangguan yang ditimbulkan pada pasien. Diagnosis awal penting dilakukan, sehingga dapat dilakukan intervensi dini. Pencegahan merupakan hal yang utama untuk mengendalikan insiden SRK, yaitu melalui program imunisasi. Centers for Disease Control (CDC) merekomendasikan dosis pertama vaksin Measles, Mumps and Rubella (MMR) pada usia 12-15 bulan, dosis kedua pada usia 4-6 tahun. Dosis pertama untuk mengurangi komplikasi SRK dan dosis kedua untuk mencegah transmisi virus rubella. Usia dewasa yang belum pernah mendapatkan vaksin dapat dilakukan satu kali vaksin MMR. Wanita usia subur dapat diberikan vaksin satu bulan sebelum kehamilan.
Terapi pada gangguan pendengaran kongenital menggunakan alat bantu dengar (ABD), implantasi koklea dan alat bantu dengar hantaran tulang. Alat bantu dengar merupakan terapi konvensional pada penderita dengan kondisi medis yang tidak dapat dilakukan operasi. Penggunaan ABD sebaiknya diberikan sebelum usia 6 bulan sehingga mulai dapat mengenal suara. Penderita yang tidak terbantu dengan pemberian ABD merupakan kandidat implantasi koklea. Implantasi koklea tidak hanya membantu meningkatkan ambang dengar, tetapi dapat membantu kemampuan mendengar dan persepsi bicara.
Penulis: Dr. Nyilo Purnami, Sp.THTKL (K), FICS, FISCM
Jurnal: Correlation immunoglobulin M antibody of rubella with hearing loss in infants suspected congenital rubella syndrome