Pandemi covid19 hingga kini masih menjadi perhatian dunia. Mulai masuk ke Indonesia pada awal 2020 dengan temuan kejadian infeksi yang bisa dihitung dengan jari tangan hingga bergerak ke tujuh digit angka konfirmasi. Melalui pasang surut gelombang penyebaran disertai temuan-temuan strain baru yang menandai setiap episode. Perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang kesehatan turut mengikuti dinamika tersebut. Secara global, penelitian epidemiologi hingga pendekatan virologi, farmakologi dan imunologi dikembangkan, mengalir dari publikasi-publikasi oleh group riset seantero dunia. Dari sisi vaksin masih terlihat geliat pengembangan kearah antisipasi dan pencegahan gelombang besar mortalitas yang disebabkan oleh infeksi oleh SARCov2, virus penyebab Covid19. Tidak hanya vaksin, pengembangan obat-obatan dalam mengatasi infeksi dan manifestasi klinis infeksi virus ini juga selalu dicoba, dikembangkan, dievaluasi dari waktu ke waktu.
Antivirus pilihan mana yang terbaik untuk penggunaan pada kondisi pasien terkonfirmasi SarCov2 positif masih menjadi penelitian panjang tanpa akhir. Kesimpulan sementara yang terbaik adalah yang diaplikasikan saat ini di banyak negara. Rekomendasi kombinasi suplementasi untuk pasien juga muncul dari penelitian dan kajian-kajian yang terus diperdalam. Bahkan ketika vaksin sudah pada fase booster saat ini, kajian dan penelitian tidak terhenti. Berjaga-jaga untuk kondisi yang mungkin terjadi.
Penelitian satu mengalir ke penelitian yang lain, saling memperkuat dan mengkonfirmasi fakta menuju kepada kebenaran yang bisa diyakini masyarakat saintifik dan medis dalam mengambil keputusan. Contoh sederhana yakni salah satu penelitian terkini yang melihat dari sudut pandang berbeda pada obat anti-nyeri, anti-radang dan juga obat demam, atau dalam bahasa medis disebut obat analgesic, anti inflamasi dan antipiretik. Parasetamol, dan juga OAINS, sebutan singkat untuk obat anti inflamasi non steroid, yang digunakan pada kondisi covid19 untuk mengatasi gejala demam dan malaise. Obat-obat tersebut di atas sering juga digunakan dalam terapi nyeri ataupun demam di keseharian masyarakat. Namun kalangan saintifik sangat jeli melihat hal-hal yang perlu dipahami lebih dalam. Penelitian ini menggali kemampuan obat-obat yang tergolong obat umum ini dalam mempengaruhi kemampuan virus menembus sel-sel tubuh saat menginfeksi.
Virus memasuki sel tubuh manusia juga memerlukan pintu masuk, yaitu reseptor yang dihasilkan secara alami oleh sel tubuh manusia. Logikanya, kalau ada obat yang bisa menurunkan produksi reseptor tersebut, maka kemungkinan penetrasi virus ke sel juga akan turun. Kajian terbatas dari uji pada hewan coba menunjukkan profil yang berbeda dari yang ditunjukkan OAINS dan parasetamol. Dari 3 jenis gen yang membentuk 3 jenis protein gerbang masuk SARCov2, ternyata parasetamol tampak menurunkan 2 dari 3 reseptor yang diteliti. Sedangkan jika diberi OAINS, hanya 1 dari 3 reseptor yang diturunkan produksinya, meskipun reseptor ini cukup banyak dikenal di kalangan medis yaitu ACE2 receptor. Akhirnya sedikit lebih jauh lagi pemahaman kita terhadap apa yang bisa diperbuat obat-obat ini pada tubuh kita. Khususnya ketika covid19 melanda. Harapan ke depan, semakin banyak kita tahu tentang virus ini, semakin kita tahu banyak pula apa-apa yang bisa dilakukan untuk survive di tengah keberadaannya, hingga pandemi ini berlalu sesegera mungkin.
Penulis: Chrismawan Ardianto, S.Farm., M.Sc., Apt., Ph.D
Merujuk publikasi ilmiah Chrismawan Ardianto, Fakultas Farmasi Universitas Airlangga dalam artikel Khirfan et al., 2022 berjudul Analgesics Induce Alterations in the Expression of SARS-CoV-2 Entry and Arachidonic-Acid-Metabolizing Genes in the Mouse Lungs. Dipublikasikan pada Pharmaceuticals Vol. 15(6):696. doi: 10.3390/ph15060696.