Universitas Airlangga Official Website

Skrining Sarkopenia pada Populasi Lanjut Usia

Foto by Anlene

Sarkopenia merupakan penurunan massa dan kekuatan atau performa otot yang sering terjadi pada lanjut usia. Penyakit ini masih jarang dibahas walaupun prevalensinya cukup tinggi (antara 10-27%, tergantung dari cut-off yang digunakan). Lebih jauh lagi, Indonesia merupakan negara dengan angka populasi lanjut usia tertinggi dari Asia Tenggara (30.86% dari populasi lansia di Asia Tenggara), dan urutan empat tertinggi di Asia setelah Cina, India, dan Jepang. Oleh karenanya, diagnosis, bahkan lebih awal lagi, skrining sarkopenia sangat diperlukan dalam praktik sehari-hari.

Dalam diagnosis sarkopenia, didapatkan beberapa klasifikasi diagnostik seperti European Working Group on Sarcopenia in Older People (EWGSOP) dan Asian Working Group for Sarcopenia (AWGS) dimana keduanya memiliki parameter pengukuran yang sama, yakni massa otot, kekuatan genggaman tangan, dan performa fisik. Namun, keduanya memiliki perbedaan pada cut-off yang didasarkan pada perbedaan etnis, ukuran tubuh, gaya hidup, dan kultur budaya antara populasi Asia dan Eropa. 

Pada kriteria AWGS 2019, dikenalkan istilah “possible sarcopenia”, yang menunjukkan adanya penurunan kekuatan otot dengan atau tanpa penurunan performa fisik. Dalam menentukan possible sarcopenia, dapat dilakukan skrining terlebih dahulu dengan pengukuran calf circumference (CC), kuesioner strength, assistance with walking, rising from a chair, climbing stairs, and falls (SARC-F), dan kombinasi keduanya (SARC-CalF); yang kemudian dilakukan konfirmasi dengan pengukuran kekuatan genggam tangan dan performa fisik melalui five-times chair stand test. Kriteria baru ini ditujukan sebagai skrining awal di fasilitas kesehatan tingkat pertama, sehingga diharapkan dapat dilakukan diagnosis dan terapi sarkopenia lebih awal. Namun, belum ada studi yang mempelajari performa dari kriteria ini pada populasi lansia di Indonesia. AWGS 2019 menggunakan cut-off yang didasarkan pada studi populasi lansia di Cina, Hongkong, Jepang, Singapura, Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand, dimana mungkin didapatkan perbedaan etnis, kultur, gaya hidup, dan sosiekonomik bahkan antara negara Asia sekalipun. 

Sebanyak 266 subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi (tidak memiliki riwayat penyakit kardiorespirasi yang berat, penggunaan pacemaker, dan gangguan kognitif). Mayoritas subyek adalah perempuan (71.8%) dengan median usia 65 tahun. Lebih dari setengah subyek memiliki kebiasaan olahraga rutin dan memiliki status nutrisi yang cukup. Dari semuanya, sebanyak 186 subyek (69.9%) terkonfirmasi sebagai possible sarcopenia melalui pengukuran kekuatan genggam tangan dan performa fisik. Possible sarcopenia ditemukan pada 127 (47.7%) subyek ketika pengukuran CC dilakukan sebagai modalitas skrining; 16 (6%) subyek ketika kuesioner SARC-F digunakan sebagai modalitas skrining; dan 40 (15%) subyek ketika kuesioner SARC-CalF digunakan sebagai modalitas skrining.

Jika ditujukan untuk skrining penyakit dengan prevalensi rendah, maka lebih diutamakan modalitas yang sensitif daripada spesifik. Dari data tersebut, pengukuran CC memiliki nilai sensitivitas tertinggi (48.39%), sedangkan kuesioner SARC-F memiliki spesifisitas tertinggi (100%). Akan tetapi, ketiga parameter tersebut memiliki nilai area under the curve (AUC) yang rendah, yakni 0.511 untuk CC, 0.543 untuk SARC-F, dan 0.572 untuk SARC-CalF.

Beberapa faktor dapat mempengaruhi pengukuran CC, seperti adanya pembengkakan pada betis yang mengakibatkan peningkatan semu massa otot betis. Selain itu, metode pengukuran yang berbeda dapat menghasilkan perbedaan pula. Beberapa studi melakukan pengukuran CC pada posisi duduk, seperti pada penelitian kami, dan yang lain pada posisi berdiri dan tidur terlentang. Ketiganya menghasilkan nilai akurasi yang berbeda.

Penelitian kami hanya mencakup subyek pada populasi di kota besar, sehingga generalisasi hasil penelitian perlu dilakukan dengan hati-hati. Mayoritas subyek penelitian adalah perempuan, dimana diketahui jenis kelamin memegang peran penting pada sarkopenia. Selain itu, kami juga tidak melakukan pencatatan kondisi pembengkakan betis pada subyek. Terlepas dari kekurangan tersebut, penelitian ini merupakan studi performa diagnostik parameter skrining possible sarcopenia pertama berdasarkan pedoman AWGS 2019.

Kesimpulannya, dari ketiga parameter yang direkomenasikan AWGS 2019 untuk skrining possible sarcopenia, tidak ada yang memiliki nilai diagnostik yang cukup baik pada populasi penelitian kami. Oleh karenanya, nilai cut-off yang saat ini digunakan mungkin tidak dapat diaplikasikan di Indonesia. Diperlukan studi multisenter dengan populasi yang lebih besar lagi, baik pada kota besar maupun kecil di Indonesia untuk mengkonfirmasi hasil penelitian ini.

Penulis : dr. Novira Widajanti, Sp.PD, K-Ger, FINASIM, dr. Stefanus G. Kandinata, dan dr. Firas Farisi Alkaff

Informasi detail dari laporan ini dapat dilihat pada tulisan kami di :

https://www.nature.com/articles/s41598-023-36585-4

Kandinata, S.G., Widajanti, N., Ichwani, J. et al. Diagnostic performance of calf circumference, SARC-F, and SARC-CalF for possible sarcopenia screening in Indonesia. Sci Rep 13, 9824 (2023). https://doi.org/10.1038/s41598-023-36585-4