Universitas Airlangga Official Website

Stagnasi Kualitas Sumber Daya Manusia Ancam Cita-Cita Indonesia Emas 2045

Sambutan oleh Rektor Universitas Airlangga, Prof Dr Mohammad Nasih SE MT Ak. (Foto: Istimewa)
Sambutan oleh Rektor Universitas Airlangga, Prof Dr Mohammad Nasih SE MT Ak. (Foto: Istimewa)

UNAIR NEWS – Universitas Airlangga menunjukkan komitmennya dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) melalui pelaksanaan Forum Group Discussion: Pengembangan SDM dalam Mewujudkan Indonesia Emas 2045. Forum tersebut berlangsung pada Jumat (15/02/2024) melalui akun Youtube Sekolah Pascasarjana UNAIR.

Rektor Universitas Airlangga, Prof Dr Mohammad Nasih SE MT Ak memberi sambutan dengan menyinggung masalah krisis kualitas SDM sebagai pemantik diskusi. Prof Nasih menyebutkan bahwa masalah tersebut menjadi tugas besar dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045.

Menurut Prof Nasih, pada saat tercapai Indonesia Emas, keadaan masyarakat telah didominasi oleh komunitas terdidik, terlatih, dan sehat. Tiga indikator tersebut merupakan ciri dan ukuran penentu produktivitas yang berperan dalam peningkatan perekonomian negara. Namun, menurutnya, saat ini kondisi Indonesia masih kurang menguntungkan, karena Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masih berada di angka 73,55, jauh di bawah rata-rata IPM negara maju yang berada di atas nilai 80.

Nilai IPM Indonesia masih sangat tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain ataupun negara maju, seperti Korea, Jepang, dan Singapura. Dengan nilai tersebut, Indonesia menempati urutan ke-112 dari 190 negara. Terlebih lagi, tidak ada tren peningkatan IPM yang signifikan dalam kurun satu dekade terakhir. Sejak 2013 hingga 2023, IPM hanya meningkat 7,67 persen.

“Padahal salah satu harapan Indonesia Emas adalah tercapai IPM 82 pada 2045. Jika perkembangan kualitas SDM terus dibiarkan. Angka tersebut akan tercapai 50 tahun lagi, bukan tahun 2045,” ujar rektornya.

Prof Nasih melanjutkan dengan memberi fakta bahwa salah satu faktor rendahnya IPM adalah angka partisipasi pendidikan yang rendah pula. Rata-rata lama sekolah anak Indonesia adalah 8,77 tahun. Hal tersebut berarti umumnya anak Indonesia putus sekolah pada saat pendidikan menengah. Menurut Prof Nasih, kondisi tersebut menghambat kognitif dan keterampilan anak serta menimbulkan penurunan kualitas tenaga kerja.

Tidak hanya itu, Prof Nasih menyebutkan bahwa Angka Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi (APK PT) juga masih sangat rendah. Hanya 31,45 persen lulusan sekolah menengah yang melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Padahal, hal tersebut menentukan produktivitas dan kreativitas sumber daya manusia untuk mendukung peningkatan perekonomian nasional.

“Jika saat ini Indonesia telah dianggap sebagai negara maju karena nilai PDB (Produk Domestik Bruto) yang tinggi, itu bukan karena tenaga kerja Indonesia yang mumpuni. Melainkan dimainkan oleh peranan investor global dan tenaga kerja asing. Itu sangat berbahaya bagi persaingan masyarakat dalam negeri,” jelas Prof Nasih.

Indonesia Butuh Kebijakan Pendidikan yang Radikal

Prof Nasih sangat menyayangkan kebijakan pemerintah yang hanya mengalokasikan 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) untuk sektor pendidikan. Menurutnya, anggaran dana tersebut tidak cukup untuk membiayai berbagai kebutuhan pendidikan yang sangat kompleks. Prof Nasih juga menambahkan bahwa berbagai program pendidikan tidak akan memberi perubahan yang signifikan jika tidak disertai dengan kebijakan yang radikal.

“Dengan anggaran pendidikan 20 persen, kita tidak bisa berharap banyak untuk Indonesia Emas 2045. Indonesia butuh kebijakan yang radikal untuk mencapai seluruh indikator pendidikan dasar secara bersama,” pungkasnya.

Penulis: Elsa Hertria Putri

Editor: Khefti Al Mawalia