Mencegah kejadian yang lebih parah diantara individu merupakan salah satu upaya yang terpenting terkait penyakit kusta. Penelitian epidemiologis yang dilakukan di India menunjukkan bahwa kecacatan permanen menjadi bagian yang tidak terpisahkan, dan ini menjadi ciri tambahan dari penderita kusta. Label kusta yang melekat pada penderitanya memicu kepanikan dan ketakutan diantara beberapa masyarakat di lingkungan mereka, dan perasaan ini bisa timbul karena adanya rasa takut tertular. Stigma kusta sebagai penyakit dengan kutukan Tuhan, karma dan dosa menjijikkan dan kotor, semakin menjauhkan diri dari lingkungan mereka, dan ini menambah beban penderitaannya. Selain itu, jauh dari pekerjaan yang layak, sulit mendapatkan pekerjaan dan ditinggal pasangan merupakan pengalaman yang sangat menyakitkan, dan ini akibat dari diskriminasi oleh masyarakat terhadap mereka. Situasi lain yang menyebabkan kusta semakin parah dipicu dari stigmatisasi diri, sehingga penderitanya merasa stress, cemas, rendah diri, maupun depresi.
Penderita kusta mengalami stres yang sangat kuat, tidak hanya dari dalam diri mereka sendiri tetapi juga stigma yang diterima dari masyarakat dimana kasus tersebut menambah penderitaan mereka. Stres menurut pandangan psikologis Lazarus dan Folkman didefinisikan sebagai suatu hubungan tertentu antara manusia dengan lingkungan yang dinilai oleh manusia sebagai hal yang harus dipenuhi karena tuntutannya melebihi sumber dayanya dan membahayakan kesejahteraannya. Kompleksitas yang dialami oleh penderita kusta tidak diimbangi dengan pemanfaatan sumber daya koping mereka dan penggunaan strategi koping yang efektif untuk mengimbangi tekanan psikologis mereka.
Kesehatan jiwa untuk melindungi dan mencegah individu dari gangguan psikologis merupakan kekuatan penting dalam menjamin kesejahteraan psikologis penderita kusta. Suasana stres berdampak negatif pada pola kehidupan masyarakat dan sosial ekonomi, dan hal ini mempengaruhi kesejahteraan mereka karena selama ini perhatian diberikan pada pengobatan definitif, yang utama tanpa mempertimbangkan masalah psikologis.
Sebanyak 125 pasien kusta dilibatkan dalam penelitian ini dengan menggunakan convenience sampling dimana partisipan pria dan dewasa sangat dominan dalam penelitian ini. Peserta menyelesaikan empat langkah laporan diri secara anonim, dan butuh 20 hingga 25 menit untuk mengisi kuesioner.
Secara khusus, sumber daya koping dan strategi koping dapat menurunkan stres pada penderita kusta yang keduanya berkaitan erat dengan kesejahteraan psikologis. Akibatnya, situasi stres yang menurun ini dapat meningkatkan kesejahteraan penderita kusta. Selain itu, sumber daya koping dan strategi koping menjadi faktor protektif dalam mencegah berkembangnya gangguan jiwa, dan hal ini memiliki hubungan positif dengan peningkatan kesejahteraan psikologis penderita kusta. Sangat mungkin, ketika seseorang terinfeksi kusta, mereka telah mengembangkan gejala yang berkaitan dengan tekanan psikologis seperti stres, kecemasan, ketakutan, dan depresi yang sangat mengganggu kesejahteraan mereka, yang umumnya mengganggu perlindungan diri mereka.
Dan terakhir, sumber daya koping dan strategi koping, dengan tingkat stres yang rendah pada kusta sebagai fasilitator, terbukti dapat memprediksi tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi.
Studi ini memberikan wawasan baru terkait pencegahan dan pengobatan secara konferhensif pada penderita kusta dan menawarkan saran untuk keterlibatan psikologi positif disamping pengobatan yang definitif yang secara bersama-sama memberikan pelayanan kepada penderita kusta. Temuan ini dapat menginformasikan kepada semua yang terlibat dalam pengobatan kusta keluarga terkait strategi yang efektif untuk mengatasi keparahan penyakit kusta dalam keluarga dan mendukung upaya partisipasi diantara anggota keluarga untuk mengurangi disharmoni dalam keluarga. Studi ini juga menyoroti peran penting keterlibatan ruang lingkup psikologi positif untuk memberikan penanganan terkait masalah-masalah psikososial yang terjadi pada penderita kusta, dan melalui therapi psikologis dapat meningkatkan perluasan terhadap identifikasi sumber daya koping dan mampu menentukan strategi koping yang dipilih sesuai dengan kondisi mereka, dan dengan demikian akan menjamin kesejahteraan yang lebih baik.
Penulis: Muhammad Yulianto Listiawan, DR., dr., Sp. KK(K), FINSDV, FAADV
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:
https://doi.org/10.2147/JMDH.S382723
Muhammad Yulianto Listiawan, Cita Rosita Sigit Prakoeswa, Medhi Denisa Alinda, Bagus Haryo Kusumaputra, Felix Hartanto, Abd Nasir, Ah Yusuf (2022), The Stress of Leprosy as a Mediator of the Relationship Between Coping Resources, Coping Strategies, and Psychological Well-Being in Persons Affected by Leprosy. The Structural Equation Models Through a Correlation Study. ournal of Multidisciplinary Healthcare 2022:15 2189–2202
https://doi.org/10.2147/JMDH.S382723
alamat link:
The Stress of Leprosy as a Mediator of the Relationship Between Coping | JMDH (dovepress.com)
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/36200001/