Pematangan oosit secara in vitro dianggap sebagai langkah pertama yang penting dalam teknologi rekayasa embrio yang sukses. Tingkat maturasi oosit dapat mendukung perkembangan embrio setelah in vitro fertilization (IVF). Pematangan oosit ditandai dengan perubahan morfologi inti sel yaitu perubahan oosit dari stadium diploten ke stadium metafase II sehingga siap untuk pembuahan. Oosit selama pematangan in vitro mengalami perkembangan siklus meiosis dan perubahan struktural dalam sitoplasma yang diperlukan untuk keberhasilan fertilisasi dan perkembangan embrio lebih lanjut. Hal ini menyebabkan tingkat keberhasilan perkembangan embrio dari oosit yang dimatangkan secara in vitro lebih rendah dibandingkan dengan oosit yang dimatangkan secara in vivo6.
Salah satu yang cukup berbeda antara kondisi in vivo dan in vitro pada pematangan oosit adalah tekanan oksigen. Selama pematangan in vitro, oosit dipertahankan dengan konsentrasi oksigen (O2) yang lebih tinggi (21%) dibandingkan dengan pematangan in vivo (2-9%). Konsentrasi oksigen yang relatif tinggi (hiperoksik) pada lingkungan maturasi oosit secara in vitro dapat meningkatkan Reactive Oxygen Species (ROS), sehingga kondisi tersebut akan mengganggu keseimbangan antara ROS dan antioksidan yang menyebabkan stres oksidatif. Stres oksidatif terlibat dalam berbagai peristiwa biologis, seperti oksidasi asam amino dan asam nukleat, apoptosis, nekrosis, dan peroksidasi lipid pada membran sel dan membran organel. Membran plasma oosit mamalia adalah sumber asam lemak tak jenuh yang kaya dan rentan terhadap peroksidasi lipid yang terkait dengan ROS. Tingkat peroksidasi lipid dapat ditentukan dengan mengukur kadar Malondialdehid (MDA) yang merupakan produk peroksidasi lipid yang stabil.
Pematangan oosit adalah peristiwa terkoordinasi yang kompleks dalam perkembangan folikel ovarium. Selama proses pertumbuhan dan diferensiasi folikel ovarium, beberapa sitokin menjadi regulator parakrin dalam memediasi komunikasi antara oosit, granulosa, dan sel teka. Salah satu sitokin yang terkandung dalam oosit adalah Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) dan Tumor Necrosis Factor Receptor (TNFR) yang terlokalisasi pada sel granulosa dan sel theca. Sitokin ini memediasi berbagai respons biologis termasuk peradangan, infeksi, cedera, dan apoptosis sel. Peningkatan ekspresi TNF-α secara signifikan mengurangi tingkat pematangan oosit. Sel kumulus mencit tua mengeluarkan TNF-α untuk mempercepat penuaan oosit dengan berinteraksi dengan TNFR.
Secara in vitro, manipulasi media kultur diperlukan untuk meningkatkan kemampuan maturasi oosit. Penggunaan medium maturasi dasar dengan penambahan suplementasi berbagai zat dan senyawa telah banyak dipelajari untuk mempelajari dan meningkatkan maturasi oosit secara in vitro. Salah satu bahan yang dapat ditambahkan pada media pematangan sebagai suplemen antioksidan eksogen adalah Alpha Lipoic Acid (ALA). Alpha Lipoic Acid (ALA) merupakan antioksidan yang tidak hanya memiliki afinitas terhadap radikal bebas peroksil tetapi juga dapat meregenerasi antioksidan lain seperti glutathione (GSH), vitamin C, dan tokoferol serta berperan dalam metabolisme energi dan transduksi sinyal sel. Selain memiliki sifat antioksidan, ALA juga memiliki sifat anti inflamasi.
Lingkungan kelangsungan hidup oosit yang dibuat secara in vitro selalu menjadi tantangan bagi penelitian maturasi in vitro. Oleh karena itu, penelitian tentang pengaruh suplementasi Alpha Lipoic Acid (ALA) pada media maturasi in vitro oosit kambing terhadap ekspresi Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) dan kadar Malondialdehid (MDA) masih perlu dilakukan untuk mengetahui perbaikan sistem maturasi oosit in vitro.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suplementasi Alpha Lipoic Acid (ALA) pada media maturasi in vitro oosit kambing terhadap ekspresi Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) dan kadar Malondialdehid (MDA). Studi eksperimental laboratorium ini terdiri dari tiga kelompok perlakuan: kelompok kontrol (G0), suplementasi ALA 25 μmol/L (G1), suplementasi ALA 50 μmol/L (G2). Sebanyak 366 Cumulus Oocyte Complex (COCs) kambing dikumpulkan, kemudian diseleksi menjadi 216 COCs, dan dimatangkan secara in vitro selama 22 jam dalam inkubator 5% CO2, kelembaban 98%, suhu 38,50C. Setelah itu, ekspresi TNF-α diidentifikasi menggunakan pewarnaan Immunocytochemistry dengan penambahan antibodi TNF-α dan dihitung menggunakan Remmele Scale Index. Pengukuran kadar MDA menggunakan metode ELISA. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Kruskal-Wallis, One Way ANOVA dan Duncan’s dalam program software SPSS 24 (p<0,05). Nilai ekspresi TNF-α G0 sebesar 0,75±1,39, G1 sebesar 5,56±3,05, dan G2 sebesar 2,00±1,80. Kadar MDA G0 adalah 26,52±2,92, G1 adalah 46,44±4,87, dan G2 adalah 30,41±5,67. Data ekspresi TNF-α dan kadar MDA G0 dan G2 tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna, sedangkan G0 dan G2 dibandingkan dengan G1 menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05). Suplementasi ALA 25 µmol/L meningkatkan ekspresi TNF-α atau kadar MDA dan 50 µmol/L pada media maturasi in vitro oosit kambing dapat menurunkan ekspresi TNF-α atau kadar MDA dari 25 µmol/L.
Penulis: Widjiati
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan di